KOMPAS
9 November 2007
Awal dan Akhir Adelin Lis
Kita memilih judul itu untuk menggambarkan perjalanan Adelin Lis yang berliku. Ia ditangkap polisi, dibebaskan hakim, dan diburu polisi lagi!
Awalnya, Kepolisian Daerah Sumatera Utara membidik Adelin dalam kasus pembalakan liar. Adelin buron dan ditangkap saat mengurus perpanjangan paspor di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing, China. Peristiwa itu memberikan kesan pemerintah sangat serius memerangi pembalakan liar.
Adelin diadili di Pengadilan Negeri Medan. Ia dituntut jaksa hukuman sepuluh tahun penjara serta mengganti dana provisi sumber daya hutan Rp 119 miliar dan 2,9 juta dollar AS karena diyakini jaksa terbukti membalak hutan. Namun, hakim membebaskan Adelin dari segala dakwaan. Hakim menyatakan Adelin bersalah dalam mengelola hutan, tetapi itu bukan tindak pidana, melainkan pelanggaran administrasi yang menjadi kewenangan Menteri Kehutanan. Polisi pun kemudian memburu Adelin dengan tuduhan lain: pencucian uang.Publik terkejut!
Secara teoretis, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan merdeka. Namun, dalam alam realitas, publik paham, kekuasaan kehakiman yang merdeka masihlah merupakan utopia. Banyak faktor yang memengaruhi sistem peradilan. Proses peradilan amat panjang. Mulai dari penyidikan Polri, penuntutan oleh jaksa, hingga pembelaan oleh pengacara dan hakim sebagai pemutus akhir. Juga masih ada panitera yang mencatat. Semua pihak bisa memainkan peran.
Adalah fakta yang terekam media massa bahwa penanganan kasus pembalakan liar ditandai oleh perseteruan hukum antara Polri dan Menteri Kehutanan. Bahkan, dalam persidangan kasus Adelin, Menteri Kehutanan MS Kaban ikut menulis surat kepada pengacara Adelin: bahwa pelanggaran dalam kasus itu adalah pelanggaran administratif. Surat itu digunakan pengacara, dan pendapat Menhut diadopsi hakim. Boleh jadi, bebasnya Adelin adalah buah dari pertarungan kepentingan yang kemudian dimanfaatkan.
Selain mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar, pembalakan liar juga menghilangkan fungsi lingkungan yang melekat pada hutan. Karena itu, sangatlah tepat agenda pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengatasi pembalakan liar. Namun, agenda kerja itu tak cukup hanya ditulis. Ia butuh sesuatu yang menggerakkan agar para pembantu presiden satu bahasa. Di sinilah kepemimpinan presiden harus mengedepan!
Kita mendukung langkah jaksa melakukan kasasi, MA mengeksaminasi. Namun, akan lebih baik kalau para pembantu presiden juga melakukan refleksi dan introspeksi. Seriuskah kita memerangi pembalakan liar?
Terhadap putusan hakim itu sendiri, kita ingat ucapan Hakim Agung AS Oliver Wendel Holmes. Ia mengatakan hukum bukanlah logika, tetapi kuyup dengan pengalaman hakim dalam berinteraksi dengan masyarakatnya. Pengambilan putusan bukanlah hanya soal logika dan rasio, tetapi juga rasa perasaan sang hakim. Hakim haruslah mampu menangkap degup keadilan rakyat.
Senin, 19 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar