KOMPAS
Sabtu, 22 Desember 2007
Kontroversi Putusan MA!
Kita sengaja membikin judul di atas untuk menegaskan betapa kontroversinya putusan Mahkamah Agung soal Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan.
Putusan MA itu merupakan sebuah drama demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, KPU Sulsel menetapkan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang sebagai pemenang pilkada. Amin Syam-Mansyur Ramli, yang diajukan Partai Golkar, mengajukan keberatan ke MA. Selisih suara memang tipis: 1.432.572:1.404.910.
MA mengabulkan sebagian permohonan Amin Syam dan memerintahkan KPU Sulsel mengulang pilkada di empat kabupaten. Selain baru pertama kali terjadi dalam sejarah pilkada Indonesia, putusan itu telah melampaui kewenangan hakim agung dalam memutuskan sengketa pilkada dan mengabulkan sesuatu yang tidak diminta (ultra petita) oleh pemohon.
Putusan itu tidak bulat. Hakim agung senior yang sekaligus Ketua Majelis Paulus Effendi Lotulung dan Djoko Sarwoko kalah suara dengan tiga hakim lainnya, Hakim Nyakpa, Mansyur Kartayasa, dan Abdul Manan. Voting dilakukan ketika MA terdesak batas waktu penyelesaian sengketa pilkada yang hanya 14 hari.
Paulus dan Djoko berpendapat, kewenangan MA dalam sengketa pilkada dibatasi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan MA No 6/2005. Undang-undang memberi MA kewenangan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPUD dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Bukan pilkada ulang!
Namun, tiga hakim lainnya—yang sebelum menjadi hakim berprofesi sebagai dosen, jaksa, dan hakim agama—mempunyai pendapat berbeda. Mereka memutuskan Pilkada Sulsel di empat kabupaten diulang dalam waktu tiga hingga enam bulan. Putusan itu melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang dan melampaui tuntutan pemohon yang hanya mempersoalkan penghitungan suara di Gowa, Bone, dan Bantaeng. Tetapi dalam putusannya, MA memasukkan juga Tana Toraja.
Putusan itu berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, memicu eskalasi politik lokal dan tentunya mempunyai konsekuensi biaya. Problem lainnya adalah akan berakhirnya tugas KPU Sulsel pada Mei 2008.
Dari sisi prosedur, memang putusan MA bersifat final dan mengikat. Namun, UU MA memberi tempat untuk melakukan peninjauan kembali jika memang terjadi kesalahan nyata dalam putusan sebelumnya. Preseden soal itu sudah ada. MA pernah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memenangkan Badrul Kamal sebagai Wali Kota Depok. Putusan PT Jawa Barat itu dikoreksi MA dan MA kemudian memenangkan Nur Mahmudi Ismail sebagai Wali Kota Depok.
Mengacu pada kasus Depok, peninjauan kembali merupakan salah satu langkah hukum yang perlu dipikirkan. Namun, yang perlu disadari dari drama demokrasi itu adalah bahwa pada akhirnya kekuasaan seharusnya bukanlah tujuan akhir. Kekuasaan adalah alat pengabdian dan pengabdian itu bisa dilakukan di mana saja!
Sabtu, 22 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar