Senin, 12 November 2007

Resensi Buku: Jakarta Memilih


Resensi Buku
Judul Buku : Jakarta Memilih –Pilkada dan Pembelajaran Demokrasi
Penerbit : Penerbit Buku Kompas (2007)
Jumlah halaman 299
Editor : Budiman Tanuredjo



Seorang diplomat asing punya pendapat soal pemilihan Gubernur DKI Jakarta 8 Agustus 2007 lalu.“Itu mirip karnaval demokrasi,“ ucap diplomat muda dari negara ASEAN yang pada saat pemilihan gubernur DKI Jakarta digelar, ia berkeliling dari satu TPS ke TPS yang lain. Kesannya: seperti ada hajatan, semua gembira dan ceria. Tak ada beban atau ketegangan.


Jakarta telah memberikan pelajaran berdemokrasi. Pemilihan kepala daerah tak harus diwarnai dengan ketegangan atau ketatnya penjagaan keamanan secara mencolok. Demokrasi adalah milik rakyat. Meskipun pada awalnya sempat ada tudingan manipulatif dalam pendaftaran pemilih, pilkada Jakarta berakhir sukses. Damai! Bahkan, berbeda dengan pemilihan kepala daerah di daerah lain yang ditandai dengan kerusuhan atau konflik, pilkada Jakarta berlangsung mulus. Bahkan, gugatan dari pihak yang kalah pun tidak muncul.

Tak sampai 24 jam setelah surat suara dihitung, Adang Darajatun langsung mengucapkan selamat kepada Fauzi Bowo- Prijanto. “Saya nilai, secara umum berjalan baik dan tidak ada masalah. Kemenangan yang diperoleh juga berjalan baik. Saya pikir, pilkada Jakarta bagus sekali. Semuanya sangat baik,” ucap Adang Darajatun, pensiun Polri berpangkat Komisaris Jenderal.

Jakarta telah memberikan contoh. Kekalahan dan kemenangan dalam sebuat proses demokrasi adalah keniscayaan. Kemenangan tak harus diterima dengan sukacita atau bahkan mabuk kemenangan, sebaliknya kekalahan tak harus dianggap sebagai akhir dari sebuah perjalanan. Kemenangan adalah sebuah mandat dari rakyat yang harus dipenuhi. Jika tidak, rakyat bisa mempersoalkan mandat yang telah diberikannya dalam sebuah proses ritual tahunan bernama pemilihan gubernur berikutnya.

Jakarta telah menjatuhkan pilihan.Sebanyak 2.109.511 pemilih (57,87%) telah memberikan suaranya di 1.179 tempat pemungutan suara (TPS) untuk pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Pasangan itu diberi mandat untuk memimpin Jakarta periode 2007-2012, Sedang pasangan Adang Darajatun-Dani Anwar meraih suara 1.535.555 pemilih (42,13%). Jumlah pemilih yang berpatisipasi dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta adalah sebanyak 3.759.038 pemilih menggunakan hak pilihnya. Dari jumlah itu sebanyak 113.972 dinyatakan tidak sah. Tingkat golongan putih (pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya karena berbagai sebab) mencapai 1.987.539 orang dari 5.746.601 pemilih terdaftar. Jumlah itu mencapai angka 34,59 persen.

Sebagai Ibu Kota Negara dan pusat pemerintahan, Jakarta adalah kota dengan kompleksitas persoalan. Ia adalah kota megapolitan dengan segala hingar-bingar kehidupan, meskipun kemiskinan tetap merupakan wajah nyata. Pemukiman kumuh tetap menjadi bagian dari perjalanan sebuah kota megapolitan. Kemacetan menjadi ritual sehari-hari yang dihadapi warga Jakarta. Banjir tahunan juga seakan harus diterima sebagai sebuah “kondisi” yang harus diakrabi.

Sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Amal Tomagola berpendapat, seorang gubernur-wakil gubernur yang terpilih dalam pemilihan gubernur 8 Agustus 2008 tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan Ibu Kota. ”Siapapun yang memimpin Jakarta, tidak akan dapat menyelesaikan semua masalah kota ini,” kata Tamrin Amal Tomagola (hal 42). Bagi Tamrin, pilkada Jakarta adalah sebuah pembelajaran demokrasi bagi warga. Sebab, gerakan warga untuk memperbaiki Jakarta atau memperoleh kesejahteraan yang sejati, harus diperoleh dalam proses yang demokratis dan bukan bagian dari kedermawanan penguasa. Pilkada bagian dari pembelajaran proses demokrasi ini.

Pelajaran dari Jakarta

Pilkada Jakarta memberikan sejumlah pelajaran. Dari sisi hasil, tak lebih dari tiga jam setelah Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditutup dan dihitung hasilnya, berbagai lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat, termasuk Litbang Kompas, mengumumkan prediksinya mengenai hasil pemungutan suara. Hasil penghitungan Litbang Kompas dan sejumlah lembaga survei lain, berada dalam margin error yang ditetapkan. Bahkan, hasil penghitungan cepat Litbang Kompas hanya terpaut 0,11 persen dari hasil suara resmi manual yang dihitung KPU Provinsi Jakarta.

Hasil prediksi penghitungan cepat itu ikut mempengaruhi reaksi dari kandidat. Tiga jam kemudian, Fauzi Bowo mengklaim kemenangan dan tak sampai 24 jam kemudian Adang Darajatun termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengakui kemenangan Fauzi Bowo. Reaksi Adang dan PKS yang positif itu ikut mendinginkan situasi politik Jakarta. “Saya nilai, secara umum berjalan baik dan tidak ada masalah. Kemenangan yang diperoleh juga berjalan baik. Saya pikir, pilkada Jakarta bagus sekali. Semuanya sangat baik. ....Tidak usah ragu, saya akan mendukung Bang Fauzi dan Bang Prijanto,” ucap Adang dalam pernyataan persnya menanggapi hasil pilkada, 9 Agustus 2007.

Hasil survei perilaku pemilih yang dilakukan Litbang Kompas paling tidak juga memberikan gambaran bahwa memilih seorang kepala daerah lebih banyak didasarkan pada pertimbangan kemampuan calon gubernur (halaman 246-264). Partai politik yang menjadi kendaraan tidak menjadi pertimbangan signifikan seorang pemilih ketika menjatuhkan pilihan. Sedang dari sisi latar belakang, pemilih mempertimbangkan aspek kepemimpinan (28,3%) dan kepribadian (28,5%) kandidat dalam menentukan pilihan.

PKS memang menjadi sebuah partai dengan pemilih yang solid. Dari survei perilaku pemilih (exit poll) paling tidak menunjukkan 82,3% pemilih yang pemilih PKS pada pemilu 2004 memberikan suaranya kepada Adang-Dani yang diusung PKS. Angka itu bisa dibaca bahwa 17 persen pemilih PKS memberikan suaranya pada Fauzi-Prijanto. Hal yang menarik juga bisa dilihat dari soliditas pemilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebanyak 84,8 persen pemilih PPP pada Pemilu 2004 tetap konsisten memberikan dukungan suara kepada pasangan Fauzi-Prijanto yang diusung PPP.

Jakarta juga memberikan gambaran lain bahwa kampanye tidak mempengaruhi pilihan pemilih (60,7%) karena mayoritas (64,6%) pemilih telah menentukan pilihan jauh sebelum kampanye dilakukan. Hanya sedikit pemilih yang mengaku ikut menghadiri kampanye-kampanye terbuka.

Problem dan janji

Pemilihan Gubernur Jakarta adalah pemilihan langsung kedua yang digelar di Pulau Jawa. Sedang, pemilihan gubernur secara langsung pertama dilakukan di Provinsi Banten. Sebagai Ibukota Negara, pusat pemerintahan dan pusat perekonomian, pemilihan Gubernur DKI Jakarta tentu menjadi magnet tersendiri. Berbagai lembaga survei ikut mempraktikkan kemampuan metologi penelitiannya di Jakarta.

Harian Kompas termasuk yang menempatkan pilkada Jakarta sebagai liputan yang direncanakan secara matang. Keinginan mengawal proses demokrasi dan memberikan informasi secara lebih kepada pemilih Jakarta, Harian Kompas mengalokasikan sejumlah halamannya untuk liputan pilkada Jakarta. Bahkan, pendekatan psikologi seperti penelusuran kepribadian kandidat kembali dilakukan melibatkan sejumlah peneliti psikologi-sosial dari Universitas Indonesia—Niniek L Karim, Bagus Takwim, Dicky Pellupessy, Nurlyta Hafiyah – yang hasil karya mereka bisa dinikmati dalam suplemen Kandidat yang menjadi bagian dari buku ini. Kerja bareng peneliti psikologi sosial UI dan wartawan Kompas pun dilakukan untuk memberikan perspektif lain kepada pembaca. Langkah itu juga dimaksudkan untuk menggali pendekatan lain dari sisi jurnalistik. Sedang untuk mendekati prinsip jurnalisme presisi, Litbang Kompas melakukan penghitungan cepat terhadap hasil pilkada. Langkah ini adalah langkah pertama yang dilakukan media di Indonesia.

Liputan pilkada Kompas yang kemudian disistematisir kembali dalam buku yang Anda pegang memberikan gambaran kepada warga Jakarta dan tentunya kandidat gubernur mengenai kompleksitas problematika Jakarta (bab I). Perilaku politik dari aktor, parpol, jurukampanye, lembaga survei juga menjadi obyek tulisan yang menarik (bab II). Penelusuran lebih jauh soal kecenderungan prikologis masing-masing calon gubernur dan wakil gubernur, termasuk rekam jejak serta visi mereka tentang Jakarta dituangkan dalam sebuah bab tersendiri, serta janji-janji kampanye masing-masing kandidat . (bab IV). Pada Bab V yang juga merupakan bagian dari pembelajaran dari Jakarta, pembaca bisa mengetahui, menganalisis hasil survei perilaku pemilih Jakarta. Bagian ini memberikan gambaran soal siapa pemilih Fauzi-Prijanto, mengapa mereka memilih Fauzi-Prijanto serta analis terhadap lembaga-lembaga survei yang berkiprah di Jakarta.

Buku Jakarta Memilih yang merupakan kumpulan tulisan yang telah dimuat di harian Kompas merupakan upaya Kompas untuk mendokumentasikan sebuah proses politik di Ibukota. Buku itu diharapkan juga bisa menjadi pengingat dan mungkin juga dapat membantu menjelaskan bagaimana nantinya kombinasi pasangan Fauzi-Prijanto bekerja. Janji-janji yang telah ditebar, visi dan misi yang telah diucapkan terdokumentasikan, yang pada saatnya akan ditagih. Masyarakat pemilih akan menjadi juri yang adil atas pilihan

Tidak ada komentar: