Senin, 19 November 2007

Dilema Hukuman Mati

KOMPAS
11 November 2007

Dilema Hukuman Mati

Mahkamah Konstitusi telah memutuskan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat.Uji materi soal hukuman mati diminta oleh terpidana kasus narkotika.

Putusan yang menyangkut hak fundamental manusia, hak hidup (right to life), itu mengundang perdebatan. Dalam sejarahnya, pemberlakuan hukuman mati selalu mengundang pro dan kontra. Indonesia satu di antara 68 negara yang masih memberlakukan hukuman mati. 129 negara menghapus hukuman mati dengan berbagai gradasi, yakni 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, 11 negara untuk kejahatan biasa, dan 30 negara melakukan moratorium penjatuhan hukuman mati.

Tidak bulatnya putusan MK mencerminkan terbelahnya pandangan masyarakat mengenai hukuman mati. Enam hakim berpendapat, keadilan pada keluarga korban harus menjadi pertimbangan ketika ada pihak yang menuntut penghapusan hukuman mati.

Gagasan mempertahankan hak untuk hidup dari pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati menjadi dilematis ketika dihadapkan pada hak untuk hidup dari mereka yang telah menjadi korban kejahatan itu. Sebaliknya, tiga hakim yang menentang hukuman mati memberikan argumen, sesuai UUD 1945, falsafah bangsa dan Kovenan Internasional hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dicabut dalam keadaan apa pun. Kekeliruan dalam praksis peradilan dalam menjatuhkan putusan juga menjadi pertimbangan.Kesesatan peradilan mewarnai perjalanan.

Pada abad ke-18, Jean Callas divonis pidana mati oleh Pengadilan Toulosse, Perancis, karena didakwa membunuh putranya. Kemudian, ternyata tuduhan itu tidak terbukti, tetapi Callas telanjur dieksekusi. Hidup manusia hanya sekali dan tak terulang. Herman Mostar dalam buku Peradilan Sesat (1983) melukiskan rentetan kisah peradilan sesat sejak 1834 hingga 1946 di seluruh dunia. Kita masih ingat kasus peradilan sesat Sengkon-Karta (1974) di Pengadilan Negeri Bekasi.

Kita menghormati putusan MK. Namun, ada pesan yang disampaikan MK, yakni perlunya harmonisasi hukum mengenai hukuman mati. Itu harus dipikirkan pemerintah dan DPR. Hukuman mati bukanlah pidana pokok, melainkan pidana khusus atau pidana alternatif. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan baik dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Atau, pemerintah melakukan moratorium hukuman mati meskipun hukuman itu masih eksis. Politik hukum itu perlu karena hukuman mati tetaplah sesuatu yang dilematis.

Hakim yang diberi kewenangan undang-undang menjatuhkan hukuman mati tetaplah manusia biasa. Sebagai manusia, ia bisa saja khilaf dan keliru. Efek publikasi akibat kejahatan yang dahsyat, tekanan pendapat umum, atau pengaruh lainnya bisa mendorong munculnya putusan yang keliru. Dalam konteks itu, hukuman mati tetaplah dilematis yang harus disikapi dengan kearifan dan kehati-hatian.

Tidak ada komentar: