Selasa, 18 Maret 2008

Langkah Tegas Jaksa Agung


Langkah Tegas Jaksa Agung


Tepat dua minggu, setelah jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap KPK, Jaksa Agung mencopot Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman. Selain mencopot Kemas, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Senin (17/3), juga mencopot Direktur Penyidikan pada Bagian Tindak Pidana Khusus Muhammad Salim.


Sebagaimana dikatakan Jaksa Agung, penggantian Kemas dan Salim adalah untuk menjaga kredibilitas Kejaksaan Agung dalam menangani perkara korupsi. ”Kita lihat kredibilitas berkurang. Apabila pejabat di situ, menyampaikan kinerja, masyarakat tak percaya,” demikian alasan Jaksa Agung.


Penangkapan Urip oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Minggu (2/3), sungguh mencengangkan. Dalam mobil Urip ditemukan bukti 660.000 dollar AS. KPK kemudian juga menangkap Artalyta Suryani, seorang perempuan yang jago lobi dan dekat dengan sejumlah petinggi politik negeri ini.


Keduanya memang mempunyai alibi bahwa transaksi yang mereka lakukan adalah transaksi permata. Alibi yang coba dibangun itu sah-sah saja sebagai upaya pembelaan diri. Namun, pada sisi lain, publik pun punya hak untuk meragukan konstruksi cerita yang akan dibangun. Dalam konteks itulah, menjadi tugas KPK untuk membuktikan apa yang sebenarnya terjadi. Apakah Urip bekerja seorang diri atau justru Urip hanyalah operator dari sebuah jaringan!


Kita sungguh terkejut dengan kembali terungkapnya skandal itu! Upaya pemberantasan korupsi yang gencar dilakukan ternyata tidak menimbulkan efek jera. Ketika anggota KPU Mulyana W Kusumah ditangkap KPK saat mencoba menyuap petugas BPK, kita berharap itu adalah kasus pertama dan terakhir. Namun nyatanya, praktik suap yang tertangkap tangan terus dan terus saja terjadi, sampai akhirnya tertangkaplah jaksa Urip.


Kita mempertanyakan, mengapa perilaku tercela seperti ini tak pernah berubah. Mengapa korupsi terus saja hidup dalam kultur masyarakat Indonesia. Ada pendapat yang menyebutkan pemberantasan korupsi hanya dialamatkan pada orang yang tidak punya perlindungan hukum dan politik. Atau, pemberantasan korupsi hanya menyentuh pelaku yang tertangkap tangan, tetapi tak mampu membongkar jaringan yang lebih luas.


Dalam konteks itu, kita menghargai langkah cepat dan tegas Jaksa Agung mencopot Kemas Yahya dan Muhammad Salim dari jabatannya. Langkah itu sedikit banyak memberikan harapan kepada publik. Meskipun demikian, proses selanjutnya tetap dituntut. Apakah keduanya terlibat atau justru bersih, tetap diperlukan melalui pemeriksaan yang transparan dan akuntabel.


Kita mengapresiasi langkah Hendarman yang tak banyak beretorika dan berwacana, tetapi justru cepat mengambil keputusan. Kita berharap momentum ini sungguh dimanfaatkan Jaksa Agung untuk melakukan reformasi di tubuh Kejaksaan Agung. Untuk langkah itu, dukungan politik nyata dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono amat sangat diperlukan!

Sabtu, 22 Desember 2007

Kontroversi Putusan MA!

KOMPAS
Sabtu, 22 Desember 2007

Kontroversi Putusan MA!

Kita sengaja membikin judul di atas untuk menegaskan betapa kontroversinya putusan Mahkamah Agung soal Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan.

Putusan MA itu merupakan sebuah drama demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, KPU Sulsel menetapkan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang sebagai pemenang pilkada. Amin Syam-Mansyur Ramli, yang diajukan Partai Golkar, mengajukan keberatan ke MA. Selisih suara memang tipis: 1.432.572:1.404.910.

MA mengabulkan sebagian permohonan Amin Syam dan memerintahkan KPU Sulsel mengulang pilkada di empat kabupaten. Selain baru pertama kali terjadi dalam sejarah pilkada Indonesia, putusan itu telah melampaui kewenangan hakim agung dalam memutuskan sengketa pilkada dan mengabulkan sesuatu yang tidak diminta (ultra petita) oleh pemohon.

Putusan itu tidak bulat. Hakim agung senior yang sekaligus Ketua Majelis Paulus Effendi Lotulung dan Djoko Sarwoko kalah suara dengan tiga hakim lainnya, Hakim Nyakpa, Mansyur Kartayasa, dan Abdul Manan. Voting dilakukan ketika MA terdesak batas waktu penyelesaian sengketa pilkada yang hanya 14 hari.

Paulus dan Djoko berpendapat, kewenangan MA dalam sengketa pilkada dibatasi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan MA No 6/2005. Undang-undang memberi MA kewenangan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPUD dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Bukan pilkada ulang!

Namun, tiga hakim lainnya—yang sebelum menjadi hakim berprofesi sebagai dosen, jaksa, dan hakim agama—mempunyai pendapat berbeda. Mereka memutuskan Pilkada Sulsel di empat kabupaten diulang dalam waktu tiga hingga enam bulan. Putusan itu melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang dan melampaui tuntutan pemohon yang hanya mempersoalkan penghitungan suara di Gowa, Bone, dan Bantaeng. Tetapi dalam putusannya, MA memasukkan juga Tana Toraja.

Putusan itu berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, memicu eskalasi politik lokal dan tentunya mempunyai konsekuensi biaya. Problem lainnya adalah akan berakhirnya tugas KPU Sulsel pada Mei 2008.

Dari sisi prosedur, memang putusan MA bersifat final dan mengikat. Namun, UU MA memberi tempat untuk melakukan peninjauan kembali jika memang terjadi kesalahan nyata dalam putusan sebelumnya. Preseden soal itu sudah ada. MA pernah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memenangkan Badrul Kamal sebagai Wali Kota Depok. Putusan PT Jawa Barat itu dikoreksi MA dan MA kemudian memenangkan Nur Mahmudi Ismail sebagai Wali Kota Depok.

Mengacu pada kasus Depok, peninjauan kembali merupakan salah satu langkah hukum yang perlu dipikirkan. Namun, yang perlu disadari dari drama demokrasi itu adalah bahwa pada akhirnya kekuasaan seharusnya bukanlah tujuan akhir. Kekuasaan adalah alat pengabdian dan pengabdian itu bisa dilakukan di mana saja!

Jumat, 21 Desember 2007

Ketika Militer Berlindung di Balik Parlemen

KOMPAS

Rabu, 06 Feb 2002 Halaman: 8

Budiman Tanuredjo

KETIKA MILITER BERLINDUNG DI BALIK PARLEMEN

KEPALA Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Endriartono Sutarto secara
tidak langsung membenarkan sikap perwira tinggi militer yang sudah
pensiun atau pun masih aktif untuk tidak memenuhi pemanggilan Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Trisakti-Semanggi I dan II.

Militer mencoba berlindung di balik apa yang disebutkan sebagai
sebuah "keputusan politik" DPR. "Keputusan politik" DPR dipersepsikan
sebagai vonis DPR bahwa kasus Trisakti, Semanggi I, dan II bukanlah
pelanggaran HAM berat sehingga tak bisa diadili di Pengadilan HAM Ad
Hoc. Sebab itu, mereka pun menolak dipanggil KPP HAM Trisakti
yang diketuai Dr Albert Hasibuan.

Sikap TNI untuk menolak panggilan KPP HAM itu diberi landasan
yuridis oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Mayjen Timor Manurung.
Dalam penjelasannya kepada pers secara tertulis, Manurung menggunakan
Pasal 43 UU No 26/2000 sebagai dalil untuk menolak pemeriksaan
perwira militer oleh KPP HAM. Pasal 43 (1) menyebutkan, pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pada Ayat (2) disebutkan, Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1) dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu
dengan Keputusan Presiden.

Benarkah ada "keputusan politik" DPR tentang ketiga kasus itu?
Argumentasi Endriartono dan Manurung tentunya mengacu pada hasil
Panitia Khusus (Pansus) Trisakti dan Semanggi I-II yang telah
disampaikan da-lam rapat paripurna DPR tanggal 9 Juli 2001. Mantan
Ketua Pansus Trisakti Panda Nababan telah membantah bahwa ada
"keputusan politik" DPR. "Tak ada keputusan politik, yang ada hanya
rekomendasi dan itu tidak mengikat," ujar Panda Nababan, anggota DPR
dari Fraksi PDI Perjuangan.

Melacak lebih jauh dokumen laporan yang Pansus Trisakti yang
dibacakan Nababan memang tidak pernah ada apa yang disebut sebagai
"keputusan politik" DPR. Yang disampaikan Pansus Trisakti adalah
sebuah kalimat yang dirumuskan sebagai berikut, "Dengan demikian,
laporan Pansus kepada Paripurna Dewan merekomendasikan untuk
meneruskan Pengadilan Umum/Militer yang telah dan sedang berjalan."

Rekomendasi yang disampaikan Pansus DPR itu diambil secara voting
di tingkat Pansus. Sesuai dengan daftar hadir, sebanyak 26 anggota
Pansus hadir. Namun, pada saat voting akan dilakukan, hanya 19
anggota DPR yang masih ada. Hasil voting itu menunjukkan sebanyak 14
suara setuju untuk merekomendasikan pengadilan umum/ militer dan lima
suara setuju dengan rekomendasi kepada Presiden untuk mengeluarkan
Kep-pres pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

***

SEJAK awal, suara di Pansus DPR sudah terbelah. Ada fraksi-fraksi
di DPR yang sejak awal berpendapat bahwa ketiga kasus itu adalah
pelanggaran HAM berat, yang harus diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.
Fraksi ini adalah Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Partai
Demokrasi Kasih Bangsa (F-PDKB). Sebaliknya, ada juga kekuatan
politik yang mendukung penyelesaian di Mahka-mah Militer. Mereka
adalah Fraksi TNI/Polri, Fraksi Partai Golkar (F-PG), Fraksi
Reformasi, Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), Fraksi Partai
Daulatul Ummat, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI). Fraksi
Kebangkitan Bangsa (F-KB) pada awalnya menyodorkan alternatif
rekonsiliasi, namun dalam perkembangannya bergabung dengan Fraksi PDI
Perjuangan.

Para pakar HAM yang diundang Pansus pun sejak awal juga mempunyai
kecenderungan berbeda. Dalam laporan Panda Nababan kepada sidang
paripurna DPR, disebutkan kecenderungan untuk menyelesaikan peristiwa
lewat Pengadilan HAM Ad Hoc diusulkan oleh Todung Mulya Lubis dan
Abdul Hakim Garuda Nusantara. Sedangkan kecenderungan untuk
menyelesaikan ketiga kasus itu melalui pengadilan biasa umum/militer)
diusulkan oleh Prof Dr Natabaya, Prof Budi Harsono, Prof Romli
Atmasasmita, dan Prof Muladi.

***

REKOMENDASI DPR itu dinilai terlalu jauh, karena sebenarnya tak
ada suatu pun Ketetapan MPR ataupun undang-undang yang memberikan
kewenangan pada DPR untuk menentukan kompetensi peradilan. Apakah
sebuah perkara akan diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Umum, Peradilan Agama, atau Peradilan Militer sama sekali
bukan kewenangan DPR untuk memutuskan. Itu adalah wilayah kekuasaan
yudikatif.

Sesuai dengan konstitusi dan semua produk hukum yang ada di Tanah
Air, hanya ada tiga fungsi DPR, yaitu melakukan penyusunan budget
bersama pemerintah, melaksanakan fungsi legislasi bersama pemerintah,
dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Tidak ada kewenangan
untuk menentukan kompetensi pengadilan atau menilai sebuah peristiwa
sebagai "tindak pidana biasa", "pelanggaran HAM", atau "pelanggaran
HAM berat".

Prinsip mayoritas sebagai mana ditunjukkan dalam voting ketika
Pansus Trisakti mengambil keputusan ternyata tidak selalu benar
adanya. Pendekatan mayoritas ternyata bisa saja menyesatkan dan
bahkan melanggar hukum itu sendiri. Rekomendasi DPR bahwa ketiga
kasus yang dikaji bukanlah pelanggaran HAM berat dan karena itu tak
bisa diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc adalah sebuah keputusan yang di
luar kompetensi DPR untuk memutuskan.

Lalu bagaimana kita menempatkan rekomendasi DPR berkaitan dengan
kasus Trisakti? Secara sosiologis, DPR telah begitu banyak membentuk
Pansus-pansus. Sebut saja Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), Pansus Aceh, Pansus Tanjung Priok, Pansus Bulog I. Semua
Pansus itu telah melahirkan sejumlah rekomendasi.

Pertanyaannya kemudian, apakah rekomendasi itu ditindaklanjuti.
Hasil Pansus BLBI, misalnya tetap saja sebagai hasil Pansus yang
tidak dihiraukan. Apakah hasil Pansus Bulog I yang merekomendasikan
proses hukum terhadap mantan Presiden Abdurrahman Wahid dilanjut-kan,
telah ditindaklanjuti? Fakta itu makin menunjukkan bahwa rekomendasi
Pansus DPR itu memang tidak mengikat.

***

FRAKSI-fraksi di DPR yang mendukung penyelesaian di Mahkamah
Militer melihat bahwa ketiga kasus itu (Trisakti, Semanggi, dan
Semanggi II) sangat berbeda dan tidak berkaitan satu sama lain. Kasus
Trisakti terjadi saat gerakan mahasiswa menumbangkan Presiden
Soeharto. Kasus Semanggi I dilakukan untuk menggagalkan Sidang
Istimewa MPR dan menuntut pembentukan apa yang disebut Presidium
Pemerintahan Rakyat. Kasus Semanggi II adalah gerakan mahasiswa
menggagalkan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya.

Mereka melihat gerakan-gerakan politik itu sebagai bentuk
"partisipasi politik" warga negara dalam sebuah momentum yang
berbeda, baik dalam dimensi waktu, peristiwa, maupun model
pengamanan. Mereka juga menyebutkan bahwa ketiga peristiwa itu tidak
dapat dinyatakan sebagai pelanggaran HAM, karena tidak terpenuhinya
unsur sistematis, terencana, konseptual, dan serta meluas.

Unsur sistematis tak terbukti karena rezim dan kasusnya berbeda.
Unsur terencana dan konseptual juga tidak terpenuhi, karenanya rezim
dan tujuannya partisipasi politik itu berbeda. Unsur meluas juga tak
bisa dipenuhi. Model analisa DPR ini menyerupai pekerjaan teknis
hakim untuk menentukan apakah unsur-unsur dari sebuah tindak pidana
terbukti atau tidak.

Sedangkan fraksi lain yang mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM
Ad Hoc ini melihat bahwa kekerasan demi kekerasan dilakukan aparat
keamanan dalam upaya membendung protes mahasiswa. Meski terbukti
tidak efektif, penggunaan kekerasan tetap digunakan sehingga sejumlah
korban tewas.

Dalam kasus Trisakti sebanyak empat mahasiswa tewas, lima orang
menderita luka parah akibat tembakan senjata api. Dalam Tragedi
Semanggi I, menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, sebanyak 16
orang tewas dan 456 orang luka-luka. Sedangkan dalam Tragedi Semanggi
II sebanyak 10 orang tewas dan delapan orang luka-luka.
Berdasarkan kenyataan dominannya penggunaan kekerasan oleh aparat
keamanan negara dalam menghadapi aksi mahasiwa, adalah lumrah bisa
muncul penilaian masyarakat bahwa setiap korban jatuh, maka hal ini
bukanlah akibat kesalahan prosedur, melainkan hasil dari prosedur
yang memang sengaja dipilih dan telah digariskan. Dengan cara
pandang itulah, maka diusulkan penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad
Hoc.

Melalui voting pada tingkat Pansus, DPR memilih model
penyelesaian di Mahkamah Militer. Sekarang sejauh mana reko-mendasi
itu dipatuhi oleh militer? Kenyataan menunjukkan baru kasus
penembakan empat mahasiswa Trisaktilah yang sudah diadili di Mahmil.
Sejumlah anggota Brigade Mobil (Brimob) telah dijatuhi hukuman oleh
Mahmil. Terakhir, Erick Kadir Suly dan kawan-kawan divonis enam tahun
penjara dan dipecat dari keanggotaan Brimob.

Lalu bagaimana dengan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Sejauh
ini, tak jelas penyelesaian penanganan kedua tragedi itu. Penembak
mahasiwa Universitas Indonesia Yap Yun Hap juga tak kunjung diproses
hu-kum. Minimal, publik tak pernah mengetahui bagaimana kelanjutan
kasus penembakan Yun Hap.

Kelanjutan penanganan Tra-gedi Semanggi I juga tak jelas. Tak ada
yang bertanggung ja-wab atau menyatakan bertanggung jawab atas
peristiwa bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa yang
menentang digelarnya Sidang Istime-wa MPR. Padahal, sejumlah
mahasiswa tewas.

Seriuskah militer menuntaskan kasus Semanggi I dan Semanggi II?
Dengan mengikuti logika pimpinan militer-bahwa TNI tunduk pada
apa yang dipersepsi sebagai "keputusan politik"-kita bisa melihat
sejauh mana kepatuhan militer tunduk pada "keputusan politik" DPR.
Rekomendasi Pansus DPR adalah menyelesaikan ketiga kasus itu melalui
Mahkamah Militer. Kenyataannya, baru sejumlah anggota Brimob (Polri)
yang diadili berkaitan dengan kasus Trisakti. Sedangkan Tragedi
Semanggi I dan II tetap gelap. Jadi, apakah itu bisa dikatakan TNI
tunduk pada "keputusan politik" DPR? Publiklah yang menilai.

***

PEMERIKSAAN oleh KPP HAM sebenarnya bukanlah sebuah peradilan.
Bukan pula sebagai sebuah vonis bersalah. Keputusan TNI untuk menolak
panggilan KPP HAM dengan berlindung di balik parlemen dan pasal-pasal
dalam hukum positif, menurut Luhut Pengaribuan, sebenarnya merugikan
TNI sendiri. Suatu kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara ketiga
peristiwa itu tak digunakan TNI oleh keputusan politik TNI sendiri.
Pemeriksaan KPP HAM itu tidak juga selalu berujung pada pengadilan,
karena masih akan diuji oleh Kejaksaan Agung dan juga DPR.

Pada saat akhir ternyata Polri berubah sikap. Mantan Kepala Polri
Jenderal (Purn) Roesman-hadi bersedia hadir asal pemanggilan sesuai
prosedur. Beberapa perwira Polri pun sudah datang ke KPP HAM dan
memberikan klarifikasi. KPP HAM pun menghargai sikap Polri.
TNI AD tampak tetap bersikukuh untuk menolak panggilan KPP HAM.

Setidaknya, itu tampak dari komentar Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI
Mayjen Timor Manurung yang menilai KPP HAM tidak sah.
Proses transisi demokrasi di Indonesia tampaknya masih akan
panjang. Penyelesaian masalah masa lalu yang menjadi tugas
pemerintahan transisi mengalami hambatan. Penolakan TNI secara tidak
langsung merupakan ujian bagi pemerintahan sipil Presiden Megawati
Soekarnoputri.

Pengamat politik Bara Hasibuan mengemukakan, Presiden Megawati
Soekarnoputri dituntut untuk tidak tinggal diam dalam melihat
penolakan yang ditunjukkan oleh pihak TNI dan Polri tersebut. Minimal
yang dapat dilakukan oleh Presiden adalah memberikan tekanan terhadap
pimpinan TNI untuk menunjukkan kerja samanya terhadap investigasi
yang sedang dilakukan oleh KPP HAM Trisakti.

Apalagi dalam pertemuan dengan KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan
II beberapa waktu yang lalu, Presiden Megawati memberikan dukungan
politik atas rencana pemanggilan beberapa perwira TNI oleh KPP HAM
Trisakti, Semanggi I dan II. Saatnyalah sekarang Presi-den
membuktikan ucapannya tersebut.

Presiden tidak perlu takut kalau tindakannya diartikan sebagai
bentuk intervensi terhadap institusi TNI, karena tekanan yang
diberikan bukan terhadap masalah internal organisasi TNI. Di sini
Presiden hanya ingin menunjukkan kepada TNI bahwa pemerintah
benar-benar committed terhadap upaya pe-negakan hukum kasus
pelanggaran HAM.

Proses penyelesaian hukum kasus Trisakti tampaknya akan berjalan
panjang dan mungkin akan ikut memanaskan suhu politik. Terutama jika
benar-benar prajurit TNI tak mau datang dan kemudian KPP HAM
menggunakan haknya untuk memanggil paksa atas izin Ketua Pengadilan.
Proses ke arah itu sedang dirintis dengan konsultasi antara KPP HAM
dengan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan.

Sebuah Kegamangan dalam Menentukan Pilihan

KOMPAS
Selasa, 04 Dec 2001 Halaman: 27

Budiman Tanuredjo

SEBUAH KEGAMANGAN DALAM MENENTUKAN PILIHAN

PROSES transisi menuju demokrasi di Indonesia, belum juga
menampilkan sosoknya yang jelas. Bahkan, mulai muncul kekhawatiran
dan pertanyaan apakah transisi di Indonesia memang sedang bergerak
menuju sebuah negara yang demokratis atau bakal kembali ke sistem
pemerintahan otoriter.

Jenderal Besar (Purn) Soeharto secara formal telah meninggalkan
kursi kepresidenannya, sejak 21 Mei 1998. Namun, pengaruh politik
Soeharto tetap bisa dirasakan hingga saat ini. Rentetan peristiwa
yang menyertai tertangkapnya putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala
Putra (Tommy Soeharto), menunjukkan bahwa pengaruh penguasa tunggal
Orde Baru itu masih besar.


Kepala Polda Metro Jaya Irjen Sofjan
Jacoeb memeluk buronan Tommy Soeharto yang tersenyum dan langsung
menggelar jumpa pers bersama, Panglima Daerah Militer Jaya Mayjen
Bibit Waluyo ikut datang ke Markas Polda Metro Jaya, anggota DPR juga
berlomba-lomba datang, sanak keluarga Soeharto pun dengan cukup
leluasa bisa menjenguk Tommy, seorang buronan kelas kakap.

Apa arti semua itu?

Praktisi hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara melihat peristiwa itu
menunjukkan masih adanya pengaruh politik Soeharto. Hal itu bisa
mengerti karena Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Dalam kurun waktu
lebih dari tiga dasawarsa, Soeharto mempunyai waktu yang cukup untuk
menempatkan orang-orangnya dan menciptakan loyalitas yang tinggi dari
para pendukungnya yang mendapatkan banyak kenikmatan dari penguasa
Orde Baru.

Pada saat berkuasa, Soeharto membangun sebuah sistem politik yang
di satu pihak mengukuhkan sebuah sistem kekuasaan yang
tersentralisasi dan di pihak lain mengeliminasi kontrol yang berada
di luar sistem. Akibatnya, terciptalah sebuah institusi sosial,
ekonomi, budaya, dan hukum, yang melayani kebutuhan kepentingan
kekuasaan Soeharto.

Dengan kata lain, semakin lama sebuah rezim otoritarian berkuasa
akan semakin kompleks pula jaringan penopang kekuasaan yang ia
bangun. Akibatnya, rezim transisi akan dihadapkan pada paradoks-
paradoks yang sulit untuk didamaikan. Pada satu sisi, rezim transisi
dihadapkan pada berbagai permasalahan masa lalu, pada sisi lain, ia
dihadapkan pada birokrasi korup yang merupakan warisan kekuasaan
lama.

***

TULISAN ini tidak akan membahas soal tertangkapnya Tommy
Soeharto, tetapi mencoba melihat proses transisi demokrasi di
Indonesia, di mana kekuatan lama harus ditempatkan sebagai faktor
yang determinan. Proses transisi demokrasi di Indonesia diibaratkan
sebagai "anggur lama yang dikemas dalam botol baru".

Salah satu masalah yang selalu menyertai proses transisi menuju
demokrasi sebagaimana yang terjadi negara Amerika Latin, Eropa
Selatan, dan Afrika Selatan adalah bagaimana rezim transisi
menyelesaikan kasus-kasus pada masa lalu, khususnya soal kejahatan
kemanusiaan.

Perilaku politik rezim otoritarian sebenarnya telah menimbulkan
gangguan yang signifikan pada tiga level hubungan, yakni state dan
society (negara dan masyarakat), society dan society (masyarakat dan
masyarakat), dan state dan state (negara dan negara). Gangguan atas
hubungan itulah yang kini diwariskan dan harus diselesaikan oleh
rezim transisi.

Hubungan state dan society bisa dilihat dari terjadi pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh aparat negara terhadap masyarakat akibat
kekerasan sistematik yang dilakukan pemerintahan Soeharto dalam upaya
mempertahankan kekuasaannya.

Hal ini bisa dilacak ke belakang hingga peristiwa pada tahun
1965, korban kekerasan akibat pelaksaaan daerah operasi militer (DOM)
di Aceh, peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, peristiwa penyerbuan
Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58 Jakarta yang kemudian
berubah menjadi kerusuhan sosial di Jakarta dan sekitarnya tahun
1996, peristiwa kerusuhan Mei, 12-15 Mei 1998 yang berakhir dengan
turunnya Soeharto.

Pada level masyarakat dan masyarakat, rezim otoritarian Soeharto
telah menciptakan sebuah masyarakat penuh prasangka-prasangka. Itu
bisa terjadi karena problem ideologis ataupun karena problem SARA.
Sebagai dampaknya, munculnya sinisme bahwa etnis Cina di Indonesia
terlalu memonopoli perdagangan dan menguasai sektor ekonomi dan
dianggap tidak nasionalis. Sementara pada sisi lain, pada era
Soeharto, kesempatan bagi etnis Cina untuk berkecimpung di sektor
politik, pendidikan sangat dibatasi. Kecurigaan juga muncul antara
satu kelompok dengan kelompok lain.

Pada level negara dan negara, terdapat perasaan anti-Jakarta di
beberapa daerah, khususnya di daerah konflik seperti Aceh dan Irian
Jaya. Perasaan itu muncul akibat kebijakan sentralistik dan
eksploitatif yang diterapkan rezim Orde Baru. Akibatnya, ketika rezim
otoritarian ambruk dan muncul sebuah pemerintahan transisi yang
lemah, terjadi "pemberontakan" dari daerah untuk melepaskan dari
dominasi pusat.

Sebuah diskursus yang ditawarkan untuk mengatasi
ketidakharmonisan hubungan di tiga level itu adalah rekonsiliasi.
Pakar sosiologi politik Universitas Airlangga Daniel Sparingga dalam
makalah berjudul "Upaya Menyelamatkan Masa Depan Bangsa dan Negara"
di Dewan Pertimbangan Agung, tanggal 6 Agustus 2001, mengemukakan,
rekonsiliasi secara semantik berarti: "memulihkan kembali relasi dan
kepercayaan atas dasar penghormatan pada prinsip kemanusiaan di
antara dua kelompok atau lebih yang dirusakkan oleh hubungan yang
tidak adil pada masa lalu."

Melihat pengalaman negara lain dalam proses transisi menuju
demokrasi, Abdul Hakim Garuda Nusantara melihat sebenarnya tak ada
model yang seragam untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan,
menurut Abdul Hakim, tidak ada negara yang bisa secara tuntas untuk
menyelesaikan kasus tersebut. Tuntas dalam artian semua pelanggar HAM
diadili dan kepada korban diberikan kompensasi.

Sparingga menyebutkan ada empat model yang lazim untuk
menyelesaikan masa lalu.

Model pertama adalah prinsip never to forget, never to forgive
(tidak melupakan, tidak memaafkan). Dalam bahasa sehari-hari pola ini
mengambil garis tegas: "adili dan hukum". Pola ini bisa dilihat di
Jerman, setelah runtuhnya rezim Fasis di bawah Hitler.

Model kedua adalah never to forget but to forgive (tidak pernah
melupakan, tetapi memaafkan). Dalam tataran praktis model ini bisa
dibahasakan sebagai "adili dan kemudian ampuni". Model ini diterapkan
di Korea Selatan ketika mantan Presiden Chun Doo-hwan diadili dan
kemudian diampuni. Model Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika
Selatan dengan pendekatan disclosure bisa dikategorikan masuk dalam
pola ini.

Model ketiga to forget but never to forgive (melupakan tetapi
tidak pernah memaafkan). Pada tataran praksis, model ini tidak
membutuhkan pengadilan, tetapi kejadian itu akan dikutuk selamanya.
Pola ini, menurut Sparingga, bisa dilihat pada cara masyarakat Eropa
melihat peristiwa inkuisisi yang dilakukan pada penganut ajaran
Protestan di Eropa pada abad pertengahan.

Model keempat adalah to forget and to forgive (melupakan dan
memaafkan). Artinya, tidak perlu ada pengadilan dan lupakan saja
peristiwa masa lalu. Pola ini diambil Spanyol segera setelah jatuhnya
diktator Franco di era tahun 1970-an. Pada pola ini, kepemimpinan
menjadi faktor yang deterministik. Adolfo Suares, sukses memimpin
proses yang oleh masyarakat Spanyol dikenal sebagai pola reforma-
pactada ruptura-pactada (reformasi dan pemutusan hubungan dengan masa
lalu yang dirundingkan).

Bagaimana dengan Indonesia?

"Indonesia belum menentukan pilihan yang jelas. Ada kegamangan-
kegamangan untuk mengambil keputusan. Akibatnya, pelanggaran HAM pada
masa lalu tidak pernah terungkapkan, sementara kerja-kerja untuk
membangun sistem politik yang lebih demokratis pun belum menampakkan
sosoknya," kata aktivis LSM yang terlibat dalam penyiapan draf
Rancangan Undang-undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
Abdul Hakim Garuda Nusantara.

Ketidakjelasan pola yang mau diambil atau ketidakseriusan memilih
model itu juga tampak dari produk-produk MPR. Dalam Sidang Tahunan
MPR tahun 2001, MPR telah memerintahkan untuk dibentuknya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.

Dalam Ketetapan (Tap) MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional, Komisi ini diposisikan sebagai
lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya
ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan
kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran HAM pada masa lalu, sesuai dengan ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku. Setelah pengungkapan kebenaran dapat
dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf,
perdamaian, penegakan hukum, amnesti, dan rehabilitasi serta
alternatif lain untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan
sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.

Dalam Tap MPR No VIII/ MPR/2000, MPR juga memerintahkan kepada
presiden untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM
secara serius dan adil. Perintah MPR itu dikeluarkan karena MPR
menilai penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih lamban,
diskriminatif dan belum tuntas, sementara pelanggaran HAM tetap
berlangsung.

Masa satu tahun dari Agustus 2000 hingga Agustus 2001, tugas-
tugas yang diperintahkan MPR itu tak dikerjakan. Yang terjadilah
adalah konflik antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR yang
berakhir dengan turunnya Abdurrahman Wahid dan digantikan Megawati
Soekarnoputri. Akibatnya, tugas pemerintah dan DPR untuk membuat RUU
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tak kunjung bisa diselesaikan.
Sampai akhirnya pada November 2001, melalui Tap MPR No
X/MPR/2001, MPR kembali menugaskan kepada Presiden dengan formulasi
yang sama dengan Tap MPR No VIII/MPR/ 2000 yaitu presiden segera
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dinilai MPR masih lamban dan
diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. MPR juga
memerintahkan Presiden dan DPR segera membuat RUU Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi.

***

ADALAH kenyataan bahwa sepanjang tahun 2001, hampir tidak ada
kasus pelanggaran HAM yang diadili. Kalaupun ada seperti diadilinya
sejumlah anggota Brimob yang dituduh telah menembak dan menewaskan
mahasiswa Trisakti di Mahkamah Militer II-08 Jakarta, dihadapkan pada
sebuah rendahnya kepercayaan publik.

Sementara, pengadilan kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur
(Timtim) pascapenentuan pendapat yang menurut Kejaksaan Agung sudah
selesai tingkat penyidikannya, masih diragukan bakal terwujud pada
bulan Desember 2001 ini. Hakim-hakim Ad Hoc yang direkrut Benjamin
Mangkoedilaga sampai catatan ini ditulis belum diketahui kapan akan
dilantik dan disahkan. Kalaupun, persidangan itu akan digelar, masih
juga diragukan apakah proses itu bisa memberikan keadilan dan
diterima sebagai sebuah proses peradilan yang fair dan impartial.

Ketika negara justru tidak terlalu bersemangat, yang justru
bersemangat adalah lembaga nonnegara seperti Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia. Komnas HAM justru banyak memproduksi Komisi-komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM ke berbagai daerah, seperti KPP HAM
Timtim, KPP HAM Tanjung Priok, KPP HAM Ambon (peristiwa Kebon
Cengkeh), KPP HAM Abepura (Irian Jaya), dan KPP HAM Sampit. Sebagian
berkas telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung, namun hingga kini
juga belum ketahuan ujung dari penyelidikan yang cukup membutuhkan
biaya mahal tersebut.

Bagi Abdul Hakim keterlambatan dalam proses penyelesaian masalah
masa lalu bukan semata-mata disebabkan karena persoalan teknis,
seperti perbedaan definisi soal rumusan pelanggaran HAM berat dan
pelanggaran HAM biasa atau soal belum adanya pengalaman untuk
menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan. "Masalahnya adalah tidak
ada komitmen politik dari rezim untuk menyelesaikan masalah masa
lalu. Itu saja," kata Abdul Hakim.

Para elite politik di era transisi, terlalu cepat masuk ke dalam
kancah perpolitikan sementara komitmen untuk menyelesaikan masalah
masa lalu, diperhitungkan dengan untung ruginya bagi kekuasaan.
Kepentingan politik praktis pragmatis untuk mempertahankan kekuasaan
atau mendapat kekuasaan lebih dominan dibandingkan sebuah komitmen
yang kuat untuk menyelesaikan masalah masa lalu, sebagai sebuah
fondasi menatap masa depan.

Pada tataran lain, kekuatan politik pendukung rezim otoritarian
Soeharto telah bermetamorfosa dan masuk ke dalam partai-partai
politik yang sekarang ini ada. Yang terjadi kemudian adalah partai-
partai politik menjadi seperti pelindung dari orang-orang yang
sebenarnya patut dimintai pertanggungjawabannya dalam berbagai kasus
kejahatan HAM maupun korupsi.

Problem krisis ekonomi yang berkepanjang sering juga kemudian
menyisihkan perdebatan soal transisi menuju demokrasi. Spanyol juga
dihadapkan hal seperti itu. Namun, PM Adolfo Suarez bisa mengambil
pilihan tepat dan mampu meyakinkan rakyatnya. Suares berpendapat,
selama ketidakpastian politik yang membayangi seluruh negara tidak
terpecahkan, tidak akan terjadi reaktivasi ekonomi dan tidak akan ada
stabilitas ekonomi. Suares memilih untuk membentuk institusi politik
yang sah untuk membuat keputusan-keputusan dan meninggalkan untuk
sementara reformasi ekonomi dan reformasi sosial.

Bagi Indonesia, selain krisis ekonomi juga dihadapkan pada
konflik horizontal dan ancaman pemisahan teritorial. Menurut
Sparingga, Indonesia juga dihadapkan pada langkanya leadership dan
common platform di tingkat negara (dua hal yang bisa menyelamatkan
transisi dari kegagalan).

Transisi politik di Indonesia ditandai dengan pertarungan
ideologi dan pertarungan kekuasaan yang kemudian menyingkirkan tema-
tema relevan dalam proses transisi menuju demokrasi dari khazanah
perdebatan publik. Akibatnya, upaya menyelesaikan masalah masa lalu
menjadi tidak mudah karena bercampurnya kepentingan politik bahkan
ideologis. Dan yang tak boleh dilupakan adalah pemain-pemain kunci
pada era transisi sekarang adalah pemain-pemain lama atau yang punya
kaitan erat dengan masa lalu.

Proses transisi menuju demokrasi yang seharusnya ditindaklanjuti
dengan konsolidasi kekuatan prodemokrasi ternyata tidak terjadi di
Indonesia. Yang melakukan konsolidasi justru kekuatan-kekuatan lama
yang sukses menempatkan orang-orang sebagai penguasa daerah,
sementara kekuatan yang menyebutkan proreformasi malah dihadapkan
pada perpecahan-perpecahan di antara mereka sendiri.

Terlepas dari semua perdebatan, pilihan politik tentang format
penyelesaian masalah masa lalu harus diambil. Dengan mengutip Richard
Goldstone dalam buku Human Rights in Political Transitions bahwa
without justice, without acknowledgement, future evil leaders will
more easily be able to manipulate historic grievances (tanpa
keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan
akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis).

Abdul Hakim melihat yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah
disintegrasi kekuatan proreformasi. Itu tampak di DPR ketika
memutuskan kasus pelanggaran HAM Trisakti dan juga pembentukan Pansus
Bulog II yang melibatkan Akbar Tandjung. Kekuatan proreformasi yang
pada saat kampanye meneriakkan perlunya pengadilan HAM bagi militer
yang berbuat salah, kekuatan yang berteriak keras ketika Abdurrahman
Wahid disangka terlibat dalam kasus Bulog I, kini berada dalam posisi
yang berbeda. Mereka menolak terbentuknya Pansus Bulog II, mereka
juga menolak Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Trisakti. Mengapa itu
semua terjadi? "Jelas sekali kepentingan kekuasaan jangka pendeklah
yang menjadi faktor penentu," demikian Abdul Hakim.

Tren Pelemahan Komisi Negara

KOMPAS
19 Desember 2007-
Halaman 45


Lembaga Negara
Tren Pelemahan Komisi Negara

Budiman Tanuredjo

....Komisi Yudisial harus kita jaga. Di dalam dan melalui komisi ini kita berharap keadilan masih bisa ditegakkan. Dari mereka kita peroleh keadilan hukum yang melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah kita. Dari komisi ini kita himpun kekuatan para hakim yang dengan teguh masih menjaga integritas moral sebagai abdi hukum untuk menyelamatkan dan melanjutkan agenda reformasi peradilan. Maka, kembalikan kewenangan komisi ini agar pengawasan terhadap tingkat laku hakim-hakim yang selama ini menodai martabat diri dan profesi mereka dapat dilakukan secara efisien. Kembalikan kewenangan Komisi Yudisial untuk bersama seluruh rakyat melawan mafia peradilan.

— Jakarta, hari Sabtu, 15 Desember 2007.

Petisi bertajuk ”Kami Haus Keadilan” itu ditandatangani WS Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainun Najib, Mohamad Sobary, Abdurrahman Wahid, Adnan Buyung Nasution, dan Nathan Setiabudi. Petisi itu dikemas dalam bentuk panggung budaya bertema ”Keadilan Sosial antara Cita dan Realitas”, Sabtu malam.

Sangat boleh jadi, apa yang dilakukan Komisi Yudisial merupakan sebuah bentuk perlawanan kultural atas berbagai ”perampasan” kewenangan yang telah diberikan kepadanya. Komisi Yudisial memang dalam posisi yang tidak menguntungkan setelah salah seorang komisionernya, Irawady Joenoes, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kini sedang diadili.Komisi Yudisial adalah salah satu komisi negara yang terbentuk pasca-Orde Baru yang tampaknya berpotensi untuk didorong menjadi komisi negara yang gagal. Kewenangannya dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi (MK), salah seorang komisionernya diadili atas tuduhan menerima suap.

Upaya untuk membangun kembali citra dan meraih kembali dukungan publik tampaknya sedang diupayakan oleh komisi tersebut.Sejumlah tokoh dalam petisinya berteriak demikian keras. ”Kita waspada terhadap kekuatan-kekuatan antireformasi yang masih bercokol di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tahun demi tahun lewat, tapi hasil yang kita harapkan dari reformasi sama sekali belum memadai,” tulis petisi itu.

Ia melanjutkan, ”Jaringan dan wujud organisasi antireformasi itu mungkin tidak ada, setidaknya tidak kasatmata, tapi pengaruh dan akibat-akibatnya sangat terasa. Di seluruh Tanah Air, lembaga peradilan kita tetap kotor dan kita tak perlu menjadi ahli hukum untuk menyimpulkan bahwa pengadilan-pengadilan kita bukanlah tempat rakyat mencari keadilan.”

Pada intinya, petisi itu mau mengatakan satu hal: kembalikan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial!

Gelombang normalisasi

Komisi Yudisial adalah satu dari puluhan komisi negara yang dibentuk pasca-Orde Baru. Pembentukan komisi negara (state auxiliary body) menandai masa transisi demokrasi di Indonesia. Dilandasi ketidakpercayaan terhadap semua yang berbau negara, eforia publik ikut mendorong lahirnya komisi-komisi negara. ”Awalnya adalah adanya ketidakpercayaan terhadap unsur-unsur negara,” ujar Satya Arinanto, ahli hukum tata negara Universitas Indonesia, dalam percakapan dengan Kompas, Senin (17/12).

Hal senada disampaikan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur II). Kelahiran komisi negara diawali dengan semangat untuk meniadakan kekuasaan dominan dalam segi tiga kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Namun, dalam perkembangannya, kata Benny, komisi-komisi negara itu tak cukup punya daya tahan. Ia terasa kedodoran dalam perjalanannya.Kolega Benny di Komisi III DPR, Prof Dr Gayus Lumbuun, melihat merebaknya komisi-komisi negara yang tumbuh pasca-Orde Baru dan kemudian meredup pasca-Orde Baru lebih banyak disebabkan oleh ketidakjelasan politik negara di bidang hukum. ”Bagaimana ketika komisi negara dibentuk dan kemudian kini bagaimana dijalankan, tidak nyambung,” ujar Gayus yang juga ahli hukum administrasi negara.Pascatumbangnya Presiden Soeharto, komisi-komisi negara tumbuh di berbagai cabang kekuasaan.

Di cabang kekuasaan yudikatif muncul Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi serta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hadir pula Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk Presiden Soeharto masih tetap eksis hingga kini meski perannya tampaknya juga mulai meredup.Bagi Benny Harman, komisi negara itu tidak punya daya tahan karena melemahnya dukungan publik dan adanya kebangkitan kembali potensi kekuatan otoritarian.

Sesuai fitrahnya, kekuasaan tak suka diawasi. Karena itu, munculnya komisi-komisi negara yang punya semangat mengawasi kini mulai terasa mengganggu. ”Semangat otoritarian mulai bangkit dan menyergap komisi-komisi negara,” ujar Benny yang memperkirakan ”masa depan komisi negara bisa menjadi tidak jelas”.

Apa yang terjadi pada Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut Satya, adalah sebuah pelampiasan dendam politik dari politisi di DPR. Pelemahan KPK adalah wujud ketidakpuasan politik politisi di parlemen yang merasa tidak nyaman dengan gebrakan KPK. Namun, Gayus menampik tuduhan upaya pelemahan KPK oleh DPR. ”Saya kira bukan pelemahan, tapi mungkin keinginan untuk mengendalikan. Dalam politik itu wajar saja,” katanya.

Kecenderungan pelemahan komisi negara tampak dari bubarnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi yang didesain untuk mengungkap kebenaran dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu itu kandas nasibnya di tangan MK. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun nasibnya ”digantung” MK yang memberikan tenggat tiga tahun bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nasib Komisi Yudisial pun tidak lebih baik. Kewenangan pengawasan yang diberikan kepadanya pun dipangkas MK, setelah sejumlah hakim agung mengajukan uji materi.Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak luput dari intervensi kepentingan politik.

Dipilihnya salah seorang anggota KPU yang berstatus tersangka, dan kini sedang diadili, bisa dibaca sebagai keinginan untuk tetap menempatkan KPU dalam kendali kekuatan politik. Akibatnya, KPU pun masih dalam status bermasalah karena keanggotaannya yang tidak lengkap sesuai undang-undang.

Pertarungan tiga lembaga

Mahkamah Konstitusi menjalankan perannya yang sangat sentral dalam kiprahnya lima tahun ini. Ia menjadi lembaga yang mendobrak kukuhnya ”Tembok Berlin”. Perjuangan untuk mencabut pasal-pasal penyebaran kebencian dalam KUHP (hatzaai artikelen) yang lama diperjuangkan berhasil di tangan MK. Terakhir putusan MK memberikan izin bagi calon perseorangan untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah. Putusan MK itu tidak disukai parpol yang selama ini menjadi satu-satunya perahu menuju ke kekuasaan.

Politisi di DPR selalu mempersoalkan keputusan sembilan hakim konstitusi yang membatalkan produk undang-undang yang dihasikan 500 anggota DPR. DPR merasa lebih super, tetapi kini kewenangan DPR itu bisa dikoreksi MK yang menempatkan dirinya sebagai penjaga konstitusi.

Demikian strategisnya posisi MK—karena kewenangannya diturunkan UUD 1945—membuat posisi lembaga itu susah untuk digoyang. Salah satu langkah yang mungkin dilakukan adalah bagaimana proses seleksi hakim konstitusi.Kebetulan pada tahun 2008 sembilan hakim konstitusi akan berakhir masa jabatannya. Di sinilah ruang terbuka bagi kekuatan politik untuk menanamkan pengaruhnya di MK.

Hakim konstitusi berasal dari tiga cabang kekuasaan, tiga hakim dari DPR, tiga hakim dari pemerintah, dan tiga hakim dari Mahkamah Agung. Apakah MK juga akan terkena virus pelemahan? Masih susah untuk menjawabnya. Namun, menurut Benny Harman, wajah MK ke depan sangat ditentukan oleh interaksi tiga lembaga: pemerintah, DPR, dan MA.Waktu memang akan menjawab: apakah kecenderungan pelemahan komisi negara juga akan menerpa Mahkamah Konstitusi.

Kamis, 13 Desember 2007

Setahap Menuju Pemilu 2009

KOMPAS
13 Desember 2008

Setahap Menuju Pemilu 2009

Rancangan Undang-Undang Partai Politik telah disetujui DPR. Aturan itu meneguhkan adanya jaminan kebebasan bagi warga negara membentuk partai politik.

Undang-undang baru memperbaiki beberapa bagian dalam undang-undang lama. Aturan pendirian parpol diperketat. Parpol harus memiliki kepengurusan 60 persen dari jumlah provinsi, 50 persen di kabupaten, dan 25 persen dari jumlah kecamatan. Aturan ini lebih berat dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang mensyaratkan kepengurusan 50 persen dari jumlah provinsi.

Keterwakilan 30 persen perempuan dipertegas dalam UU Parpol ini. Keterwakilan harus tercermin dalam pendirian parpol. Aturan baru mensyaratkan transparansi, di mana parpol harus melaporkan penerimaan dan pengeluarannya secara terbuka. Jumlah sumbangan yang diperbolehkan diterima diperbesar, yakni Rp 1 miliar untuk perseorangan dan Rp 4 miliar untuk pengusaha dalam satu tahun anggaran. Sebelumnya hanya Rp 200 juta dan Rp 800 juta.

Pengesahan UU Parpol barulah tahap awal menuju Pemilu 2009, yang tinggal 1,5 tahun. Kritik muncul terhadap substansi undang-undang yang cenderung memperketat syarat pendirian parpol dan kekhawatiran parpol dikuasai pemilik modal atau menjadi alat kekuasaan. Melemahnya pengawasan terhadap parpol juga titik keprihatinan.

Kita memahami kritik tersebut. Kritik tak bisa dilepaskan dari kinerja parpol yang selama ini belum memenuhi harapan. Ada kecenderungan parpol menjadi milik pengurus, sementara demokratisasi di tubuh parpol tidak berjalan. Kecenderungan praktik oligarki mengemuka. Survei Lembaga Survei Indonesia pada Maret 2007 mengonfirmasikan adanya keterasingan parpol dari pemilihnya (65 persen) dan mayoritas pemilih merasa parpol lebih banyak berbuat untuk kepentingan kelompok atau pimpinannya.Terepresentasikannya kepentingan atau harapan pemilih oleh parpol atau kekuatan politik akan membuat sistem demokrasi bekerja.

Sebaliknya, kegagalan parpol menjalankan peran dan fungsinya bisa mengganggu sistem demokrasi itu sendiri.UU Parpol adalah aturan main yang diharapkan mampu mendorong parpol menjalankan peran yang seharusnya. Karena itu, parpol perlu menyesuaikan diri dengan aturan baru, Departemen Kehakiman harus memverifikasi parpol yang jumlahnya lebih dari 70 parpol. Pemerintah dan DPR perlu segera merampungkan UU Pemilu serta undang-undang ikutan lainnya agar Komisi Pemilihan Umum bisa melakukan verifikasi parpol peserta pemilu. Itu adalah pekerjaan rumah.

Pemilu 2009 adalah ujian apakah bangsa Indonesia mampu melakukan konsolidasi demokrasi, di mana sirkulasi elite dilakukan dengan demokratis dan damai. Apakah sistem demokrasi bisa menyejahterakan rakyat? Kita mau mengingatkan penyelenggara negara akan pekerjaan rumah itu, sementara waktu kian mepet. Di sisi lain rakyat masih direpotkan dengan urusan perut!