Sabtu, 10 November 2007

Perubahan UUD 1945 - Konstitusi Milik Rakyat

KOMPAS
Kamis, 10 May 2007 Halaman: 5

PERUBAHAN UUD 1945: KONSTITUSI MILIK RAKYAT

Oleh Budiman Tanuredjo

Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-
Undang Dasar 1945 yang sudah dibayangkan bakal digelar kembali
menjadi tidak pasti. Fraksi Partai Demokrat dalam suratnya, Rabu
(9/5), mencabut dukungan yang diberikan 23 anggotanya.
Sehari sebelumnya, Selasa, anggota Fraksi Partai Demokrat (F-PD)
MPR menandatangani dukungan perubahan UUD 1945. Dengan pencabutan
dukungan itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mengusung usul
perubahan konstitusi harus bekerja untuk menambah dukungan.

Padahal, surat pengusul perubahan Pasal 22D UUD 1945 sudah
disampaikan pada Pimpinan MPR. Hingga Rabu tercatat 238 pengusul.
Jumlah itu melebihi syarat minimal untuk mengusulkan perubahan UUD
1945, yakni 226 orang. Namun, hampir bersamaan, Rabu, Ketua dan
Sekretaris F-PD DPR Syarif Hassan dan Sutan Bhatoegana berkirim surat
kepada pimpinan Kelompok DPD MPR, intinya: menyatakan F-PD mencabut
dukungan perubahan UUD 1945.

DPD harus kembali berjuang untuk meraih dukungan minimal. Dengan
mundurnya F-PD, DPD masih harus mencari dukungan 11 orang lagi. Tidak
sulit, tetapi juga tidak mudah!

Penyamaan persepsi soal usul perubahan Pasal 22D UUD 1945 dalam
F-PD juga tidak mudah. Anggota F-PD yang berasal dari Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKPI), Benny K Harman, tegas menolak usulan
perubahan itu. "Saya menolak perubahan parsial," ujar dia.

Ia mengakui, perubahan UUD 1945 adalah sebuah keniscayaan
sejarah. Ia pun mengakui UUD 1945 yang empat kali diubah mengandung
sejumlah kelemahan mendasar. "Namun, mengubah secara parsial sesuai
dengan keinginan DPD tidak akan menyelesaikan persoalan," ucap dia.
Ia menyebut mengapa tak disentuh pasal soal kekuasaan kehakiman
yang problematik, mengapa tak dibahas pasal soal Komisi Yudisial yang
kehilangan ruang pengawasannya, mengapa tak dibicarakan pasal soal
penerimaan duta besar asing dengan persetujuan DPR yang menjadi satu-
satunya di dunia, mengapa tak dibicarakan pasal soal fakir miskin
dipelihara negara yangtak jelas implementasinya.

Ikatan Alumni Lembaga Ketahanan Nasional (Ikal) dalam pertemuan
dengan Pemimpin Redaksi Media Massa, Senin mengidentifikasi sepuluh
permasalahan yang perlu memperoleh perhatian sebagai prioritas
penyempurnaan UUD 1945.

Salah satu permasalahan yang diidentifikasi Ikal adalah relasi
antara Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945. Menurut kajian
Ikal, Pembukaan UUD 1945 mengandung grund norm dan staats fundamental
norm yang nilainya harus tercermin dalam batang tubuh UUD 1945. Nilai
grund norm dan staats fundamental norm itu sering dikatakan
sebagai "roh" Pembukaan UUD 1945.

Status Pembukaan UUD 1945 berbeda, misalnya dengan Pembukaan UUD
Amerika Serikat. Pembukaan Konstitusi AS yang disusun satu alinea
hanya berperan sebagai kata pengantar atau just walk in bagi batang
tubuh. Roh Konstitusi AS justru termuat pada Declaration of
Independence.

"Roh" Pembukaan UUD 1945 tersurat dalam deretan alinea dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menyangkut kemerdekaan, cita-cita pergerakan
kemerdekaan, proklamasi kemerdekaan, rumusan tugas pemerintahan
negara, dan rumusan lima sila (Pancasila) sebagai dasar
negara. "Nilai itu seharusnya menjadi acuan utama bagi desain besar
dalam penyusunan pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945," tulis Ikal
dalam buku kecil berjudul Apa Ada yang Salah dalam Perubahan UUD 1945-
Sebuah Rangsangan Berpikir.

Penurunan ideologi Pancasila dalam perumusan pasal dalam Batang
Tubuh UUD 1945 rasanya perlu terus dipikirkan. Misalnya, bagaimana
kaitan sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dalam praktis
demokrasi langsung. Di mana ruang permusyawaratan bagi rakyat?
Pasal 2 UUD 1945 menyebutkan, Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Menurut Ikal, rumusan
pasal itu tidak jelas. "Siapa yang harus melaksanakan. Dalam alur
politik praktis hanya menuntun lahirnya kesan hal itu diarahkan untuk
menggeser kekuasaan negara ke DPR," tulis Ikal lagi.

Milik rakyat

Konstitusi memang bukanlah kitab suci yang tak bisa diubah.
Namun, konstitusi juga bukanlah kumpulan pasal yang demikian mudah
untuk diubah sesuai dengan kepentingan. Konstitusi adalah kontrak
sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Konstitusi adalah milik
rakyat!

Benny mengingatkan, perubahan UUD 1945 menyangkut eksistensi
negara. Rumusan perubahan Pasal 22D yang diusung DPD substansinya
mirip dengan Pasal 127 Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(RIS). "Ini harus dipelajari betul."

Dalam sebuah diskusi bertemakan Perubahan UUD 1945 untuk Siapa?
yang diadakan Setara Institute, pekan lalu, Harry Tjan Silalahi dari
Centre for Strategic and International Studies mengusulkan dibuat
seperti badan penyelidik konstitusi untuk mempersiapkan desain UUD.
Fadjroel Rachman, mantan aktivis mahasiswa, dalam acara yang sama
mendukung usulan perubahan UUD 1945 yang progresif. Namun, ia juga
mengusulkan agar rakyat dilibatkan seperti yang dilakukan di Afrika
Selatan (Afsel).

Wakil Ketua DPD Laode Ida menyebutkan, di Indonesia belum ada
jaminan Komisi Konstitusi bisa bekerja seperti di Afsel yang punya
basis sampai ke daerah. Hasil Komisi Konstitusi tetap punya potensi
berserakan karena otoritas perubahan konstitusi ada di parlemen.
Benny mengharapkan DPD mengambil posisi untuk menyelesaikan
persoalan konstitusi secara menyeluruh, bukan parsial, dengan
melibatkan partisipasi rakyat. Jika DPD bisa menghasilkan kajian
konstitusi yang komprehensif, DPD bisa melepaskan diri dari kesan
hanya untuk menambah kekuasaannya.

Tidak ada komentar: