KOMPAS
10 Oktober
Kontroversi Seleksi KPU
Rapat Paripurna DPR, Selasa kemarin, akhirnya tetap meloloskan Syamsulbahri, calon anggota Komisi Pemilihan Umum yang berstatus tersangka kasus korupsi. Status itu dikonfirmasi langsung oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Sebelumnya, kelompok masyarakat memberikan masukan soal calon anggota KPU.
Saat uji kelayakan dilaksanakan, Syamsul di depan Komisi II DPR menegaskan dirinya hanyalah saksi. Pengakuan itu berbeda dengan pernyataan Jaksa Agung. Ketika kritik masyarakat mengalir, DPR bertahan dan berpegang pada prinsip asas praduga tak bersalah.
Dari sudut pandang positivisme hukum, Syamsul berhak menjadi anggota KPU. Namun, ada prinsip, ”bahwa yang legal belum tentu moral”. Sesuatu yang benar secara legal dan prosedural belumlah tentu benar secara moral.Seleksi anggota KPU telah melalui proses panjang.
Diawali dengan seleksi oleh Panitia Seleksi yang tak kurang kontroversialnya. Dari lebih dari 200 nama, Panitia memilih 45 orang dan kemudian diperas lagi menjadi 21. Nama itu diserahkan ke Presiden dan oleh Presiden diteruskan ke DPR.
Kita menyayangkan ritual seleksi yang panjang dan berbiaya besar ternyata menghasilkan sosok yang integritasnya dipersoalkan publik. Kita mempertanyakan bagaimana verifikasi dilakukan Panitia Seleksi, Kantor Kepresidenan dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, dan DPR ketika tetap meloloskan Syamsul.
Seakan kita tak pernah belajar dari pengalaman. Sejumlah anggota KPU 2001 masuk penjara karena kasus korupsi. Kita masih ingat ketika anggota Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, yang memegang jabatan Koordinator Pengawasan dan Keluhuran Martabat Hakim—yang diseleksi dengan mekanisme yang sama—tertangkap oleh KPK atas dugaan kasus suap.
Tugas KPU mempersiapkan Pemilu 2009 amat berat. Waktu yang tersedia hanya 1,5 tahun! KPU 2001 mempunyai waktu persiapan tiga tahun. Sebagai komisi yang perannya sentral dalam proses demokratisasi, KPU harus membangun institusi dan memulihkan citranya, dan secara bersamaan mempersiapkan Pemilu 2009.
Polemik soal Syamsul tak mendukung pembangunan institusi KPU yang berwibawa, yang mampu mengelola konflik di antara parpol peserta pemilu. Pembelaan parpol secara tidak langsung menunjukkan dukungan politik parpol. Hubungan seperti itu berpotensi menempatkan Syamsul dalam perangkap kepentingan kekuasaan. Baik kekuasaan yang membela maupun kekuasaan yang memberinya label status tersangka.Argumen legal memang bisa menjadi tameng. Namun, argumentasi legal itu seharusnya kehilangan legitimasinya ketika problem moralitas dan asas kepatutan lebih mengemuka.
Semua itu berpulang kepada Syamsul, ketika DPR dan pemerintah merasa tak bersalah; ketika politik kekuasaan telah memonopoli tafsir bahwa pencalonan Syamsul sah secara legal. Sepatutnya kita mengedepankan kepentingan yang lebih besar karena Pemilu 2009 adalah pertaruhan besar bagi demokrasi, dan harus dilaksanakan oleh KPU yang berwibawa.
Senin, 19 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar