Kamis, 29 November 2007

Mencari Demokrasi

KOMPAS
29 November 2007 Halaman 32

Budiman Tanuredjo

Sistem Politik
Mencari Demokrasi

...di semua negeri modern itu kapitalisme subur dan meradjalela! Disemua negeri modern itu kaum proletar ditindas hidupnya. Disemua negeri modern itu kini hidup miljunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro,-disemua negeri modern itu rakjat tidak selamat, bahkan sengsara-sengsaranya.
Inikah hatsilnya ”demokrasi jang dikeramatkan orang.”

Amboi,--parlemen! Tiap-tiap kaum proletar kini bisa ikut memilih wakil kedalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini bisa ”ikut memerintah”! Ja, tiap-tiap kaum proletar kini, kalau dia mau, bisa mengusir minister, mendjatuhkan minister itu terpelanting daripada kursinja. Tetapi pada saat jang ia bisa menjadi ”radja” diparlemen itu, pada saat itu djuga ia bisa sendiri bisa diusir dari paberik dimana ia bekerdja dengan upah kokoro-dilemparkan diatas jalan, menjadi orang pengangguran.Inikah ”demokrasi” jang dikeramatkan itu?
Ir Soekarno, ”Di Bawah Bendera Revolusi” (1965), halaman 172-173


Demokrasi (tanpa kata sifat) kembali menjadi perdebatan dalam politik Indonesia. Adalah Ketua Umum Partai Golkar Muhammad Jusuf Kalla yang memancing perdebatan publik soal demokrasi.

Saat menutup Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, Jusuf Kalla mengemukakan, demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat. ”Demokrasi harus membawa manfaat. Sebab itu cara (demokrasi) bisa berubah, tetapi tujuan tidak!” ujar Kalla (Kompas, 26/11/2007).

Pernyataan Kalla itu memicu kritik karena dianggap membahayakan kelangsungan demokrasi Indonesia. Apa yang dikatakan Kalla itu dapat dibaca sebagai ketidakpercayaan pemimpin Indonesia atas demokrasi. Bahkan, ada pula tudingan pikiran itu sebagai inti otoritarianisme Partai Golkar. Namun, bagi sosiolog Kastorius Sinaga dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, Rabu (28/11), pernyataan Kalla hanyalah sebagai respons atas dinamika internal Partai Golkar soal polarisasi pro-konvensi dan anti-konvensi.

Diskursus soal demokrasi sebenarnya terus mengiringi perjalanan bangsa Indonesia. Dalam kumpulan buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menolak demokrasi model Barat. Soekarno menulis, demokrasi politik sahaja, belumlah menjelamatkan rakjat. Kaum nasionalis Indonesia tidak mengeramatkan ”demokrasi” jang demikian itu. ”Nasionalisme kita haruslah nasionalisme jang tidak mentjari gebjarnja atau kilaunja sahadja, tetapi ia haruslah mentjari selamat semua manusia.”

Saat memimpin Soekarno kemudian mengintrodusir Demokrasi Terpimpin (1959-1966) sebagai koreksi atas Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1950-1959) yang dinilainya kebablasan. Soeharto kemudian memperkenalkan Demokrasi Pancasila (1967-1998). Bagi Kastorius Sinaga, dalam perjalanan sejarah demokrasi—yang merupakan konsep Barat—tidak diterapkan secara murni di Indonesia. Ada penyesuaian dari kekuatan politik yang berkuasa. Soeharto memperkenalkan Demokrasi Pancasila dengan segala motif kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan memang mempunyai keleluasaan untuk memberikan tafsir mengenai demokrasi.

Demokrasi dan konstitusiDemokrasi bukanlah kata asli Indonesia. Bahkan, dalam dokumen resmi Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945—yang merupakan kontrak sosial bangsa—tak tercantum satu patah kata pun mengenai demokrasi. Kata demokrasi—dalam bentuk kata sifat—baru muncul dalam dua pasal Perubahan UUD 1945. Itu tertuang dalam Pasal 18 Ayat 4 yang berbunyi: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Tak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan dipilih secara demokratis.

Jika menggunakan analogi pemilihan presiden pada Pasal 6A Perubahan UUD 1945 disebut, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Apakah itu berarti demokratis sama artinya dipilih secara langsung oleh rakyat?Pasal lainnya adalah Pasal 28J Ayat 2 Perubahan UUD 1945. Dalam pasal itu disebutkan, Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Tak ada juga penjelasan apa itu masyarakat yang demokratis.

Mengenai bentuk negara, Pasal 1 (1) UUD 1945 menegaskan, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, dan (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, serta (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Dalam tafsiran Kastorius Sinaga, demokirasi Indonesia adalah Demokrasi Konstitusional dan tujuan bernegara dikembalikan kepada Pembukaan UUD 1945. Itu berarti, konstitusi menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Politisi senior Abdul Madjid dalam perayaan ulang tahun ke-90 di Jakarta beberapa waktu lalu mengajak elite politik untuk kembali pada lima tujuan kemerdekaan Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Kelima tujuan itu adalah menghapuskan penjajahan di atas dunia; melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ia mengajak agar lima tujuan kemerdekaan sebagai tertera dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan sebagai tujuan pemerintah yang berkuasa di Indonesia, siapa pun itu. Namun, kenyataannya, saat ini, presiden menetapkan visi dan misinya sendiri yang disampaikan dalam kampanye.

Kegamangan

Bagi Kastorius, sebagian elite politik—dalam pernyataan politiknya—terlihat mulai gamang dengan sistem demokrasi yang dihayatinya hanyalah prosedur politik yang melelahkan dan memakan biaya mahal. Dukungan terhadap sistem politik demokrasi sekarang ini, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia Mei 2006, sebanyak 72 persen. Mayoritas responden (72%) memandang demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik. Posisi Indonesia itu dekat dengan Meksiko (71%) dan Filipina (72%), tetapi persentase Indonesia itu masih di bawah negara demokrasi yang sudah mapan seperti Jerman (93%), Amerika Serikat (88%), Jepang (88%), dan Afrika Selatan (85%).

Belum tingginya dukungan terhadap sistem politik demokrasi tercermin dalam survei tingkat kepuasan terhadap praktik demokrasi. Pada tahun 2006, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia, 62 persen responden puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.Teoretisi politik George Sorensen pernah memperkenalkan konsep demokrasi beku (frozen democracy) yang menggambarkan suatu kondisi masyarakat di mana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada.

Sorensen sebagaimana dikutip Heru Nugroho saat mengantarkan buku John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku. Keempat indikator itu adalah kondisi perekonomian yang tak kunjung baik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial-politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian masalah sosial-politik-hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas.

Dari sisi kondisi ekonomi banyak pihak sepakat tak kunjung membaik sejak gerakan reformasi digulirkan sembilan tahun lalu. Jumlah orang miskin dan penganggur masih besar. Masyarakat sipil memang tumbuh seiring dengan melemahnya negara. Namun, tumbuhnya masyarakat sipil itu tak disertai dengan adanya ketertiban sosial dan keberadaban masyarakat. Itu bisa dilihat dengan adanya penghancuran satu kelompok oleh kelompok lain tanpa negara bisa mencegah. Kebebasan beragama yang merupakan kebebasan sipil yang dijamin konstitusi menjadi tidak punya arti bagi kelompok minoritas. Mengenai konsolidasi elite, yang terjadi justru fragmentasi elite politik. Pemberantasan korupsi tersendat karena pertarungan kepentingan di kalangan elite politik. Problem politik dan hukum masa lalu tetap saja menyandera. Meskipun reformasi sudah bergulir sembilan tahun, orang yang diduga melanggar HAM dan korupsi tetap bebas berkeliaran. Orang yang ikut menikmati bagian dari sistem koruptif masa lalu, ikut berpesta pora pada masa lalu, kini berteriak lantang, mengecam praktik masa lalu, di mana ia sendiri ikut berada di sana dan menjadi bagian darinya.

Mengacu pada empat indikator Sorensen, boleh jadi Indonesia sedang menuju ke demokrasi yang beku. Demokrasi yang tidak memberi makna apa-apa bagi bangsanya. Itu bisa terjadi karena minimnya aktor-aktor demokrasi dan pemahaman demokrasi hanya semata-mata pada soal kebebasan dan prosedur. Untuk memperjuangkan sistem politik demokratis dibutuhkan seorang demokrat yang punya keyakinan, bukan sebuah kegamangan.

Demokrasi bukan hanya untuk demokrasi! Kelima tujuan negara sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945 itu harus dicapai dengan jalan demokrasi! Melahirkan demokrasi di Indonesia, di mana rakyat menikmati kembali kedaulatannya, telah membawa banyak korban dan itu mahal harganya! Sistem politik demokrasi justru harus mampu bekerja untuk merespons penderitaan rakyat. Teriakan korban Lapindo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat patut direnungkan. ”Lengkap sudah. Eksekutif, legislatif, dan pengadilan sudah tak dapat diharapkan.” Kalau itu terjadi, lalu ke mana rakyat bisa menaruh harapan.

Senin, 19 November 2007

Uang dan Kekuasaan

KOMPAS
14 November 2007


Uang dan Kekuasaan

Surat Ketua BPK Anwar Nasution kepada Ketua KPK mengenai aliran dana Bank Indonesia menyentak kita semua.
Uang itu mengalir sampai jauh. Surat Ketua BPK itu tertanggal 14 November 2006. Artinya, secara formal, surat yang ditembuskan kepada Kepala Polri dan Jaksa Agung itu sudah berada di meja penegak hukum satu tahun lamanya.

Penyelidikan kasus itu sepi dari liputan publik, sampai akhirnya media mengendus dan membukanya kepada publik.Dalam suratnya, Anwar menginformasikan: dana Bank Indonesia dan Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia digunakan untuk keperluan pemberian bantuan hukum mantan direksi Bank Indonesia dan lobi politik di DPR.

Dana itu mengalir ke aparat penegak hukum dan anggota DPR. Pola itu bukanlah yang pertama. Kita ingat betapa telanjangnya aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan.Kekuatan uang sudah merasuki segala lini kehidupan. Lobi politik membutuhkan dana, keadilan bisa ditransaksikan, jasa pelayanan publik pun bisa dirundingkan.

Dalam dunia pendidikan, kita membaca di media massa ada jual beli nilai ujian nasional. Nilai kebenaran dan keadilan tersingkir. Secara sinikal kita mendengar istilah upeti, uang semir, uang pelicin, dan uang suap. Ada juga akronim KUHP (Kasih Uang Habis Perkara). Juga ungkapan ”jabatan basah” atau ”jabatan kering”. Atau, istilah komisi air mata atau komisi mata air di DPR.

Meski ada upaya memberantasnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transparency International tak pernah beranjak secara signifikan. Sejak 1996 hingga 2007, IPK Indonesia tak pernah keluar dari angka tiga. Dalam IPK, negara terbersih diberi nilai sepuluh, sedangkan negara terkorup diberi nilai satu.

Praktik uang yang terjadi saat ini mengingatkan kita akan ungkapan Wakil Presiden Muhammad Hatta tahun 1960-an bahwa korupsi telah menjadi budaya di kalangan masyarakat. Atau pendapat Edward Shils yang menyebut korupsi sudah berkembang menjadi ”pengetahuan yang diam” (tacit knowledge) yang menggerakkan hampir seluruh kesadaran kolektif bangsa. Sistem nilai seakan telah rontok. Masyarakat menyadari korupsi adalah salah, tetapi ia merasa tidak bisa hidup tanpanya. Korupsi seakan menjadi ”kebenaran dalam kesalahan”.

Masalahnya adalah apakah kehidupan berbangsa akan kita biarkan seperti ini? Ataukah, bukan saatnya kita perlu memikirkan sebuah kondisi sosial untuk melawan korupsi, indignation (tidak menerima atau protes) masyarakat terhadap kekayaan yang diperoleh secara tidak benar. Bukankah saatnya kita membangun budaya baru yang menandingi cara pandang dan perilaku lama yang mengedepankan materi di atas segalanya atau orientasi hidup yang hanya mengejar kekuasaan dan kedudukan.

Terhadap kasus dana aliran BI, kita mengharapkan KPK dan juga Badan Kehormatan DPR menuntaskan kasus tersebut. Model penyelesaian ”adat”, sebagaimana sering terjadi, hanya akan melanggengkan budaya impunitas dan itu mengingkari prinsip negara hukum!

Awal dan Akhir Adelin Lis

KOMPAS
9 November 2007

Awal dan Akhir Adelin Lis

Kita memilih judul itu untuk menggambarkan perjalanan Adelin Lis yang berliku. Ia ditangkap polisi, dibebaskan hakim, dan diburu polisi lagi!

Awalnya, Kepolisian Daerah Sumatera Utara membidik Adelin dalam kasus pembalakan liar. Adelin buron dan ditangkap saat mengurus perpanjangan paspor di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing, China. Peristiwa itu memberikan kesan pemerintah sangat serius memerangi pembalakan liar.

Adelin diadili di Pengadilan Negeri Medan. Ia dituntut jaksa hukuman sepuluh tahun penjara serta mengganti dana provisi sumber daya hutan Rp 119 miliar dan 2,9 juta dollar AS karena diyakini jaksa terbukti membalak hutan. Namun, hakim membebaskan Adelin dari segala dakwaan. Hakim menyatakan Adelin bersalah dalam mengelola hutan, tetapi itu bukan tindak pidana, melainkan pelanggaran administrasi yang menjadi kewenangan Menteri Kehutanan. Polisi pun kemudian memburu Adelin dengan tuduhan lain: pencucian uang.Publik terkejut!

Secara teoretis, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan merdeka. Namun, dalam alam realitas, publik paham, kekuasaan kehakiman yang merdeka masihlah merupakan utopia. Banyak faktor yang memengaruhi sistem peradilan. Proses peradilan amat panjang. Mulai dari penyidikan Polri, penuntutan oleh jaksa, hingga pembelaan oleh pengacara dan hakim sebagai pemutus akhir. Juga masih ada panitera yang mencatat. Semua pihak bisa memainkan peran.

Adalah fakta yang terekam media massa bahwa penanganan kasus pembalakan liar ditandai oleh perseteruan hukum antara Polri dan Menteri Kehutanan. Bahkan, dalam persidangan kasus Adelin, Menteri Kehutanan MS Kaban ikut menulis surat kepada pengacara Adelin: bahwa pelanggaran dalam kasus itu adalah pelanggaran administratif. Surat itu digunakan pengacara, dan pendapat Menhut diadopsi hakim. Boleh jadi, bebasnya Adelin adalah buah dari pertarungan kepentingan yang kemudian dimanfaatkan.

Selain mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar, pembalakan liar juga menghilangkan fungsi lingkungan yang melekat pada hutan. Karena itu, sangatlah tepat agenda pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengatasi pembalakan liar. Namun, agenda kerja itu tak cukup hanya ditulis. Ia butuh sesuatu yang menggerakkan agar para pembantu presiden satu bahasa. Di sinilah kepemimpinan presiden harus mengedepan!

Kita mendukung langkah jaksa melakukan kasasi, MA mengeksaminasi. Namun, akan lebih baik kalau para pembantu presiden juga melakukan refleksi dan introspeksi. Seriuskah kita memerangi pembalakan liar?

Terhadap putusan hakim itu sendiri, kita ingat ucapan Hakim Agung AS Oliver Wendel Holmes. Ia mengatakan hukum bukanlah logika, tetapi kuyup dengan pengalaman hakim dalam berinteraksi dengan masyarakatnya. Pengambilan putusan bukanlah hanya soal logika dan rasio, tetapi juga rasa perasaan sang hakim. Hakim haruslah mampu menangkap degup keadilan rakyat.

Dilema Hukuman Mati

KOMPAS
11 November 2007

Dilema Hukuman Mati

Mahkamah Konstitusi telah memutuskan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat.Uji materi soal hukuman mati diminta oleh terpidana kasus narkotika.

Putusan yang menyangkut hak fundamental manusia, hak hidup (right to life), itu mengundang perdebatan. Dalam sejarahnya, pemberlakuan hukuman mati selalu mengundang pro dan kontra. Indonesia satu di antara 68 negara yang masih memberlakukan hukuman mati. 129 negara menghapus hukuman mati dengan berbagai gradasi, yakni 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, 11 negara untuk kejahatan biasa, dan 30 negara melakukan moratorium penjatuhan hukuman mati.

Tidak bulatnya putusan MK mencerminkan terbelahnya pandangan masyarakat mengenai hukuman mati. Enam hakim berpendapat, keadilan pada keluarga korban harus menjadi pertimbangan ketika ada pihak yang menuntut penghapusan hukuman mati.

Gagasan mempertahankan hak untuk hidup dari pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati menjadi dilematis ketika dihadapkan pada hak untuk hidup dari mereka yang telah menjadi korban kejahatan itu. Sebaliknya, tiga hakim yang menentang hukuman mati memberikan argumen, sesuai UUD 1945, falsafah bangsa dan Kovenan Internasional hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dicabut dalam keadaan apa pun. Kekeliruan dalam praksis peradilan dalam menjatuhkan putusan juga menjadi pertimbangan.Kesesatan peradilan mewarnai perjalanan.

Pada abad ke-18, Jean Callas divonis pidana mati oleh Pengadilan Toulosse, Perancis, karena didakwa membunuh putranya. Kemudian, ternyata tuduhan itu tidak terbukti, tetapi Callas telanjur dieksekusi. Hidup manusia hanya sekali dan tak terulang. Herman Mostar dalam buku Peradilan Sesat (1983) melukiskan rentetan kisah peradilan sesat sejak 1834 hingga 1946 di seluruh dunia. Kita masih ingat kasus peradilan sesat Sengkon-Karta (1974) di Pengadilan Negeri Bekasi.

Kita menghormati putusan MK. Namun, ada pesan yang disampaikan MK, yakni perlunya harmonisasi hukum mengenai hukuman mati. Itu harus dipikirkan pemerintah dan DPR. Hukuman mati bukanlah pidana pokok, melainkan pidana khusus atau pidana alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan baik dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Atau, pemerintah melakukan moratorium hukuman mati meskipun hukuman itu masih eksis. Politik hukum itu perlu karena hukuman mati tetaplah sesuatu yang dilematis.

Hakim yang diberi kewenangan undang-undang menjatuhkan hukuman mati tetaplah manusia biasa. Sebagai manusia, ia bisa saja khilaf dan keliru. Efek publikasi akibat kejahatan yang dahsyat, tekanan pendapat umum, atau pengaruh lainnya bisa mendorong munculnya putusan yang keliru. Dalam konteks itu, hukuman mati tetaplah dilematis yang harus disikapi dengan kearifan dan kehati-hatian.

Kontroversi Seleksi KPU

KOMPAS

10 Oktober

Kontroversi Seleksi KPU


Rapat Paripurna DPR, Selasa kemarin, akhirnya tetap meloloskan Syamsulbahri, calon anggota Komisi Pemilihan Umum yang berstatus tersangka kasus korupsi. Status itu dikonfirmasi langsung oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Sebelumnya, kelompok masyarakat memberikan masukan soal calon anggota KPU.

Saat uji kelayakan dilaksanakan, Syamsul di depan Komisi II DPR menegaskan dirinya hanyalah saksi. Pengakuan itu berbeda dengan pernyataan Jaksa Agung. Ketika kritik masyarakat mengalir, DPR bertahan dan berpegang pada prinsip asas praduga tak bersalah.

Dari sudut pandang positivisme hukum, Syamsul berhak menjadi anggota KPU. Namun, ada prinsip, ”bahwa yang legal belum tentu moral”. Sesuatu yang benar secara legal dan prosedural belumlah tentu benar secara moral.Seleksi anggota KPU telah melalui proses panjang.

Diawali dengan seleksi oleh Panitia Seleksi yang tak kurang kontroversialnya. Dari lebih dari 200 nama, Panitia memilih 45 orang dan kemudian diperas lagi menjadi 21. Nama itu diserahkan ke Presiden dan oleh Presiden diteruskan ke DPR.

Kita menyayangkan ritual seleksi yang panjang dan berbiaya besar ternyata menghasilkan sosok yang integritasnya dipersoalkan publik. Kita mempertanyakan bagaimana verifikasi dilakukan Panitia Seleksi, Kantor Kepresidenan dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, dan DPR ketika tetap meloloskan Syamsul.

Seakan kita tak pernah belajar dari pengalaman. Sejumlah anggota KPU 2001 masuk penjara karena kasus korupsi. Kita masih ingat ketika anggota Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, yang memegang jabatan Koordinator Pengawasan dan Keluhuran Martabat Hakim—yang diseleksi dengan mekanisme yang sama—tertangkap oleh KPK atas dugaan kasus suap.

Tugas KPU mempersiapkan Pemilu 2009 amat berat. Waktu yang tersedia hanya 1,5 tahun! KPU 2001 mempunyai waktu persiapan tiga tahun. Sebagai komisi yang perannya sentral dalam proses demokratisasi, KPU harus membangun institusi dan memulihkan citranya, dan secara bersamaan mempersiapkan Pemilu 2009.

Polemik soal Syamsul tak mendukung pembangunan institusi KPU yang berwibawa, yang mampu mengelola konflik di antara parpol peserta pemilu. Pembelaan parpol secara tidak langsung menunjukkan dukungan politik parpol. Hubungan seperti itu berpotensi menempatkan Syamsul dalam perangkap kepentingan kekuasaan. Baik kekuasaan yang membela maupun kekuasaan yang memberinya label status tersangka.Argumen legal memang bisa menjadi tameng. Namun, argumentasi legal itu seharusnya kehilangan legitimasinya ketika problem moralitas dan asas kepatutan lebih mengemuka.

Semua itu berpulang kepada Syamsul, ketika DPR dan pemerintah merasa tak bersalah; ketika politik kekuasaan telah memonopoli tafsir bahwa pencalonan Syamsul sah secara legal. Sepatutnya kita mengedepankan kepentingan yang lebih besar karena Pemilu 2009 adalah pertaruhan besar bagi demokrasi, dan harus dilaksanakan oleh KPU yang berwibawa.

Sabtu, 17 November 2007

AIB MENERPA WAJAH MA

KOMPAS

Kamis, 23 Mar 2000 Halaman: 7

BUDIMAN TANUREDJO

AIB MENERPA WAJAH MA

MENDUNG kembali menggelayuti dunia peradilan Indonesia. Setelah
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan R Soenarto menolak
dakwaan jaksa penuntut umum dengan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra
yang kemudian dipertanyakan Bank Dunia dan masyarakat, kini sorotan
masyarakat tertuju pada lembaga peradilan tertinggi, yakni Mahkamah
Agung. Masalahnya tak main-main, pemalsuan vonis.

AIB menerpa wajah institusi yang selama ini disebutkan sebagai
benteng terakhir keadilan. Wajah MA yang babak belur karena dinilai
tidak reformis, makin gelap dengan terungkapnya pemalsuan vonis
perkara pidana yang terjadi di lingkungannya.

Praktik pemalsuan vonis diungkapkan terdakwa Kolonel (Pol/Purn)
dr Rudi Hendrawidjaja MPH saat mengadukan masalah itu kepada Ketua
Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata. Rudi mengatakan, putusan
perkara bernomor 1082 K/PID/1998 yang diputuskan 17 Maret 1999 membuat
amar putusan "menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari
pemohon kasasi: penuntut umum/jaksa pada Kejaksaan Negeri Ujungpandang."

Adanya vonis 17 Maret 1999 itu masih dikuatkan oleh secarik surat
berisi tulisan tangan dari Ny Wiwiek, Kepala Sub Direktorat Kasasi dan
Peninjauan Kembali MA. Surat tertanggal 25 Mei 1999, itu bertuliskan,
T: Dr Rudy Hendra W dkk, No 1082 K/Pid/98, Pts: 17-3-99, amar:
menyatakan permohonan kasasi jaksa tidak dpt diterima.
Rudi juga mempunyai fotokopi "Sidang Ucapan Perkara Kasasi
Pidana", hari Rabu, 17 Maret 1999, Pukul 10.00, Tim A". Surat itu
berisi daftar perkara kasasi yang telah diputuskan majelis hakim Tim
A. Dari 16 perkara yang diputuskan, perkara dr Rudi tertera dalam
nomor 14 yang amarnya NO (Niet-ontvankelijk=tidak dapat diterima).

Namun, pada bulan November 1999, Rudi terkejut ketika bunyi amar
putusan telah berubah dari amar putusan awal "tidak dapat menerima
permohonan kasasi" menjadi "permohonan kasasi jaksa dikabulkan".
Rudi menduga, salah seorang hakim agung yang memutus perkara itu
telah mengubah amar putusan.

Mana yang asli atau mana yang palsu, belum jelas benar. Namun,
salah seorang hakim agung HP Panggabean menuding putusan 17 Maret 1999
adalah putusan palsu. "Putusan yang menolak kasasi Rudi adalah putusan
palsu," kata Panggabean yang memutuskan perkara bersama Sarwata (Ketua
MA) dan Paulus Effendi Lotulung.

Kuasa hukum saksi pelapor yang melaporkan Rudi ke kepolisian, ZA
Salehtompo kepada Kompas juga menyebutkan, pada bulan Maret 1999 belum
ada putusan atas nama terdakwa Rudi. Saleh pun menunjukkan lembaran
hasil print-out Pelayanan 121 Mahkamah Agung. Saleh rajin memonitor
perjalanan perkara dengan terdakwa Rudi melalui mekanisme "Pelayanan
121 MA". Pelayanan 121 ini merupakan fasilitas yang diberikan MA
kepada pencari keadilan yang ingin mengetahui keberadaan sebuah
perkara di MA.

Saleh memonitor perjalanan perkara sejak 11 November 1998. Pada
15 Maret 1999 baru diketahui susunan majelis Sarwata, Paulus EL, HP
Panggabean dan panitera pengganti IGA Sumanatha. Pada tanggal 13 April
1999 belum diketahui amar putusan kasus tersebut. Begitu juga pencekan
pada 11 Mei 1999 dan 3 November 1999. Baru pada pencekan tanggal 2
Desember 1999 tertera, pada tanggal 16 November 1999, amar singkat
kabul (artinya kasasi dikabulkan).

"Jadi, menurut saya, putusan bulan Maret itu palsu. Dan saya
yakin, majelis hakim agung tidak tahu soal vonis bulan Maret," ujar
Saleh yang datang ke redaksi Kompas hari Rabu (22/3). Ketika ditanya
apakah dirinya sudah menerima salinan putusan asli tertanggal 16
November 1999, Saleh mengatakan, "Saya belum terima. Itu masih
diproses di MA."

HP Panggabean merasa sedih dengan terjadinya pemalsuan vonis itu.
"Saya sedih, pasti ada orang MA yang terlibat membuat putusan palsu
itu," ujar Panggabean, yang sangat yakin putusan 17 Maret 1999 adalah
palsu.

Alasan putusan 17 Maret 1999 palsu, menurut Panggabean, putusan
itu diketik menggunakan kertas surat berkop MA. Setiap lembar salinan
yang diserahkan kepada masing-masing pihak juga diberi cap MA.
Panggabean yakin, yang melakukan pemalsuan adalah pegawai MA.

Menurut pengamatan Kompas, dalam salinan putusan setebal 24
halaman pada halaman muka memang tertera kop "Mahkamah Agung RI Jl
Mer-deka Utara No 9-13". Dalam lembar-lembar berikutnya memang tidak
ada cap MA. Hanya pada halaman terakhir tertera kalimat: Untuk
salinan, Mahkamah Agung RI, Kepala Direktorat Pidana Djoko Sarwoko.
Tertera tanda tangan Djoko Sarwoko dan cap. Namun, Djoko mengaku tidak
pernah menandatangani putusan 17 Maret 1999.

***

MANA vonis yang asli, apakah vonis 17 Maret 1999 atau vonis 16
November 1999, itu masih diproses MA, belum jelas benar. Bagi MA,
peristiwa pemalsuan vonis bukan sekali ini saja terjadi. "Kalau saya
sih tidak kaget dengan berita vonis palsu. Hanya satu atau dua saja
yang terungkap, yang lain mungkin masih ada," ujar praktisi hukum
Luhut MP Pangaribuan kepada Kompas.

Memang kasus pemalsuan vonis MA bukanlah yang pertama kali
terjadi. Sebelumnya, vonis palsu terjadi dalam kasus penyelundupan
rotan dengan terdakwa Tony Guritman. Oleh majelis hakim PN Surabaya,
Tony divonis bebas. Kemudian jaksa mengajukan kasasi. Pu-tusan hakim
agung Adi Andojo Soetjipto, 21 Maret 1990, menerima kasasi jaksa dan
membatalkan putusan bebas.

Namun, dalam perjalanannya, vonis yang dijatuhkan Adi Andojo itu
"disulap" menjadi seakan mendukung putusan PN Surabaya yang
membebaskan Tony. Setelah dilakukan pengusutan, dua pegawai di MA,
Abdul Nasser dan kawan-kawan, diadili atas perbuatannya memalsu isi
putusan.

"Praktik pemalsuan vonis menunjukkan adanya masalah serius di
dalam tubuh Mahkamah Agung," ujar Pangaribuan. Ia juga bertanya-tanya
mengapa seorang pegawai MA-katakanlah benar seperti dikatakan HP
Panggabean-berani melakukan tindakan tercela. "Keberanian itu tumbuh
karena mereka (pegawai) juga melihat apa yang sebenarnya yang terjadi
di kalangan hakim agung," ujar Pangaribuan.

Perjalanan perkara di dalam MA memang begitu panjang. Menurut
penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sosial (LPPIS)
Universitas Indonesia, terdapat 25 langkah sebuah perkara sampai ke
putusan. Penelitian yang dilakukan tahun 1992 itu telah
merekomendasikan pemangkasan tahap perkara dari 25 menjadi 14 langkah
saja. Akibat panjangnya perjalanan perkara, demikian LPPIS, membuat
lubang-lubang bocornya putusan MA serta membuka kemungkinan pemalsuan
vonis MA bisa terjadi.

Bagi Pangaribuan, memang perlu ada pembenahan menyeluruh terhadap
Mahkamah Agung, termasuk pembenahan manajemen perkara di MA. Terjadinya
praktik pemalsuan vonis, demikian Pangaribuan, jelas telah menyangkut
moral dari orang-orang yang berada di MA.

"Pemalsuan putusan tak bisa dimaafkan. Kita harus ingat putusan
ini terjadi di institusi tertinggi yang selama ini disebut benteng
terakhir keadilan. Polri harus segera masuk melakukan pemeriksaan,"
kata Pangaribuan.

Dalam kasus ini, kata Pangaribuan lagi, tak ada imunitas MA untuk
menolak masuknya penyidik Polri. "Itu pidana umum, penyidik Polri
harus masuk. Penyidikan perkara pemalsuan vonis itu tidak ada kaitannya
dengan perkara," kata Pangaribuan.

MA juga harus membuka diri untuk mempersilakan penyidik Polri
masuk, untuk memeriksa terjadinya pemalsuan vonis. Bahkan hakim agung
HP Panggabean telah begitu yakin bahwa pegawai MA-lah terlibat dalam
pemutusan perkara tersebut.

Pangaribuan berpendapat, pengungkapan kasus vonis palsu-siapa pun
yang terlibat-harus diselesaikan secara transparan. Terlebih, vonis
yang dipalsukan merupakan vonis yang dibuat Ketua MA Sarwata, Paulus
Effendi Lotulung, dan HP Panggabean.

Seperti dikatakan Ketua Ombudsman Nasional Antonius Sujata,
peristiwa ini akan menimbulkan guncangan besar dalam dunia peradilan
karena menyangkut nama-nama yang kini berada di puncak pimpinan MA.
Terungkapnya kasus vonis palsu, sedikit banyak bisa memperbaiki wajah
MA yang belakangan agak babak belur. "Kasus ini tak bisa dilokalisir
karena risikonya terlalu besar," tambah Pangaribuan.
Mendung memang sedang menggelayuti Mahkamah Agung.

MAHKAMAH AGUNG DI TENGAH ARUS REFORMASI

KOMPAS

Selasa, 07 Mar 2000 Halaman: 7

BUDIMAN TANUREDJO

MAHKAMAH AGUNG DI TENGAH ARUS REFORMASI

TENGAH malam, Jumat, 31 Januari 1999, Presiden Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) memproklamasikan pergantian nama Propinsi Irian Jaya
menjadi Propinsi Papua. "Mulai sekarang, nama Irian Jaya menjadi
Papua. Mungkin waktu itu, penggembala-penggembala melihat teman-teman
di sini masih memakai koteka," kata Gus Dur dalam dialog dengan tokoh
masyarakat Irja, di malam pergantian tahun itu.

LANGKAH Gus Dur mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua bisa
dipandang sebagai cara Gus Dur untuk mengakomodasi keinginan
masyarakat di propinsi yang masih saja terus menimbulkan letupan-
letupan. Setelah Gus Dur memproklamirkan nama Papua, maka secara
otomatis, dan tercermin dalam pemberitaan media massa, tertera
Gubernur Papua, DPRD Papua, Kapolda Papua.

Dari sudut pandang legalitas formal, perubahan nama Irian Jaya
menjadi Papua, seyogianya ditindaklanjuti dengan sebuah proses
konstitusional di DPR atau MPR. UU No 12/1969 tentang Pembentukan
Propinsi Otonom Irian Barat masih berlaku dan masih merupakan hukum
positif.

Bahkan, pada era kepemimpinan Presiden BJ Habibie, terbit UU No
45/1999. Undang-undang yang diundangkan 4 Oktober 1999 itu berisi
tentang pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat, Propinsi Irian Jaya
Tengah, dan Propinsi Irian Jaya Timur. Menteri Dalam Negeri ad
interim Feisal Tanjung pun telah melantik Abraham O Ataruri sebagai
Pejabat Gubernur Irja Barat, Herman Moniem selaku Pejabat Irja
Tengah, dan Freddy Numberi sebagai Gubernur Irja Timur.

***

YANG menarik dari fenomena itu adalah pertanyaan di mana
sebenarnya posisi hukum atau eksistensi sebuah undang-undang. Dari
paparan itu tampak jelas bahwa hukum atau undang-undang tak lagi
punya makna apa-apa. Ketika UU No 45/1999 membagi Irja menjadi tiga
propinsi, di lapangan sama sekali tidak berjalan. Malah di lapangan,
nama Irian Jaya telah berubah menjadi Papua sebagaimana
diproklamirkan Gus Dur.

Dalam konteks negara hukum, kemauan politik Gus Dur mengumumkan
perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, bisa menjadi modal untuk
"menyerang" Gus Dur sendiri. Pernyataan Gus Dur dianggap sebagai
hukum itu sendiri, meskipun Gus Dur tidak menghendakinya demikian.
Gus Dur bisa dikesankan tidak mempunyai cita rasa hukum yang benar.
Pernyataannya bisa menjadi kontroversial secara yuridis.

Kenyataan itu menunjukkan sistem checks and balances tidak
sepenuhnya berjalan. Birokrasi dan DPR sama-sama terlambat untuk
merespons ide-ide atau pemikiran Gus Dur.

Kenyataan itu sebenarnya bisa dihindari seandainya "mesin
politik" Gus Dur bekerja efektif. "Mesin politik" itu bisa berupa
birokrasi pemerintah maupun anggota DPR yang selama ini mendukung Gus
Dur. Mereka harus mengambil inisiatif, mengkonstitusionalkan
keinginan politik Gus Dur.

Dalam kasus perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, seharusnya
pemerintah segera mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang
mensahkan perubahan nama itu. Atau, DPR mengajukan RUU Inisiatif
untuk mengkonstitusionalkan perubahan nama itu.

***

KERANCUAN hukum yang terjadi tak bisa dipisahkan dengan juga
tidak berjalannya fungsi Mahkamah Agung (MA). Lembaga yang sama
sekali belum tersentuh reformasi ini, sama sekali acuh terhadap
fenomena yang terjadi. Padahal, MA diberikan kewenangan untuk
memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum. Rumusan itu tertuang
dalam pasal 37 UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi:
Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam
bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara
yang lain.

Tidak jelas benar bagaimana pemahaman MA dalam menafsirkan
rumusan pasal tersebut. Ketika ditanya mengapa MA tidak memberikan
pertimbangan-pertimbangan hukum kepada pemerintah, salah seorang
pimpinan MA beberapa waktu lalu menjawab, "MA sudah sering memberikan
pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum diberikan dalam putusan
kasasi." Itulah persepsi salah seorang pimpinan MA tentang makna
pasal 37 UU No 14/1985.

Dalam kenyataannya, dan sepanjang Orde Baru, baru dua kali MA
memberikan pertimbangan hukum. "Itu pun kalau diminta," ujar Mulyana
W Kusumah, mantan Direktur Eksekutif Yayasan LBH Indonesia (YLHI),
dalam sebuah diskusi "Mencari Format Mahkamah Agung yang Ideal" yang
diselenggarakan Serikat Pengacara Indonesia (SPI).

Sejauh ini baru dua pertimbangan hukum yang diberikan MA.
Pertama, ketika Menteri Dalam Negeri meminta pertimbangan hukum
apakah seorang menteri yang juga pemimpin parpol boleh ikut
berkampanye. Kedua, ketika MA ditanya apakah dokumen hasil audit
PricewaterhouseCoppers tentang skandal Bank Bali boleh diketahui
publik atau tidak.

"MA lemah dalam menanggapi legal issue yang berkembang," tambah
Mulyana W Kusumah. Dua hakim agung, Paulus Effendy Lotulung dan
Iskandar Kamil yang hadir dalam diskusi tersebut tak memberikan
tanggapan atas pernyataan Mulyana. Namun, Paulus secara halus
mengakui MA kurang pro-aktif.

Luhut MP Pangaribuan sependapat bahwa MA sebenarnya ikut
memberikan kontribusi yang cukup besar yang mengakibatkan Indonesia
terpuruk pada persoalan KKN. "Jika MA menjalankan perannya untuk
memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden pada Keppres yang
diterbitkan bertentangan, mungkin Indonesia tak terpuruk pada
persoalan KKN tersebut," ujar Pangaribuan.

Dalam konteks perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, MA
sebenarnya bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum tentang
apa yang harus dilakukan DPR dan Presiden. MA misalnya bisa
memberikan pertimbangan bahwa perubahan nama sebaiknya dilakukan
setelah sudah ada undang-undang yang mensahkan perubahan nama itu.
Kelambanan MA dalam memberikan pertimbangan hukum itu pulalah
yang kemudian memunculkan pertanyaan, kepada siapa MA harus
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya, khususnya dalam
bidang nonjudisial.

Hakim agung Iskandar Kamil dan Paulus Lotulung berpendapat, dalam
konteks itu (bukan untuk kewenangan mengadili) MA bisa diminta untuk
memberikan laporan tahunan (annual report). Laporan tahunan itu bisa
diberikan kepada DPR atau kepada MPR. "Namun, pemberian laporan
tahunan itu bukan berupa pertanggungjawaban MA kepada MPR," ujar
Iskandar Kamil.

Sedangkan pakar hukum tata negara Harun Alrasid yang hadir dalam
diskusi itu mengatakan, "Kewenangan MA memberikan pertimbangan hukum
sebaiknya dicabut saja. Kalau pemerintah butuh pertimbangan hukum
sebaiknya tanya pengacara."

Luhut Pangaribuan tak sependapat dengan usulan Harun. "Saya pikir
itu karena Pak Harun jengkel. Seharusnya, bukan fungsi MA dalam
memberikan pertimbangan hukum dihapuskan, melainkan diberdayakan,"
kata Pangaribuan. Namun, siapa yang menjadi konsultan hukum
pemerintah menjadi menarik untuk dikaji. Sesuai dengan UU No 5/1991
tentang Kejaksaan diintrodusir penyebutan Kejaksaan sebagai Pengacara
Negara.

Untuk memberdayakan peran MA, menurut Pangaribuan, memang perlu
dilakukan reformasi struktural di tubuh Mahkamah Agung. Reformasi
struktural harus dilakukan dengan mengganti sejumlah orang yang masih
merupakan peninggalan Orde Baru dengan memasukkan orang luar serta
memperbaiki sistem dalam kelembagaan Mahkamah Agung.

Menurut Benny K Harman, salah seorang praktisi yang pernah
meneliti kekuasaan kehakiman di Indonesia, format MA yang ada
sekarang sudah tidak sejalan lagi dengan cita-cita gerakan reformasi,
sehingga perlu diubah. Ketika lembaga lain berbenah diri menyesuaikan
dengan langgam reformasi, MA justru diam dan malah bersiasat untuk
sebisa mungkin menghindari masuknya orang luar.

Benny Harman dalam makalahnya melihat tak ada indikasi langkah MA
melakukan reformasi internal untuk menyesuaikan diri sehingga kesan
yang muncul ke permukaan adalah MA menjadi penjaga status quo dan
menjadi bagian dari permasalahan nasional.

Sebuah Cermin untuk Mahkamah Agung

KOMPAS

Sabtu, 05 Feb 2000 Halaman: 7

BUDIMAN TANUREDJO


SEBUAH CERMIN UNTUK MAHKAMAH AGUNG

SITUASI telah berubah. AM Fatwa yang pada tahun 1984 dijatuhi
hukuman 18 tahun penjara atas kasus subversi, kini telah menjadi
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebuah jabatan di lingkup
legislatif yang cukup tinggi.

Kekuasaan legislatif memang telah berubah total. Model catur
fraksi (Golkar, PPP, PDI dan TNI/Polri) yang selama 32 tahun
dipertahankan rezim Orde Baru, kini menjadi multifraksi. Jabatan
Ketua MPR dan Ketua DPR pun telah dipisahkan.

Penguasa Orde Baru Soeharto, yang pada masa jayanya sangat
ditakuti dan disegani pun, secara mengejutkan di-lengser-kan. Gerakan
mahasiswa dan masyarakat telah memaksa Soeharto untuk mundur dari
jabatannya. Posisinya dialihkan kepada BJ Habibie, dimana selanjutnya
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden ke-4 Republik
Indonesia.

Ketika pucuk kekuasaan eksekutif dan legislatif telah bergeser,
kekuasaan yudikatif sama sekali tak tersentuh. Beberapa petinggi
Mahkamah Agung (MA) yang selama ini berjasa mengamankan kebijakan
Orde Baru, tetap bercokol pada posisinya. Sebut saja Ketua MA Sarwata;
dalam kariernya, Sarwata bersama hakim majelis lainnya pernah menerima
permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kejaksaan Agung dalam
kasus aktivis buruh Muchtar Pakpahan. Padahal, seharusnya putusan itu
sudah final, karena menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Peninjauan Kembali hanya boleh diajukan oleh terhukum atau
ahli warisnya. Sarwata juga membatalkan putusan Asikin Kusumaatmadja
dalam kasus Kedungombo serta membatalkan putusan Benjamin
Mangkoedilaga dalam kasus Tempo.

Angin reformasi tak menyentuh gedung Mahkamah Agung yang letaknya
tak jauh dari Istana Negara di bilangan Medan Merdeka Utara itu.
Mahkamah Agung yang selama ini disebut-sebut sebagai benteng terakhir
pencari keadilan menjadi satu-satunya lembaga tinggi negara yang belum
tersentuh reformasi. Meski demikian Sekjen MA Pranowo membantah kalau
dikatakan MA tidak reformis. Ia mengatakan, MA mandiri.

Reformasi yang telah me-lengser-kan Soeharto jelas tidak berdasar
pada hukum positif. Jika hukum positif tetap dijadikan alasan,
Soeharto boleh jadi akan masih berkuasa. Atau, BJ Habibie yang masih
menjadi presiden. Ketetapan MPR yang mengangkat Soeharto sebagai
presiden masih berlaku dan belum dicabut. Dalam situasi yang tidak
normal seperti itu, hukum positif memang telah dikesampingkan.

***

CITRA kekuasaan peradilan selama ini amat buruk. Isu mafia
peradilan, jual beli perkara, jual beli putusan, masih saja
menghantui. Asas keadilan dan kepastian hukum, terabaikan. Yang
terjadi, bagaimana hakim mengamankan kebijakan-kebijakan pembangunan
yang dilakukan penguasa. Lembaga peradilan dipandang sebagai instrumen
kekuasaan.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Kompas terhadap pemilik
telepon di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Pekanbaru, Lampung,
Samarinda, Banjarmasin, Pontianak, Manado, Makassar, Denpasar, dan
Jayapura tanggal 21-23 Januari 2000 menunjukkan, 69,5 persen
masyarakat tidak puas terhadap hakim, sebanyak 27,2 persen menyatakan
puas, dan 3,3 persen menyatakan tidak tahu.

Bicara soal ketidakpercayaan masyarakat pada peradilan, hakim
agung Prof Dr Paulus Effendi Lotulung sebagaimana dikutip Kompas
(12/12/1999) berpendapat, ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga
peradilan menyangkut faktor di luar pengadilan. Apakah itu pengaruh
eksekutif atau pengaruh dari para pihak yang berperkara. Atau juga
tekanan masyarakat.

Besarnya ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga peradilan
inilah yang kemudian menginspirasi Presiden Abdurrahman Wahid untuk
mengusulkan Benjamin Mangkoedilaga sebagai Ketua MA. Usulan Gus Dur
harus dipahami dalam konteks sosial politik yang ditandai makin
meluasnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi hukum. Namun,
usulan Benjamin itu terkendala dengan apa yang disebut petinggi MA,
sebagai hukum positif. MA pun seakan khawatir kehilangan kekuasaan.
Mereka pun pasang kuda-kuda untuk mencegah masuknya orang luar ke MA.

Dari mana mereformasi lembaga peradilan harus dimulai, ahli
politik dari Amerika Serikat Daniel S Lev mengusulkan agar semua hakim
agung dipensiunkan, kemudian diganti yang baru. Namun, usulan itu
meski banyak mendapat dukungan, dianggap terlalu radikal dan
revolusioner.

Hakim agung Lotulung melihat, sejumlah negara memang pernah
melakukan apa yang dikatakan Lev. "Akan tetapi, kita harus obyektif
melihat masing-masing negara, apakah di Indonesia keadaan sudah
sedemikian gawatnya," kata Lotulung.

Usulan Gur Dur untuk mendudukkan Benjamin (unsur dari luar MA)
sebagai Ketua MA sebenarnya merupakan jalan tengah guna memperbaiki
kinerja Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, serta memulihkan
kepercayaan masyarakat pada peradilan. Namun, ada juga pandangan
membenahi MA harus dengan memperbaiki sistem perundang-undangan,
bukan sekadar mengganti orang.

Itu semuanya berarti, upaya untuk mendudukkan Benjamin
sebagai Ketua MA tetap harus diikuti dengan perubahan sistem dan
perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman. Seluruh
undang-undang yang ada sekarang adalah hukum produk sistem politik
otoriter yang pada dasarnya tidak menginginkan MA tumbuh sebagai
institusi yang otonom terhadap kekuasaan pemerintah. Itu bisa dipahami
karena mereka yang sekarang menjadi hakim agung adalah hakim-hakim
karier yang telah berprestasi menjaga kepentingan status quo.

Kinerja MA selama ini hanya terfokus untuk menyelesaikan tunggakan
perkara yang terus saja menggunung. Padahal, tugas konstitusional MA
bukan hanya memeriksa perkara, tetapi juga memberikan pertimbangan
hukum baik diminta maupun tidak diminta kepada lembaga tinggi negara.
Namun, sejauh yang terpantau, MA baru dua kali memberikan pertimbangan
hukum, yaitu ketika memberikan pertimbangan hukum soal boleh tidaknya
menteri berkampanye, serta masalah boleh tidaknya hasil audit
PricewaterhouseCooppers dibuka kepada publik.

Prestasi MA juga ditandai dengan lahirnya "surat sakti" yang
selama ini tetap kontroversial dan tak kunjung terselesaikan. Surat
saksi Ketua MA Soerjono dalam kasus tanah Hanoch Hebe Ohee menjadi
sebuah "cacat sejarah" yang dibuat Mahkamah Agung.

Apa pun alasannya, reformasi di tubuh MA memang harus dilakukan
karena itu akan menyangkut sektor-sektor lainnya. Untuk itu,
kerja-kerja politik harus dilakukan. Usulan Gus Dur untuk menempatkan
Benjamin harus dilihat sebagai kemauan politik presiden yang masih
perlu ditindaklanjuti dengan kerja parlemen. Keinginan mereformasi MA
tidak bisa dilakukan hanya dengan berdebat gagasan atau adu wacana,
melainkan dengan kerja politik dan hukum yang lebih konkret dan pasti.
Selanjutnya, itu semua berpulang pada pemerintah dan DPR yang selama
ini menjadi mesin untuk melakukan kerja-kerja politik itu.

Seleksi Pejabat Publik, Republik Pansel

KOMPAS
Sabtu, 17 November 2007

Budiman Tanuredjo

Seleksi Pejabat
Republik Pansel


”...Mungkin Indonesia satu-satunya negara di muka bumi yang paling banyak berpansel ria dalam mengatur kehidupan bernegara sehingga wajar disebut Republik Pansel dan kalau dipelesetkan sebagai Republik Parsel....

”Pesan singkat tersebut dikirim Kamal Firdaus, praktisi hukum di Yogyakarta, beberapa saat setelah komisioner Komisi Yudisial Irawady Joenoes ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia mengirimkan pesan singkat tersebut ke sejumlah orang, termasuk anggota DPR, yang kemudian ada yang ”menjual” idenya kepada pers.

Kamal memang tampak geram dengan berbagai pansel—akronim dari panitia seleksi—yang bertugas merekrut komisioner atau pejabat publik. ”Kita sudah kebablasan, membentuk pansel-panselan tetapi hasilnya tak jauh lebih baik,” ucapnya dalam percakapan kemudian dengan Kompas melalui telepon, 15 Januari 2007.
Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke era reformasi memang telah mengubah sejumlah hal. Selain rakyat kembali berdaulat dalam memilih pemimpinnya, sistem perekrutan pejabat publik pun memberikan peran serta lebih kepada masyarakat. Sistem perekrutan yang pada era Orde Baru—dengan segala instrumen yang dimilikinya—dilakukan tersentral, pada era reformasi mulai menyebar. Itulah yang disebut panitia seleksi yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden.

Seleksi anggota-anggota komisi negara (state auxiliary body)— yang juga menjadi ciri era reformasi—dilakukan oleh panitia seleksi. Masyarakat sipil bersama dengan pejabat pemerintah dilibatkan untuk menyeleksi calon- calon komisioner. Hasil seleksi diserahkan kepada presiden yang membentuknya. Dana untuk menyeleksi komisioner atau pejabat publik menjadi mahal. Sebut saja, biaya yang dikeluarkan untuk menyeleksi calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi—yang tak jadi terbentuk—mencapai Rp 6,8 miliar (Kompas, 22/11). Seleksi biaya untuk KPK tahap pertama memakan biaya Rp 4,7 miliar.

Di Indonesia, proses seleksi kadang dilakukan bertingkat. Sebut saja, perekrutan hakim agung. Dalam UUD 1945, perekrutan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial. Sedangkan perekrutan Komisi Yudisial diawali dengan seleksi oleh panitia seleksi yang kemudian diserahkan kepada DPR. Hasil seleksi hakim agung oleh Komisi Yudisial pun diserahkan kepada DPR untuk dipilih.Namun, belakangan proses seleksi dari panitia seleksi itu mendapat gugatan. Tertangkapnya komisioner Komisi Yudisial Irawady Joenoes oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lolosnya calon anggota KPU Syamsulbahri yang berstatus tersangka menjadi bukti yang valid untuk mempersoalkan eksistensi panitia seleksi.

Kamal Firdaus secara tegas menolak segala model panitia seleksi. ”Mandat presiden yang dipilih langsung oleh rakyat telah dikebiri oleh pansel,” ucapnya. Ia mempertanyakan pertanggungjawaban panitia seleksi saat meloloskan Syamsulbahri dan tertangkapnya Irawady Joenoes. ”Kan, mereka telah bubar, bagaimana meminta pertanggungjawabannya,” ujar dia.
Meniru seleksi hakim agung di Amerika Serikat, Kamal menegaskan, untuk seleksi hakim agung, pimpinan KPK, anggota Komnas HAM, dan anggota Komisi Yudisial mestinya menjadi hak prerogatif presiden sepenuhnya dengan persetujuan DPR. ”Tidak pakai pansel-panselan segala macam. Sehingga, kegagalan masing-masing lembaga tetap menjadi beban tanggung jawab presiden yang yang menjadi bahan penilaian rakyat terhadap sang presiden selama ia memangku jabatannya,” kata Kamal yang juga meragukan integritas anggota panitia seleksi saat menyeleksi calon-calon komisioner. ”Kalau mereka ikut seleksi, belum tentu juga bisa lolos,” ucapnya.


Adalah sebuah kenyataan, Ketua Panitia Calon Seleksi Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) justru tersangkut kasus korupsi dan mendekam di penjara. Sedangkan hasil seleksinya tidak dilanjutkan prosesnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU KKR bertentangan dengan UUD 1945.Cegah sentralisasiBagi anggota Komisi III DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat), gagasan seleksi pejabat negara melalui panitia seleksi adalah gagasan yang baik. Langkah itu untuk mencegah sentralisasi kekuasaan di tangan presiden.
”Hanya masalahnya hasil seleksi dari panitia seleksi memang tidak lebih baik daripada mekanisme sebelumnya,” kata Benny.Kalau hasilnya memang berkualitas, kata Benny, seharusnya dalam memilih DPR tak harus menemui kesulitan. ”DPR hanya memilih berdasarkan preferensi ideologis atau politis saja. Namun, kenyataannya, tidak demikian,” katanya.

Ia tidak sependapat dengan Kamal tentang tidak diperlukannya panitia seleksi. Panitia seleksi tetap diperlukan hanya metode seleksinya yang harus diperbaiki. ”Tak mungkin menelusuri integritas seseorang hanya dengan tes psikologi atau membuat makalah,” ucapnya.Artinya, panitia seleksi harus benar-benar turun ke bawah, bertemu dengan masyarakat tempat di mana si calon pernah tinggal dan berkarya. Bertemu dengan tetangga tempat tinggal di calon. ”Jadi harus ada penelusuran yang lebih maksimal soal rekam jejak calon,” ucapnya.Hasil seleksi yang diajukan panitia seleksi, menurut Benny, juga tidak otomatis diterima presiden karena yang bertanggung jawab secara politis adalah presiden. ”Karena panitia seleksi dibentuk presiden, dan hasilnya diserahkan kepada presiden, maka presidenlah yang bertanggung jawab,” ucapnya.

Mas Achmad Santosa, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang telah ikut dalam tiga panitia seleksi, juga berpendapat bahwa presiden memang sebagai pihak yang bertanggung jawab. ”Jadi, sebelum meneruskan hasil panitia seleksi, presiden harus melakukan cek ulang terhadap kerja panitia seleksi,” katanya.

Santosa yang telah ikut menyeleksi anggota Komisi Kejaksaan, KPK, dan Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengakui bahwa di Indonesia tak mempunyai instrumen untuk mengukur integritas seseorang. ”Ini memang yang jadi kekurangan kita,” katanya.Soal kualitas calon yang diusulkan panitia seleksi, menurut Santosa, tidak seluruhnya jelek. ”Kan ada juga yang baik,” ujarnya.

Ia menyebutkan, kalaupun hasilnya dinilai kurang oleh publik adalah karena itulah kondisi sumber daya manusia yang ada.Ia mengatakan, dengan sistem perekrutan terbuka melalui iklan memang tak terhindarkan melamarnya para pencari kerja. Jadi, menurut Santosa, diperlukan juga langkah-langkah proaktif sehingga tak sekadar mengandalkan pengumuman di koran. ”Tetapi langkah proaktif itu kadang berbenturan dengan etika,” ucapnya.

Ia mengakui memang ada kelemahan dalam proses seleksi calon-calon komisioner atau pejabat publik. Namun, itu tidak berarti harus mengakhiri praktik panitia seleksi. ”Yang kita tak punya adalah instrumen untuk mengukur integritas seseorang,” ujarnya. Ditanya bagaimana pendapatnya soal diloloskannya Syamsulbahri, Santosa mengatakan, itu adalah bukti ketidakcermatan dari panitia seleksi.

Bagi Santosa, dari sisi pertanggungjawaban publik, proses seleksi melalui panitia seleksi sudah demikian terbuka. ”Semua orang tahu apa yang dikerjakan, siapa konsultannya, berapa biayanya. Semua orang bisa memonitornya. Berbeda dengan sistem seleksi yang tertutup,” kata dia yang menolak keinginan untuk mengakhiri pembentukan panitia seleksi.Soal tanggung jawab politik, menurut Santosa, memang tetap berada pada presiden. ”Kita dibentuk presiden, menyerahkan hasilnya kepada presiden. Dan presidenlah yang bertanggung jawab,” katanya menyarankan agar presiden juga mempunyai instrumen untuk cek ulang terhadap hasil panitia seleksi.

Melihat realitas yang ada, Santosa memikirkan, perlunya duduk bersama dari semua pemangku kepentingan untuk membicarakan soal mekanisme seleksi pejabat publik. Langkah itu perlu untuk menutup celah berbagai kelemahan dari panitia seleksi saat melakukan seleksi.

Senin, 12 November 2007

Resensi buku: Banjir Lumpur Banjir Janji


Resensi Buku
Judul Buku : Banjir Lumpur Banjir Janji
Penerbit : Penerbit Buku Kompas (2007)
Halaman 461


Oleh Budiman Tanuredjo

“Bencana Lumpur Sidoarjo adalah pengkhianatan manusia kepada masa depan dan anak cucunya sendiri. Adalah perekonomian yang lalim terhadap ekosistem. Adalah kapitalisme yang berjalan egosentris dan industrialisme yang buta tuli terhadap sejatinya akal sehat dan nurani kemanusiaan.”

Itulah bagian dari epilog Emha Ainun Najib dalam buku Banjir Lumpur Banjir Janji, halaman 447 yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Emha sendiri menulis: Bencana Lumpur Sidoarjo bagaikan miniatur Indonesia Raya: hak asasi manusia yang mengklaim tak harus demikian terikat oleh hak asasi alam, kemajuan pembangunan yang berpijak pada kepentingan dan selera sesaat-sesaat, hukum yang gamang dimana dan kapan diletakkan, kesembronoan terhadap yang disangka keuntungan dan ketidakwaspadaan terhadap tak terbatasnya kemungkinan-kemungkinan.”

Buku setebal 461 halaman itu merupakan kumpulan reportase wartawan Kompas atas semburan lumpur panas Lapindo, Senin 26 Mei 2006. Lumpur panas itu menyembur dari sepetak sawah yang terletak di Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Buku yang terdiri dari tujuh bab itu mau menggambarkan peristiwa awal menyemburnya Lumpur Lapindo (Bab I, 12 tulisan), prediksi para wartawan Kompas soal masa depan lapondo (Bab II, 12 tulisan), bagaimana pemerintah mengatasi semburan lumpur lapindo (Bab III, 12 tulisan), bagaimana hukum dan kekuasaan bermain dalam kasus Lapondi (Bab IV, 10 tulisan). Kondisi sosial masyarakat akibat melubernya lumpur Lapindo ditulis dalam Bab V sebanyak 20 tulisan, problem etika, lingkungan dan bisnis ditulis dalam Bab VI sebanyak 19 tulisan. Kumpulan Tajuk Rencana Kompas – yang merupakan sikap lembaga media atas kasus lumpur Lapindo – bisa ditemukan pada Bab VII sebanyak 11 tajuk.

Buku ini menarik untuk dibaca. Selain reportase buku ini – yang merupakan kumpulan tulisan dari wartawannya – juga menggambarkan pergulatan media ini melaporkan bencana lumpur Lapindo. Buku ini juga menjadi menarik karena dilengkapi dengan foto berwarna serta infografik kasus tersebut.

Resensi Buku: Jakarta Memilih


Resensi Buku
Judul Buku : Jakarta Memilih –Pilkada dan Pembelajaran Demokrasi
Penerbit : Penerbit Buku Kompas (2007)
Jumlah halaman 299
Editor : Budiman Tanuredjo



Seorang diplomat asing punya pendapat soal pemilihan Gubernur DKI Jakarta 8 Agustus 2007 lalu.“Itu mirip karnaval demokrasi,“ ucap diplomat muda dari negara ASEAN yang pada saat pemilihan gubernur DKI Jakarta digelar, ia berkeliling dari satu TPS ke TPS yang lain. Kesannya: seperti ada hajatan, semua gembira dan ceria. Tak ada beban atau ketegangan.


Jakarta telah memberikan pelajaran berdemokrasi. Pemilihan kepala daerah tak harus diwarnai dengan ketegangan atau ketatnya penjagaan keamanan secara mencolok. Demokrasi adalah milik rakyat. Meskipun pada awalnya sempat ada tudingan manipulatif dalam pendaftaran pemilih, pilkada Jakarta berakhir sukses. Damai! Bahkan, berbeda dengan pemilihan kepala daerah di daerah lain yang ditandai dengan kerusuhan atau konflik, pilkada Jakarta berlangsung mulus. Bahkan, gugatan dari pihak yang kalah pun tidak muncul.

Tak sampai 24 jam setelah surat suara dihitung, Adang Darajatun langsung mengucapkan selamat kepada Fauzi Bowo- Prijanto. “Saya nilai, secara umum berjalan baik dan tidak ada masalah. Kemenangan yang diperoleh juga berjalan baik. Saya pikir, pilkada Jakarta bagus sekali. Semuanya sangat baik,” ucap Adang Darajatun, pensiun Polri berpangkat Komisaris Jenderal.

Jakarta telah memberikan contoh. Kekalahan dan kemenangan dalam sebuat proses demokrasi adalah keniscayaan. Kemenangan tak harus diterima dengan sukacita atau bahkan mabuk kemenangan, sebaliknya kekalahan tak harus dianggap sebagai akhir dari sebuah perjalanan. Kemenangan adalah sebuah mandat dari rakyat yang harus dipenuhi. Jika tidak, rakyat bisa mempersoalkan mandat yang telah diberikannya dalam sebuah proses ritual tahunan bernama pemilihan gubernur berikutnya.

Jakarta telah menjatuhkan pilihan.Sebanyak 2.109.511 pemilih (57,87%) telah memberikan suaranya di 1.179 tempat pemungutan suara (TPS) untuk pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Pasangan itu diberi mandat untuk memimpin Jakarta periode 2007-2012, Sedang pasangan Adang Darajatun-Dani Anwar meraih suara 1.535.555 pemilih (42,13%). Jumlah pemilih yang berpatisipasi dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta adalah sebanyak 3.759.038 pemilih menggunakan hak pilihnya. Dari jumlah itu sebanyak 113.972 dinyatakan tidak sah. Tingkat golongan putih (pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya karena berbagai sebab) mencapai 1.987.539 orang dari 5.746.601 pemilih terdaftar. Jumlah itu mencapai angka 34,59 persen.

Sebagai Ibu Kota Negara dan pusat pemerintahan, Jakarta adalah kota dengan kompleksitas persoalan. Ia adalah kota megapolitan dengan segala hingar-bingar kehidupan, meskipun kemiskinan tetap merupakan wajah nyata. Pemukiman kumuh tetap menjadi bagian dari perjalanan sebuah kota megapolitan. Kemacetan menjadi ritual sehari-hari yang dihadapi warga Jakarta. Banjir tahunan juga seakan harus diterima sebagai sebuah “kondisi” yang harus diakrabi.

Sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola berpendapat, seorang gubernur-wakil gubernur yang terpilih dalam pemilihan gubernur 8 Agustus 2008 tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan Ibu Kota. ”Siapapun yang memimpin Jakarta, tidak akan dapat menyelesaikan semua masalah kota ini,” kata Tamrin Amal Tomagola (hal 42). Bagi Tamrin, pilkada Jakarta adalah sebuah pembelajaran demokrasi bagi warga. Sebab, gerakan warga untuk memperbaiki Jakarta atau memperoleh kesejahteraan yang sejati, harus diperoleh dalam proses yang demokratis dan bukan bagian dari kedermawanan penguasa. Pilkada bagian dari pembelajaran proses demokrasi ini.

Pelajaran dari Jakarta

Pilkada Jakarta memberikan sejumlah pelajaran. Dari sisi hasil, tak lebih dari tiga jam setelah Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditutup dan dihitung hasilnya, berbagai lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat, termasuk Litbang Kompas, mengumumkan prediksinya mengenai hasil pemungutan suara. Hasil penghitungan Litbang Kompas dan sejumlah lembaga survei lain, berada dalam margin error yang ditetapkan. Bahkan, hasil penghitungan cepat Litbang Kompas hanya terpaut 0,11 persen dari hasil suara resmi manual yang dihitung KPU Provinsi Jakarta.

Hasil prediksi penghitungan cepat itu ikut mempengaruhi reaksi dari kandidat. Tiga jam kemudian, Fauzi Bowo mengklaim kemenangan dan tak sampai 24 jam kemudian Adang Darajatun termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengakui kemenangan Fauzi Bowo. Reaksi Adang dan PKS yang positif itu ikut mendinginkan situasi politik Jakarta. “Saya nilai, secara umum berjalan baik dan tidak ada masalah. Kemenangan yang diperoleh juga berjalan baik. Saya pikir, pilkada Jakarta bagus sekali. Semuanya sangat baik. ....Tidak usah ragu, saya akan mendukung Bang Fauzi dan Bang Prijanto,” ucap Adang dalam pernyataan persnya menanggapi hasil pilkada, 9 Agustus 2007.

Hasil survei perilaku pemilih yang dilakukan Litbang Kompas paling tidak juga memberikan gambaran bahwa memilih seorang kepala daerah lebih banyak didasarkan pada pertimbangan kemampuan calon gubernur (halaman 246-264). Partai politik yang menjadi kendaraan tidak menjadi pertimbangan signifikan seorang pemilih ketika menjatuhkan pilihan. Sedang dari sisi latar belakang, pemilih mempertimbangkan aspek kepemimpinan (28,3%) dan kepribadian (28,5%) kandidat dalam menentukan pilihan.

PKS memang menjadi sebuah partai dengan pemilih yang solid. Dari survei perilaku pemilih (exit poll) paling tidak menunjukkan 82,3% pemilih yang pemilih PKS pada pemilu 2004 memberikan suaranya kepada Adang-Dani yang diusung PKS. Angka itu bisa dibaca bahwa 17 persen pemilih PKS memberikan suaranya pada Fauzi-Prijanto. Hal yang menarik juga bisa dilihat dari soliditas pemilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebanyak 84,8 persen pemilih PPP pada Pemilu 2004 tetap konsisten memberikan dukungan suara kepada pasangan Fauzi-Prijanto yang diusung PPP.

Jakarta juga memberikan gambaran lain bahwa kampanye tidak mempengaruhi pilihan pemilih (60,7%) karena mayoritas (64,6%) pemilih telah menentukan pilihan jauh sebelum kampanye dilakukan. Hanya sedikit pemilih yang mengaku ikut menghadiri kampanye-kampanye terbuka.

Problem dan janji

Pemilihan Gubernur Jakarta adalah pemilihan langsung kedua yang digelar di Pulau Jawa. Sedang, pemilihan gubernur secara langsung pertama dilakukan di Provinsi Banten. Sebagai Ibukota Negara, pusat pemerintahan dan pusat perekonomian, pemilihan Gubernur DKI Jakarta tentu menjadi magnet tersendiri. Berbagai lembaga survei ikut mempraktikkan kemampuan metologi penelitiannya di Jakarta.

Harian Kompas termasuk yang menempatkan pilkada Jakarta sebagai liputan yang direncanakan secara matang. Keinginan mengawal proses demokrasi dan memberikan informasi secara lebih kepada pemilih Jakarta, Harian Kompas mengalokasikan sejumlah halamannya untuk liputan pilkada Jakarta. Bahkan, pendekatan psikologi seperti penelusuran kepribadian kandidat kembali dilakukan melibatkan sejumlah peneliti psikologi-sosial dari Universitas Indonesia—Niniek L Karim, Bagus Takwim, Dicky Pellupessy, Nurlyta Hafiyah – yang hasil karya mereka bisa dinikmati dalam suplemen Kandidat yang menjadi bagian dari buku ini. Kerja bareng peneliti psikologi sosial UI dan wartawan Kompas pun dilakukan untuk memberikan perspektif lain kepada pembaca. Langkah itu juga dimaksudkan untuk menggali pendekatan lain dari sisi jurnalistik. Sedang untuk mendekati prinsip jurnalisme presisi, Litbang Kompas melakukan penghitungan cepat terhadap hasil pilkada. Langkah ini adalah langkah pertama yang dilakukan media di Indonesia.

Liputan pilkada Kompas yang kemudian disistematisir kembali dalam buku yang Anda pegang memberikan gambaran kepada warga Jakarta dan tentunya kandidat gubernur mengenai kompleksitas problematika Jakarta (bab I). Perilaku politik dari aktor, parpol, jurukampanye, lembaga survei juga menjadi obyek tulisan yang menarik (bab II). Penelusuran lebih jauh soal kecenderungan prikologis masing-masing calon gubernur dan wakil gubernur, termasuk rekam jejak serta visi mereka tentang Jakarta dituangkan dalam sebuah bab tersendiri, serta janji-janji kampanye masing-masing kandidat . (bab IV). Pada Bab V yang juga merupakan bagian dari pembelajaran dari Jakarta, pembaca bisa mengetahui, menganalisis hasil survei perilaku pemilih Jakarta. Bagian ini memberikan gambaran soal siapa pemilih Fauzi-Prijanto, mengapa mereka memilih Fauzi-Prijanto serta analis terhadap lembaga-lembaga survei yang berkiprah di Jakarta.

Buku Jakarta Memilih yang merupakan kumpulan tulisan yang telah dimuat di harian Kompas merupakan upaya Kompas untuk mendokumentasikan sebuah proses politik di Ibukota. Buku itu diharapkan juga bisa menjadi pengingat dan mungkin juga dapat membantu menjelaskan bagaimana nantinya kombinasi pasangan Fauzi-Prijanto bekerja. Janji-janji yang telah ditebar, visi dan misi yang telah diucapkan terdokumentasikan, yang pada saatnya akan ditagih. Masyarakat pemilih akan menjadi juri yang adil atas pilihan

Sabtu, 10 November 2007

ISU TIMTIM, DARI WASHINGTON HINGGA NEW YORK...


KOMPAS


Selasa, 15 Feb 2005 Halaman: 6


Budiman Tanuredjo


ISU TIMTIM, DARI WASHINGTON HINGGA NEW YORK...

SALJU masih belum mencair ketika wartawan Indonesia yang diundang
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tiba di gedung departemen yang
dipimpin Menteri Luar Negeri pertama berkulit hitam, Condoleezza
Rice. Udara Washington dingin. Penjagaan ketat bagi siapa pun yang
akan memasuki gedung tersebut.

Meski udara dingin, dialog dan pertanyaan panas dilontarkan atas
sejumlah kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) yang dinilai oleh
Indonesia sangatlah tidak adil dan berstandar ganda. Sejumlah isu
luar negeri, seperti kebijakan AS atas Irak, isu nuklir Iran, juga
hubungan AS-Indonesia, mendominasi diskusi-diskusi itu.

Yang mengejutkan adalah masih dominannya isu pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) yang dilakukan militer Indonesia di Timor Timur
(Timtim), yang telah menjadi negara merdeka setelah Presiden BJ
Habibie memberikan hak kepada rakyat Timtim untuk menentukan nasibnya
sendiri melalui referendum. Hasil referendum itu menunjukkan
mayoritas rakyat Timtim memutuskan menjadi negara merdeka, memisahkan
diri dari Indonesia.

Hasil referendum yang diumumkan lebih cepat oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) itu memicu kekecewaan dan aksi kekerasan di
berbagai tempat. Melalui tayangan-tayangan televisi internasional,
tampak sebagian tempat di Dili terbakar. Kantor Perwakilan PBB di
Timtim pun tak luput dari amukan massa. Sejumlah orang harus
mengungsi ke luar Dili. Di Dili sempat diberlakukan darurat militer
sebelum hadirnya pasukan internasional di kota tersebut. Militer
Indonesia dituntut bertanggung jawab atas berbagai aksi kekerasan di
Timtim pascajajak pendapat. "Masyarakat internasional dan kami
melihat banyak militer Indonesia tak berbuat sesuatu yang seharusnya
diperbuat," ujar seorang diplomat AS di Kantor PBB, New York.

Keprihatinan AS atas isu pelanggaran HAM Timtim itu selalu muncul
dalam diskusi dengan pejabat-pejabat Departemen Luar Negeri (Deplu),
staf ahli senator baik dari Partai Demokrat maupun Partai Republik,
dan juga sejumlah ahli. Isu juga menjadi perhatian utama para
diplomat AS yang bertugas di Perwakilan Tetap AS di PBB, terutama di
Dewan Keamanan PBB New York.

***

BERGABUNGNYA Timtim dengan Indonesia, yang dalam perspektif
Indonesia disebut "integrasi", namun dalam perspektif internasional
disebut "aneksasi", tak bisa dilepaskan dari restu AS. Invasi militer
Indonesia terjadi satu hari setelah Presiden Gerald Ford dan Menteri
Luar Negeri Henry Kissinger bertemu Presiden Soeharto di Jakarta,
awal Desember 1975. Tak ada keberatan apa pun dari Pemerintah AS atas
aksi itu karena aksi tersebut diyakini AS sejalan dengan pengepungan
komunisme di Asia Tenggara.

Menurut para analis politik waktu itu, Timtim berpotensi menjadi
kekuatan komunis karena kekuatan yang penuh menuntut kemerdekaan
adalah Fretilin (Revolutionary Front on Independency East Timor).
Menurut Michael Leifer dalam Indonesia Foreign Policy, Fretilin yang
menuntut kemerdekaan ini merupakan simbol kekuatan kiri di Portugal.
Sebagaimana dikatakan Leifer, yang dikutip dari buku Bambang Cipto,
Tekanan Amerika terhadap Indonesia, "Kepentingan Indonesia di Timtim
tidak mencerminkan adanya ketamakan teritorial. Ia mencerminkan
keprihatinan mendalam tentang ancaman terhadap keamanan Republik yang
muncul dari perubahan politik yang tidak pasti di wilayah tetangga."

Isu Timtim terus saja menjadi agenda PBB. PBB tak bisa
menerima "integrasi" Timtim, tetapi tetap menganggapnya
sebagai "aneksasi". Indonesia terus saja direpotkan dengan urusan-
urusan pelanggaran HAM di Timtim dan sampai puncaknya ketika saat
insiden Santa Cruz pada 12 November 1991, di mana terjadi konflik
antara militer Indonesia dan pengunjuk rasa yang mengakibatkan
sejumlah orang tewas. Video aksi kekerasan di Timtim beredar cukup
luas. Soeharto membentuk Komisi Penyelidik Nasional yang dipimpin
Hakim Agung Djaelani dan mengumumkan paling sedikit 50 orang tewas
dan 90 orang hilang. Soeharto kemudian mengganti pimpinan militer di
lingkungan Kodam Udayana. Beberapa tahun kemudian terjadi insiden
Liquisa (1995).

Tahun 1992 Pemerintah AS, atas desakan Kongres, organisasi HAM,
dan media massa AS, membekukan program IMET (International Military
Education and Training). Program itu dibekukan hingga kini.
Meski Timtim telah merdeka, Indonesia masih menanggung tuduhan
melakukan pelanggaran HAM pascajajak pendapat. Komisi Penyelidik
Pelanggaran HAM Timtim, yang diketuai Albert Hasibuan, telah
mengumumkan hasil penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran
termasuk siapa-siapa yang harus bertanggung jawab. Hasil itu
ditindaklanjuti Kejaksaan Agung dengan "mereduksi" orang-orang yang
harus bertanggung jawab.

Sejumlah petinggi militer dan sipil diadili di Pengadilan HAM Ad
Hoc. Namun, pengadilan membebaskan mayoritas orang yang diadili. Ini
menimbulkan pertanyaan dari komunitas internasional. "Bagaimana bisa
disebut adil kalau hanya satu orang Timtim yang harus bertanggung
jawab atas aksi kekerasan berskala besar itu. Ini sulit dipercaya.
PBB ingin melihat ada proses yang adil," ujar seorang diplomat AS di
PBB.

Tak jelas betul apa pengertian "adil". Apakah semua orang yang
diadili harus dihukum dan dinyatakan bersalah? Atau, ada kelemahan
sistem hukum Indonesia karena masalah pelanggaran HAM adalah barang
baru di Indonesia dan semua pihak mempunyai persepsi dan penafsiran
berbeda mengenai pelanggaran HAM, pelanggaran HAM berat, dan
pertanggungjawaban komando.

***

PERDEBATAN Timtim tak berhenti. PBB mengintrodusir Komisi Ahli
untuk memeriksa semua proses peradilan di Indonesia, termasuk
memeriksa dokumen-dokumen resmi dan tidak resmi hasil intelijen yang
merekam pembicaraan petinggi militer di Indonesia dan di Dili.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Timtim Xanana Gusmao
bersepakat membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (Truth
Commision dan Friendship) untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM di
Timtim yang bersifat sekali dan final.

Pemerintah AS, kata seorang pejabat tinggi Deplu dan diplomat-
diplomat AS di PBB, mendukung Komisi Ahli memeriksa proses peradilan
HAM di Indonesia. Komisi Ahli bentukan PBB hendaknya bisa bekerja
sama dengan Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang hingga kini belum
jelas format dan bagaimana kerjanya untuk dapat bekerja sama
menyelesaikan kasus tersebut.

Satu pesan penting yang mau disampaikan adalah kredibilitas,
akuntabilitas, dan transparansi yang harus menyertai proses Komisi
Kebenaran dan Persahabatan. Pekerjaan rumah besar memang masih akan
dihadapi Indonesia mengenai Timtim yang telah merdeka.
Kasus penembakan dua warga negara AS di Timika juga masih menjadi
ganjalan besar dalam hubungan militer AS-RI. Meski Presiden George W
Bush telah memperbaiki itu, Pemerintah Indonesia masih harus
menghadapi Kongres AS. Menuruti anggota Kongres AS, militer Indonesia
menghalangi penyelidikan menyeluruh atas kasus Timika. Tantangan
besar memang masih harus dihadapi Presiden Yudhoyono. Isu pelanggaran
HAM masih terus menjadi ganjalan. (Budiman Tanuredjo, dari New York)

ISU PELANGGARAN HAM TETAP JADI GANJALAN


KOMPAS

Rabu, 02 Feb 2005 Halaman: 8


Budiman Tanuredjo


ISU PELANGGARAN HAM TETAP JADI GANJALAN


Sebagian kecil anggota Kongres Amerika Serikat dan organisasi hak
asasi manusia masih mempersoalkan berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan militer Indonesia sebagai prasyarat dipulihkannya bantuan
militer AS terhadap Indonesia. Peristiwa tertembaknya Ted Burcon dan
Ricky Spear (keduanya warga AS) di Timika pada 31 Agustus 2002 serta
seorang warga negara Indonesia, FX Bambang Riwanto, masih menjadi
ganjalan dalam proses pemulihan bantuan militer AS ke Indonesia.
"Mereka masih menuntut adanya penyelesaian kasus Timika
tersebut," kata Alphonse F La Porta, Presiden The United States-
Indonesian Society, kepada rombongan wartawan Indonesia di Washington
DC, Amerika Serikat (AS), Senin (31/1).

La Porta sependapat, hubungan antara Pemerintah Indonesia
dan pemerintahan Presiden George W Bush relatif lebih baik
dalam proses pemulihan bantuan militer AS ke
Pemerintah Indonesia. Namun diakuinya, ada masalah dalam hubungan
Pemerintah Indonesia dengan Kongres AS. Ia juga menjelaskan,
kebijakan luar negeri AS tidak hanya ditentukan oleh eksekutif,
tetapi juga oleh Kongres dan kelompok kepentingan lainnya.

La Porta menyambut baik rencana Menteri Pertahanan Juwono
Sudarsono untuk melobi anggota Senat AS dan rencana Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menunjuk mantan Presiden BJ Habibie melobi Kongres
AS untuk masalah tersebut. La Porta yang pernah bertugas di Medan,
Sumatera Utara, mengakui bahwa TNI telah melakukan reformasi yang
ditandai dengan berakhirnya dwifungsi TNI dan penataan kembali
pengadilan militer di bawah Mahkamah Agung. Namun, upaya pemulihan
bantuan militer itu terganjal sekitar 100 persen anggota Kongres yang
masih mempersoalkan masalah itu. Bantuan militer AS kepada Pemerintah
Indonesia dicabut setelah terjadinya tindak kekerasan militer di
Indonesia pada 12 November 1992 di Timor Timur (Timtim).

Bara Hasibuan, yang pernah mengikuti fellowship di Kongres AS,
dalam percakapan dengan Kompas mengakui bahwa janda dari warga negara
AS yang tertembak di Timika itu terus melobi dan mendesak anggota
Kongres dari Virginia, tempat warga AS yang tertembak itu berasal,
untuk menentang proses pemulihan bantuan militer ke Indonesia.
La Porta, sebagaimana dilaporkan wartawan Kompas Budiman
Tanuredjo dari Washington semalam, mengakui bahwa sebagian publik di
AS juga masih mempersoalkan penanganan kasus pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) di Timtim. Ia mengakui kesepakatan antara Presiden
Timtim Xanana Gusmao dan Presiden Yudhoyono untuk membentuk Komisi
Kebenaran dan Persahabatan merupakan langkah yang baik untuk
menanggapi rencana Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komisi Ahli
guna menyelidiki kasus pelanggaran HAM Timtim. Namun masalahnya
adalah bagaimana Komisi Kebenaran dan Persahabatan itu bisa bekerja
secara kredibel dan independen.

La Porta menjelaskan, pembicaraan secara terbuka antara pihak
Pemerintah Indonesia dan anggota Kongres AS akan sangat membantu
untuk memberikan pengertian terhadap anggota Kongres dan organisasi
HAM mengenai masalah HAM tersebut.

Sementara itu, mengenai gerakan separatisme di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD), La Porta mengatakan, Washington mempunyai
sikap politik yang jelas dan tidak menginginkan NAD lepas dari
Indonesia. Karena itu, Pemerintah AS menyambut baik perundingan
antara Pemerintah Indonesia dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
di Helsinki, Filandia.
Selain soal isu pelanggaran HAM, masalah korupsi juga menjadi
perhatian publik AS.

Ditanya bagaimana sikap Washington terhadap pemeriksaan sejumlah
pejabat Monsanto yang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
atas tuduhan memberikan sejumlah uang kepada 140 pejabat Indonesia,
La Porta mendukung penyelesaian kasus Monsanto. Namun, yang masih
menjadi masalah dan menjadi pertanyaan adalah jika informasi akan
diberikan, lembaga Indonesia mana yang memang betul-betul bisa
dipercaya untuk mengelola informasi tersebut.

Akan tetapi, La Porta mengakui tidak mengetahui secara persis
soal adanya larangan atau aturan yang membuat Monsanto tidak bisa
memberikan sejumlah nama pejabat Indonesia yang telah menerima uang
dari Monsanto untuk penanaman kapas transgenik di Indonesia.
Sebagaimana diberitakan, KPK tengah menyelidiki adanya suap yang
diberikan pejabat Monsanto kepada pejabat dan keluarga pejabat
Indonesia untuk mempermudah keluarnya izin penanaman kapas transgenik.

Berkenaan dengan "tertahannya" lima wartawan Indonesia di Bandar
Udara San Francisco dan harus diinterogasi secara khusus oleh pejabat
di bawah Department of Homeland Security, pejabat Departemen Luar
Negeri AS yang menjadi penanggung jawab Foreign Press Center dan
mengatur kunjungan wartawan Indonesia ke AS meminta maaf atas
kejadian yang tidak mengenakkan tersebut. *

Susahnya Masuk Negeri Paman Sam





KOMPAS

Selasa, 01 Feb 2005 Halaman: 8


Budiman Tanuredjo



SUSAHNYA MASUK NEGERI PAMAN SAM


MESKI tragedi 11 September telah tiga tahun berlalu, pemerintahan
Presiden George W Bush tetap memberlakukan pemeriksaan ekstra ketat
terhadap siapa pun yang akan memasuki negaranya. Penumpang yang akan
memasuki wilayah Amerika Serikat di semua bandara internasional dan
termasuk juga penerbangan dalam negeri AS harus rela diperiksa
tubuhnya saat detektor logam memberi sinyal bunyi "tit-tit-tit".

Sepatu harus dilepas, sabuk harus dicopot, barang bawaan pribadi
seperti laptop harus dibuka dan dihidupkan. Bagasi yang akan masuk ke
pesawat harus dalam kondisi terbuka. Jika petugas kepabeanan melihat
sesuatu yang mencurigakan, ia langsung membuka dan mengacak-acak isi
koper. Jika koper dalam kondisi tertutup, petugas tak segan-segan
menjebol dan merusak koper. Itu dialami seorang wartawan Indonesia
yang diundang Departemen Luar Negeri AS melalui Kedutaan Besar AS di
Jakarta.

Keamanan dalam negeri AS menjadi hal utama bagi bangsa Amerika.
Meski Presiden Bush menekankan perlunya kebebasan saat menyampaikan
pidato pelantikannya, kebebasan sipil orang lain mungkin
dikesampingkan. Keamanan ketat tetap akan diberlakukan terhadap siapa
pun yang memasuki negara yang menyebut diri kampiun demokrasi itu.

Mempunyai visa dan bahkan status Anda sebagai tamu yang diundang,
bahkan dilengkapi dengan "surat sakti" dari pejabat kedutaan, tak
berarti Anda akan mendapat perlakuan "istimewa". Semuanya tetap sulit
memasuki wilayah AS ketika data atau naluri petugas imigrasi
mengatakan sesuatu yang berbeda. Itu yang terjadi terhadap lima dari
10 wartawan Indonesia yang diundang secara khusus oleh Departemen
Luar Negeri AS melalui Kedubes AS di Jakarta.

Pihak Kedubes AS mengundang wartawan Indonesia melakukan
kunjungan jurnalistik ke AS. Wartawan diharapkan bisa memberi
gambaran yang baik mengenai AS. Citra AS memang buruk di mata
internasional menyusul tindakan Bush menyerang Irak atas tuduhan
negara itu memiliki senjata perusak massal. Citra dan gambaran baik
mengenai masyarakat Amerika dan kebijakan luar negeri Amerika yang
ditulis wartawan diharapkan dapat memulihkan citra Amerika. Itulah
yang diharapkan pemerintahan Presiden Bush yang akan berpidato di
depan Kongres soal program 100 harinya, Kamis 3 Februari 2005.

***

HARAPAN mungkin akan menjadi tinggal harapan. Keinginan
menampilkan citra AS yang baik di mata publik dunia sering tak
sejalan dengan kebijakan keamanan dalam negeri AS. Itulah yang
dialami lima dari 10 wartawan Indonesia yang diundang sebagai tamu
Departemen Luar Negeri.

Meski mendapatkan visa dan dibekali dengan "surat sakti" Atase
Press Kedutaan Besar AS di Jakarta, Max Kwak, tertanggal 26 Januari
2005, lima wartawan itu harus menerima nasib diinterogasi khusus oleh
petugas imigrasi Bandara San Francisco, Sabtu (29/1). Selain saya,
ada empat wartawan yang terkena, Priyantono Umar (Republika),
Muhammad Lapang (Majalah Gontor), Muhammad Nurkholis Ridwan (Sabili),
dan Sapto Waluyo (Majalah Saksi).

Ketika melewati pemeriksaan imigrasi biasa, satu per satu
wartawan itu diminta datang ke sebuah tempat yang mereka
sebut "secondary office". Di ruang itulah kelima wartawan-dan
beberapa orang dari Asia lain-diinterogasi terpisah. Para wartawan
diminta mengisi formulir bertajuk National Security Entry Exit
Registration System berisi pertanyaan informasi orangtua, orang-orang
yang bisa dihubungi, riwayat pendidikan, dan pekerjaan.

Kelima wartawan itu juga ditanya tentang maksud kedatangan ke AS,
apa yang akan dilakukan, meskipun dalam surat pengantar sudah ada
penjelasan dari Max Kwak, Atase Press. Tak cukup dengan mengisi
formulir, para wartawan itu masih ditanya berbagai hal tentang data
diri mulai dari tinggi badan, berat badan, dan diminta menunjukkan
identitas lain, seperti SIM, KTP, dan bahkan kartu kredit.

Mereka juga ditanya mengapa bisa mendapat visa tipe I (visa untuk
pekerjaan jurnalistik). Pertanyaan itu tak bisa dijawab karena mereka
tak tahu mengapa Kedubes memberikan visa tipe I. Sebelum
diinterogasi, wartawan diminta bersumpah bahwa informasi yang
diberikan adalah benar dan jika terbukti tidak benar akan menerima
sanksi hukum AS.

Lebih dari satu jam interogasi dilakukan. Petugas imigrasi tak
memedulikan penjelasan wartawan, termasuk bahwa mereka harus
melanjutkan perjalanan dengan United Airline menuju Washington DC.
Mereka tetap bertanya dan bertanya. Akibatnya, perjalanan
lanjutan San Francisco-Washington pun tertunda karena pesawat telah
berangkat lebih dahulu. Lima wartawan lain, Heryanto Bagas Pratomo
(Suara Merdeka), Noor Dachliyanie Adul (Banjarmasin Post), Achmad
Basori (Pelita), Edy Priyono (Sinar Indonesia Baru), dan Parlaungan
Lubis (Serambi Indonesia) yang lolos dalam pemeriksaan imigrasi,
berangkat lebih dahulu.

Kelima wartawan yang tertinggal harus bernegosiasi sendiri dengan
maskapai penerbangan United Airline soal itu. Mereka akhirnya bisa
berangkat beberapa jam kemudian ke Washington melalui Denver.
Pemeriksaan untuk memasuki gerbang keberangkatan-sama dengan
penumpang lain-begitu ketat. Pendek kata, tak boleh ada secuil pun
logam yang memberikan sinyal bunyi "tit- tit-tit". Anda akan
digeledah sampai petugas yakin Anda aman. Jika tetap mencurigakan,
penumpang akan dimasukkan dalam ruang khusus.

Itulah yang terjadi, kelima wartawan Indonesia baru mendarat di
Bandara Washington Dulles, Minggu dini hari, ketika bandara sudah
sepi. Dingin dan salju menyergap wartawan sambil menunggu bagasi.
Namun, bagasi tak diketemukan. Pihak United Airline menjanjikan
bagasi dikirim esoknya. Bagasi memang dikirimkan keesokan harinya.
Namun, koper wartawan Republika Priyantono Umar dibuka paksa. Tak ada
penjelasan apa pun. Tak ada yang hilang memang, tetapi itu tentunya
amat merugikan.

Kejadian seperti itu sebenarnya sudah diantisipasi dan sudah
ditanyakan. Kelima wartawan yang mengalami interogasi lanjutan,
permohonan visa atas undangan itu memang sempat ditunda menunggu
clearence dari Washington.

Clearence memang diberikan pada 22 Desember 2004. Sehari sebelum
berangkat, masalah itu ditanyakan kembali kepada pihak kedubes. Para
wartawan menegaskan mereka hanya diundang dan meminta agar visa yang
diberikan Kedubes AS itu tidak lagi membawa masalah. Pihak Kedubes
mengatakan tak ada masalah dan meminta wartawan dapat memberi
gambaran bagaimana masyarakat AS dan bagaimana kebijakan luar negeri
AS. Dan, pengalaman inilah yang menjadi laporan pertama kunjungan
wartawan Indonesia yang diundang pihak Departemen Luar Negeri AS.

Salju yang menutupi Washington dan pemeriksaan imigrasi yang
merepotkan menjadi "sambutan awal" yang diterima wartawan Indonesia.
(Budiman Tanuredjo dari Washington DC)