Sabtu, 10 November 2007

Susahnya Masuk Negeri Paman Sam





KOMPAS

Selasa, 01 Feb 2005 Halaman: 8


Budiman Tanuredjo



SUSAHNYA MASUK NEGERI PAMAN SAM


MESKI tragedi 11 September telah tiga tahun berlalu, pemerintahan
Presiden George W Bush tetap memberlakukan pemeriksaan ekstra ketat
terhadap siapa pun yang akan memasuki negaranya. Penumpang yang akan
memasuki wilayah Amerika Serikat di semua bandara internasional dan
termasuk juga penerbangan dalam negeri AS harus rela diperiksa
tubuhnya saat detektor logam memberi sinyal bunyi "tit-tit-tit".

Sepatu harus dilepas, sabuk harus dicopot, barang bawaan pribadi
seperti laptop harus dibuka dan dihidupkan. Bagasi yang akan masuk ke
pesawat harus dalam kondisi terbuka. Jika petugas kepabeanan melihat
sesuatu yang mencurigakan, ia langsung membuka dan mengacak-acak isi
koper. Jika koper dalam kondisi tertutup, petugas tak segan-segan
menjebol dan merusak koper. Itu dialami seorang wartawan Indonesia
yang diundang Departemen Luar Negeri AS melalui Kedutaan Besar AS di
Jakarta.

Keamanan dalam negeri AS menjadi hal utama bagi bangsa Amerika.
Meski Presiden Bush menekankan perlunya kebebasan saat menyampaikan
pidato pelantikannya, kebebasan sipil orang lain mungkin
dikesampingkan. Keamanan ketat tetap akan diberlakukan terhadap siapa
pun yang memasuki negara yang menyebut diri kampiun demokrasi itu.

Mempunyai visa dan bahkan status Anda sebagai tamu yang diundang,
bahkan dilengkapi dengan "surat sakti" dari pejabat kedutaan, tak
berarti Anda akan mendapat perlakuan "istimewa". Semuanya tetap sulit
memasuki wilayah AS ketika data atau naluri petugas imigrasi
mengatakan sesuatu yang berbeda. Itu yang terjadi terhadap lima dari
10 wartawan Indonesia yang diundang secara khusus oleh Departemen
Luar Negeri AS melalui Kedubes AS di Jakarta.

Pihak Kedubes AS mengundang wartawan Indonesia melakukan
kunjungan jurnalistik ke AS. Wartawan diharapkan bisa memberi
gambaran yang baik mengenai AS. Citra AS memang buruk di mata
internasional menyusul tindakan Bush menyerang Irak atas tuduhan
negara itu memiliki senjata perusak massal. Citra dan gambaran baik
mengenai masyarakat Amerika dan kebijakan luar negeri Amerika yang
ditulis wartawan diharapkan dapat memulihkan citra Amerika. Itulah
yang diharapkan pemerintahan Presiden Bush yang akan berpidato di
depan Kongres soal program 100 harinya, Kamis 3 Februari 2005.

***

HARAPAN mungkin akan menjadi tinggal harapan. Keinginan
menampilkan citra AS yang baik di mata publik dunia sering tak
sejalan dengan kebijakan keamanan dalam negeri AS. Itulah yang
dialami lima dari 10 wartawan Indonesia yang diundang sebagai tamu
Departemen Luar Negeri.

Meski mendapatkan visa dan dibekali dengan "surat sakti" Atase
Press Kedutaan Besar AS di Jakarta, Max Kwak, tertanggal 26 Januari
2005, lima wartawan itu harus menerima nasib diinterogasi khusus oleh
petugas imigrasi Bandara San Francisco, Sabtu (29/1). Selain saya,
ada empat wartawan yang terkena, Priyantono Umar (Republika),
Muhammad Lapang (Majalah Gontor), Muhammad Nurkholis Ridwan (Sabili),
dan Sapto Waluyo (Majalah Saksi).

Ketika melewati pemeriksaan imigrasi biasa, satu per satu
wartawan itu diminta datang ke sebuah tempat yang mereka
sebut "secondary office". Di ruang itulah kelima wartawan-dan
beberapa orang dari Asia lain-diinterogasi terpisah. Para wartawan
diminta mengisi formulir bertajuk National Security Entry Exit
Registration System berisi pertanyaan informasi orangtua, orang-orang
yang bisa dihubungi, riwayat pendidikan, dan pekerjaan.

Kelima wartawan itu juga ditanya tentang maksud kedatangan ke AS,
apa yang akan dilakukan, meskipun dalam surat pengantar sudah ada
penjelasan dari Max Kwak, Atase Press. Tak cukup dengan mengisi
formulir, para wartawan itu masih ditanya berbagai hal tentang data
diri mulai dari tinggi badan, berat badan, dan diminta menunjukkan
identitas lain, seperti SIM, KTP, dan bahkan kartu kredit.

Mereka juga ditanya mengapa bisa mendapat visa tipe I (visa untuk
pekerjaan jurnalistik). Pertanyaan itu tak bisa dijawab karena mereka
tak tahu mengapa Kedubes memberikan visa tipe I. Sebelum
diinterogasi, wartawan diminta bersumpah bahwa informasi yang
diberikan adalah benar dan jika terbukti tidak benar akan menerima
sanksi hukum AS.

Lebih dari satu jam interogasi dilakukan. Petugas imigrasi tak
memedulikan penjelasan wartawan, termasuk bahwa mereka harus
melanjutkan perjalanan dengan United Airline menuju Washington DC.
Mereka tetap bertanya dan bertanya. Akibatnya, perjalanan
lanjutan San Francisco-Washington pun tertunda karena pesawat telah
berangkat lebih dahulu. Lima wartawan lain, Heryanto Bagas Pratomo
(Suara Merdeka), Noor Dachliyanie Adul (Banjarmasin Post), Achmad
Basori (Pelita), Edy Priyono (Sinar Indonesia Baru), dan Parlaungan
Lubis (Serambi Indonesia) yang lolos dalam pemeriksaan imigrasi,
berangkat lebih dahulu.

Kelima wartawan yang tertinggal harus bernegosiasi sendiri dengan
maskapai penerbangan United Airline soal itu. Mereka akhirnya bisa
berangkat beberapa jam kemudian ke Washington melalui Denver.
Pemeriksaan untuk memasuki gerbang keberangkatan-sama dengan
penumpang lain-begitu ketat. Pendek kata, tak boleh ada secuil pun
logam yang memberikan sinyal bunyi "tit- tit-tit". Anda akan
digeledah sampai petugas yakin Anda aman. Jika tetap mencurigakan,
penumpang akan dimasukkan dalam ruang khusus.

Itulah yang terjadi, kelima wartawan Indonesia baru mendarat di
Bandara Washington Dulles, Minggu dini hari, ketika bandara sudah
sepi. Dingin dan salju menyergap wartawan sambil menunggu bagasi.
Namun, bagasi tak diketemukan. Pihak United Airline menjanjikan
bagasi dikirim esoknya. Bagasi memang dikirimkan keesokan harinya.
Namun, koper wartawan Republika Priyantono Umar dibuka paksa. Tak ada
penjelasan apa pun. Tak ada yang hilang memang, tetapi itu tentunya
amat merugikan.

Kejadian seperti itu sebenarnya sudah diantisipasi dan sudah
ditanyakan. Kelima wartawan yang mengalami interogasi lanjutan,
permohonan visa atas undangan itu memang sempat ditunda menunggu
clearence dari Washington.

Clearence memang diberikan pada 22 Desember 2004. Sehari sebelum
berangkat, masalah itu ditanyakan kembali kepada pihak kedubes. Para
wartawan menegaskan mereka hanya diundang dan meminta agar visa yang
diberikan Kedubes AS itu tidak lagi membawa masalah. Pihak Kedubes
mengatakan tak ada masalah dan meminta wartawan dapat memberi
gambaran bagaimana masyarakat AS dan bagaimana kebijakan luar negeri
AS. Dan, pengalaman inilah yang menjadi laporan pertama kunjungan
wartawan Indonesia yang diundang pihak Departemen Luar Negeri AS.

Salju yang menutupi Washington dan pemeriksaan imigrasi yang
merepotkan menjadi "sambutan awal" yang diterima wartawan Indonesia.
(Budiman Tanuredjo dari Washington DC)

Tidak ada komentar: