Sabtu, 17 November 2007

MAHKAMAH AGUNG DI TENGAH ARUS REFORMASI

KOMPAS

Selasa, 07 Mar 2000 Halaman: 7

BUDIMAN TANUREDJO

MAHKAMAH AGUNG DI TENGAH ARUS REFORMASI

TENGAH malam, Jumat, 31 Januari 1999, Presiden Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) memproklamasikan pergantian nama Propinsi Irian Jaya
menjadi Propinsi Papua. "Mulai sekarang, nama Irian Jaya menjadi
Papua. Mungkin waktu itu, penggembala-penggembala melihat teman-teman
di sini masih memakai koteka," kata Gus Dur dalam dialog dengan tokoh
masyarakat Irja, di malam pergantian tahun itu.

LANGKAH Gus Dur mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua bisa
dipandang sebagai cara Gus Dur untuk mengakomodasi keinginan
masyarakat di propinsi yang masih saja terus menimbulkan letupan-
letupan. Setelah Gus Dur memproklamirkan nama Papua, maka secara
otomatis, dan tercermin dalam pemberitaan media massa, tertera
Gubernur Papua, DPRD Papua, Kapolda Papua.

Dari sudut pandang legalitas formal, perubahan nama Irian Jaya
menjadi Papua, seyogianya ditindaklanjuti dengan sebuah proses
konstitusional di DPR atau MPR. UU No 12/1969 tentang Pembentukan
Propinsi Otonom Irian Barat masih berlaku dan masih merupakan hukum
positif.

Bahkan, pada era kepemimpinan Presiden BJ Habibie, terbit UU No
45/1999. Undang-undang yang diundangkan 4 Oktober 1999 itu berisi
tentang pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat, Propinsi Irian Jaya
Tengah, dan Propinsi Irian Jaya Timur. Menteri Dalam Negeri ad
interim Feisal Tanjung pun telah melantik Abraham O Ataruri sebagai
Pejabat Gubernur Irja Barat, Herman Moniem selaku Pejabat Irja
Tengah, dan Freddy Numberi sebagai Gubernur Irja Timur.

***

YANG menarik dari fenomena itu adalah pertanyaan di mana
sebenarnya posisi hukum atau eksistensi sebuah undang-undang. Dari
paparan itu tampak jelas bahwa hukum atau undang-undang tak lagi
punya makna apa-apa. Ketika UU No 45/1999 membagi Irja menjadi tiga
propinsi, di lapangan sama sekali tidak berjalan. Malah di lapangan,
nama Irian Jaya telah berubah menjadi Papua sebagaimana
diproklamirkan Gus Dur.

Dalam konteks negara hukum, kemauan politik Gus Dur mengumumkan
perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, bisa menjadi modal untuk
"menyerang" Gus Dur sendiri. Pernyataan Gus Dur dianggap sebagai
hukum itu sendiri, meskipun Gus Dur tidak menghendakinya demikian.
Gus Dur bisa dikesankan tidak mempunyai cita rasa hukum yang benar.
Pernyataannya bisa menjadi kontroversial secara yuridis.

Kenyataan itu menunjukkan sistem checks and balances tidak
sepenuhnya berjalan. Birokrasi dan DPR sama-sama terlambat untuk
merespons ide-ide atau pemikiran Gus Dur.

Kenyataan itu sebenarnya bisa dihindari seandainya "mesin
politik" Gus Dur bekerja efektif. "Mesin politik" itu bisa berupa
birokrasi pemerintah maupun anggota DPR yang selama ini mendukung Gus
Dur. Mereka harus mengambil inisiatif, mengkonstitusionalkan
keinginan politik Gus Dur.

Dalam kasus perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, seharusnya
pemerintah segera mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang
mensahkan perubahan nama itu. Atau, DPR mengajukan RUU Inisiatif
untuk mengkonstitusionalkan perubahan nama itu.

***

KERANCUAN hukum yang terjadi tak bisa dipisahkan dengan juga
tidak berjalannya fungsi Mahkamah Agung (MA). Lembaga yang sama
sekali belum tersentuh reformasi ini, sama sekali acuh terhadap
fenomena yang terjadi. Padahal, MA diberikan kewenangan untuk
memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum. Rumusan itu tertuang
dalam pasal 37 UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi:
Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam
bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara
yang lain.

Tidak jelas benar bagaimana pemahaman MA dalam menafsirkan
rumusan pasal tersebut. Ketika ditanya mengapa MA tidak memberikan
pertimbangan-pertimbangan hukum kepada pemerintah, salah seorang
pimpinan MA beberapa waktu lalu menjawab, "MA sudah sering memberikan
pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum diberikan dalam putusan
kasasi." Itulah persepsi salah seorang pimpinan MA tentang makna
pasal 37 UU No 14/1985.

Dalam kenyataannya, dan sepanjang Orde Baru, baru dua kali MA
memberikan pertimbangan hukum. "Itu pun kalau diminta," ujar Mulyana
W Kusumah, mantan Direktur Eksekutif Yayasan LBH Indonesia (YLHI),
dalam sebuah diskusi "Mencari Format Mahkamah Agung yang Ideal" yang
diselenggarakan Serikat Pengacara Indonesia (SPI).

Sejauh ini baru dua pertimbangan hukum yang diberikan MA.
Pertama, ketika Menteri Dalam Negeri meminta pertimbangan hukum
apakah seorang menteri yang juga pemimpin parpol boleh ikut
berkampanye. Kedua, ketika MA ditanya apakah dokumen hasil audit
PricewaterhouseCoppers tentang skandal Bank Bali boleh diketahui
publik atau tidak.

"MA lemah dalam menanggapi legal issue yang berkembang," tambah
Mulyana W Kusumah. Dua hakim agung, Paulus Effendy Lotulung dan
Iskandar Kamil yang hadir dalam diskusi tersebut tak memberikan
tanggapan atas pernyataan Mulyana. Namun, Paulus secara halus
mengakui MA kurang pro-aktif.

Luhut MP Pangaribuan sependapat bahwa MA sebenarnya ikut
memberikan kontribusi yang cukup besar yang mengakibatkan Indonesia
terpuruk pada persoalan KKN. "Jika MA menjalankan perannya untuk
memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden pada Keppres yang
diterbitkan bertentangan, mungkin Indonesia tak terpuruk pada
persoalan KKN tersebut," ujar Pangaribuan.

Dalam konteks perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, MA
sebenarnya bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum tentang
apa yang harus dilakukan DPR dan Presiden. MA misalnya bisa
memberikan pertimbangan bahwa perubahan nama sebaiknya dilakukan
setelah sudah ada undang-undang yang mensahkan perubahan nama itu.
Kelambanan MA dalam memberikan pertimbangan hukum itu pulalah
yang kemudian memunculkan pertanyaan, kepada siapa MA harus
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya, khususnya dalam
bidang nonjudisial.

Hakim agung Iskandar Kamil dan Paulus Lotulung berpendapat, dalam
konteks itu (bukan untuk kewenangan mengadili) MA bisa diminta untuk
memberikan laporan tahunan (annual report). Laporan tahunan itu bisa
diberikan kepada DPR atau kepada MPR. "Namun, pemberian laporan
tahunan itu bukan berupa pertanggungjawaban MA kepada MPR," ujar
Iskandar Kamil.

Sedangkan pakar hukum tata negara Harun Alrasid yang hadir dalam
diskusi itu mengatakan, "Kewenangan MA memberikan pertimbangan hukum
sebaiknya dicabut saja. Kalau pemerintah butuh pertimbangan hukum
sebaiknya tanya pengacara."

Luhut Pangaribuan tak sependapat dengan usulan Harun. "Saya pikir
itu karena Pak Harun jengkel. Seharusnya, bukan fungsi MA dalam
memberikan pertimbangan hukum dihapuskan, melainkan diberdayakan,"
kata Pangaribuan. Namun, siapa yang menjadi konsultan hukum
pemerintah menjadi menarik untuk dikaji. Sesuai dengan UU No 5/1991
tentang Kejaksaan diintrodusir penyebutan Kejaksaan sebagai Pengacara
Negara.

Untuk memberdayakan peran MA, menurut Pangaribuan, memang perlu
dilakukan reformasi struktural di tubuh Mahkamah Agung. Reformasi
struktural harus dilakukan dengan mengganti sejumlah orang yang masih
merupakan peninggalan Orde Baru dengan memasukkan orang luar serta
memperbaiki sistem dalam kelembagaan Mahkamah Agung.

Menurut Benny K Harman, salah seorang praktisi yang pernah
meneliti kekuasaan kehakiman di Indonesia, format MA yang ada
sekarang sudah tidak sejalan lagi dengan cita-cita gerakan reformasi,
sehingga perlu diubah. Ketika lembaga lain berbenah diri menyesuaikan
dengan langgam reformasi, MA justru diam dan malah bersiasat untuk
sebisa mungkin menghindari masuknya orang luar.

Benny Harman dalam makalahnya melihat tak ada indikasi langkah MA
melakukan reformasi internal untuk menyesuaikan diri sehingga kesan
yang muncul ke permukaan adalah MA menjadi penjaga status quo dan
menjadi bagian dari permasalahan nasional.

3 komentar:

Faiza D. Alih mengatakan...

Mahkamah tengah sepatutnya layak saman orang-orang yang buat surat sumpah palsu.bapa tiri saya buat surat sumpah bahyawa saya anak kandungnya supaya dia mudah untuk perjualkan saya.saya faiza D. alih,asal dari filipina,telah memperolehi mykad dari dokumen palsu iaitu surat beranak yang diisi dengan keterangan bapa kandung yang tidak benar.muhammad bin bimbang adalah bekas pegawai majlis daerah sempornah,kunak dan mpt tawau.dia mudah peralatkan sesiapa sahaja.

Faiza D. Alih mengatakan...

Mahkamah tengah sepatutnya layak saman orang-orang yang buat surat sumpah palsu.bapa tiri saya buat surat sumpah bahawa saya anak kandungnya supaya dia mudah untuk perjualkan saya.saya faiza D. alih,asal dari filipina,telah memperolehi mykad dari dokumen palsu iaitu surat beranak yang diisi dengan keterangan bapa kandung yang tidak benar.muhammad bin bimbang adalah bekas pegawai majlis daerah sempornah,kunak dan mpt tawau.dia mudah peralatkan sesiapa sahaja.

Faiza D. Alih mengatakan...

Mahkamah tengah sepatutnya layak saman orang-orang yang buat surat sumpah palsu.bapa tiri saya buat surat sumpah bahyawa saya anak kandungnya supaya dia mudah untuk perjualkan saya.saya faiza D. alih,asal dari filipina,telah memperolehi mykad dari dokumen palsu iaitu surat beranak yang diisi dengan keterangan bapa kandung yang tidak benar.surat beranakl tersebut bernombor 4044/1/93,daftar lewat.dan mykad tersebut 770228-12-5442,muhammad bin bimbang adalah bekas pegawai majlis daerah sempornah,kunak dan mpt tawau.dia mudah peralatkan sesiapa sahaja.