Jumat, 09 November 2007

Kebebasan Pers - Palu Godam untuk TIME



KOMPAS
Jumat, 28 Sep 2007 Halaman: 57

Kebebasan Pers
PALU GODAM HAKIM UNTUK "TIME"


Oleh Budiman Tanuredjo

Hari itu, sesaat setelah ia mengetukkan palu vonisnya, Hakim
Ketua Sihol Sitompoel menoleh kepada Juan Felix Tampubolon, pengacara
mantan Presiden Soeharto. Sembari menggeleng kepala, Hakim Sihol
berujar, "I am sorry I can not help you." Saya tidak tahu persis,
apa yang tersirat di balik lubuk hati Pak Hakim. Saya juga tidak
paham, apa yang mengilhami dia mengatakan seperti itu...
Hamid Awaluddin dalam kata pengantar buku berjudul Soeharto VS
Time-Pencarian dan Penemuan Kebenaran, Jakarta (2001).


Putusan majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat, 31 Mei 2000 yang
memenangkan majalah Time dipuji banyak kalangan. "Itu kemenangan
akal sehat," tulis Hamid Awaluddin saat memberi pengantar buku
Soeharto VS Time. "Hakim kecil dengan gagasan besar," tulis Satjipto
Rahardjo dalam buku yang sama.

Majelis hakim Sihol Sitompul, Ny Endang Sri Murwati, Ny Endang
Soemarsih dipuji Satjipto Rahardjo sebagai "hakim-hakim kecil" yang
telah berbuat besar.

Perdebatan legal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal kasus
Time versus Soeharto itu kemudian dibukukan Todung Mulya Lubis yang
juga kuasa hukum Time. Hamid Awaluddin, Jakob Oetama, Satjipto
Rahardjo, Atmakusumah, dan Ashadi Siregar ikut menuangkan pandangan
mereka dalam buku tersebut.

Sebelumnya, Time edisi Asia, 24 Mei 1999, menulis laporan
berjudul Soeharto Inc. How Indonesia's Longtime Boss Built a Family
Fortune. Laporan utama itu dikonstruksikan kuasa hukum Soeharto telah
menghina dan mencemarkan nama baik Soeharto. Setelah lewat debat
panjang dan pengajuan bukti dan saksi, majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan Soeharto.

Tulisan Time tak dapat dikualifikasi sebagai menista dengan surat
dan tulisan. Hakim Sihol juga mengatakan, pemberitaan Time dapat
dipandang sebagai untuk kepentingan umum dan sesuai kebutuhan zaman.
Maka, menurut hukum, pemberitaan itu tak bisa dikategorikan sebagai
menista dengan tulisan.

Tujuh tahun kemudian, tepatnya 30 Agustus 2007, zaman mungkin
telah berubah. Semangat reformasi telah kehilangan energi. Majelis
hakim agung yang dipimpin German Hoediarto dan hakim agung, Muhammad
Taufik dan Bahauddin Qaudry, membalik logika hukum hakim Sihol.
German menolak penggunaan UU Pers sebagaimana digunakan Sihol.
German mengikuti logika hukum yang dikembangkan kuasa hukum Soeharto
dengan menggunakan hukum perdata. German dalam pertimbangannya tak
banyak menyentuh perdebatan soal hukum pers dan prinsip jurnalistik
yang terjadi dalam pengadilan negeri.

Hakim purnawirawan jenderal bintang dua ini mengatakan, "Gambar
dan berita Time telah melampaui batas kepatutan, ketelitian, dan
sikap hati-hati sehingga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
melawan hukum yang mencemarkan nama baik dan kehormatan penggugat
sebagai Jenderal Besar TNI (Purn) dan mantan Presiden RI."
Putusan hakim German itu memicu kritik dan kecaman. Atmakusumah
menulis "HAM dan Perkara Time" dalam Kompas (13/9), Nono Anwar
Makarim menulis Satu Lagi Saga Diskriminasi" (Kompas, 26/9),
Satjipto Rahardjo menulis, Apakah Pengadilan Itu (Kompas, 24/9).
Entah bagaimana pandangan Hamid Awaluddin terhadap putusan MA.

Sebelumnya, Hamid menulis, putusan hakim Sihol yang memenangkan Time
atas tuntutan Soeharto adalah keputusan yang ingin mengakhiri praktik
bazar keadilan itu.

Dampak
Kuasa hukum Time, Todung Mulya Lubis, menegaskan akan mengajukan
peninjauan kembali (PK) atas putusan MA tersebut. "Kami pasti akan
PK," katanya. Bagi Mulya, putusan yang disusun hakim German ini
telah merusak yurisprudensi yang telah dibangun MA berkaitan dengan
perkara-perkara pers.
"Putusan itu mundur hingga 14 tahun lalu," ucap Mulya mengutip
yurisprudensi MA Reg No 3173K/Pdt/1991 Tanggal 28 April 1993 dalam
perkara yang melibatkan koran Garuda di Medan.

Majelis hakim agung waktu itu mengatakan: "...apa yang
dikabarkan dan diberitakan harus peristiwa yang besar dalam rangka
memperjuangkan kebenaran dan keadilan berdasarsumber yang jelas. Akan
tetapi, sebagaimana diakui semua pihak, kebenaran suatu peristiwa
yang hendak diberitakan pers pada hakikatnya merupakan kebenaran
elusive. Artinya, suatu berita yang dicari dan ditemukan sukar
dipegang kebenarannya. Tidak ubahnya seperti seekor belut. Terkadang
tidak bisa diketahui di mana sesungguhnya suatu kebenaran berita.
Kebenaran yang hendak diberitakan sering mengambang antara pendapat
dan pendirian seseorang dengan orang lain atau suatu kelompok dengan
kelompok yang lain. Yang dituntut ialah kebenaran berita atau ulasan
yang mempunyai sumber yang jelas meskipun disadari adanya kemungkinan
perbedaan pendapat.

Dari sisi praktik jurnalistik, Time telah mengembangkan prinsip
jurnalistik. Mengenai kabar adanya transfer dana dari Swiss ke
Austria, didasarkan pada sumber Wirtschaftsblats, jurnal ekonomi
Barron 27 Mei 1998, majalah Gamma 4 April 1999. Barang bukti itu juga
disodorkan di pengadilan.

Praktik seperti ini lazim dalam jurnalisme Indonesia yang masih
mengandalkan sumber kantor berita asing ataupun dokumen sekunder.
Tersebutnya sejumlah nama pejabat penerima dana Departemen Kelautan
dan Perikanan berdasarkan pada kesaksian dan BAP di persidangan.
Pertanyaannya: apakah kemudian media harus membuktikan transaksi uang
itu? Apakah itu cukup dipandang sebagai fakta jurnalistik.?
"Apakah memang seorang wartawan sampai harus menunjukkan nomor
rekening secara pasti," kata Mulya Lubis menangkis bahwa Time tidak
bisa membuktikan adanya transfer dana Soeharto dari Swiss ke Austria.
Media di Indonesia sangat mengandalkan laporan dari kantor berita
asing untuk liputan di luar negeri, sebut saja aksi unjuk rasa di
Myanmar. Menggambarkan bagaimana junta militer menangani unjuk rasa
para biksu atau unjuk rasa sejumlah pengacara di Malaysia. Kantor
berita asing memang berpotensi bias, tetapi apakah kemudian penulisan
berita berdasarkan sumber berita yang jelas itu bakal dikonstruksikan
sebagai perbuatan melawan hukum dan mungkin menghina junta.

Putusan MA atas Time menunjukkan adanya dualisme berpikir dalam
hakim MA berkaitan dengan kasus pers. Ada hakim yang mau
mengedepankan UU Pers, tetapi ada pula hakim yang mengikuti apa kata
penggugat. Ada hakim yang berpendapat pengutipan dari sumber yang
jelas bukan perbuatan melawan hukum, tetapi ada juga yang dianggap
melawan hukum. Masalahnya kemudian, apa yang memengaruhi paradigma
berpikir itu. Apakah semata-mata karena keinginan menemukan hukum
atau hanya karena ingin membalas jasa.

Pertarungan dua mazhab berpikir di kalangan hakim harus menjadi
perhatian. Salah-salah media malah terjebak dalam pertarungan
paradigma berpikir yang bukan tak mungkin dibaliknya adalah perimanan
kekuasaan. Putusan MA terakhir ini telah membuyarkan yurisprudensi
yang belum kokoh terbangun! Pengadilan terhadap pers telah memasuki
lorong ketidakpastian baru!

Tidak ada komentar: