Sabtu, 10 November 2007

ISU TIMTIM, DARI WASHINGTON HINGGA NEW YORK...


KOMPAS


Selasa, 15 Feb 2005 Halaman: 6


Budiman Tanuredjo


ISU TIMTIM, DARI WASHINGTON HINGGA NEW YORK...

SALJU masih belum mencair ketika wartawan Indonesia yang diundang
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tiba di gedung departemen yang
dipimpin Menteri Luar Negeri pertama berkulit hitam, Condoleezza
Rice. Udara Washington dingin. Penjagaan ketat bagi siapa pun yang
akan memasuki gedung tersebut.

Meski udara dingin, dialog dan pertanyaan panas dilontarkan atas
sejumlah kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) yang dinilai oleh
Indonesia sangatlah tidak adil dan berstandar ganda. Sejumlah isu
luar negeri, seperti kebijakan AS atas Irak, isu nuklir Iran, juga
hubungan AS-Indonesia, mendominasi diskusi-diskusi itu.

Yang mengejutkan adalah masih dominannya isu pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) yang dilakukan militer Indonesia di Timor Timur
(Timtim), yang telah menjadi negara merdeka setelah Presiden BJ
Habibie memberikan hak kepada rakyat Timtim untuk menentukan nasibnya
sendiri melalui referendum. Hasil referendum itu menunjukkan
mayoritas rakyat Timtim memutuskan menjadi negara merdeka, memisahkan
diri dari Indonesia.

Hasil referendum yang diumumkan lebih cepat oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) itu memicu kekecewaan dan aksi kekerasan di
berbagai tempat. Melalui tayangan-tayangan televisi internasional,
tampak sebagian tempat di Dili terbakar. Kantor Perwakilan PBB di
Timtim pun tak luput dari amukan massa. Sejumlah orang harus
mengungsi ke luar Dili. Di Dili sempat diberlakukan darurat militer
sebelum hadirnya pasukan internasional di kota tersebut. Militer
Indonesia dituntut bertanggung jawab atas berbagai aksi kekerasan di
Timtim pascajajak pendapat. "Masyarakat internasional dan kami
melihat banyak militer Indonesia tak berbuat sesuatu yang seharusnya
diperbuat," ujar seorang diplomat AS di Kantor PBB, New York.

Keprihatinan AS atas isu pelanggaran HAM Timtim itu selalu muncul
dalam diskusi dengan pejabat-pejabat Departemen Luar Negeri (Deplu),
staf ahli senator baik dari Partai Demokrat maupun Partai Republik,
dan juga sejumlah ahli. Isu juga menjadi perhatian utama para
diplomat AS yang bertugas di Perwakilan Tetap AS di PBB, terutama di
Dewan Keamanan PBB New York.

***

BERGABUNGNYA Timtim dengan Indonesia, yang dalam perspektif
Indonesia disebut "integrasi", namun dalam perspektif internasional
disebut "aneksasi", tak bisa dilepaskan dari restu AS. Invasi militer
Indonesia terjadi satu hari setelah Presiden Gerald Ford dan Menteri
Luar Negeri Henry Kissinger bertemu Presiden Soeharto di Jakarta,
awal Desember 1975. Tak ada keberatan apa pun dari Pemerintah AS atas
aksi itu karena aksi tersebut diyakini AS sejalan dengan pengepungan
komunisme di Asia Tenggara.

Menurut para analis politik waktu itu, Timtim berpotensi menjadi
kekuatan komunis karena kekuatan yang penuh menuntut kemerdekaan
adalah Fretilin (Revolutionary Front on Independency East Timor).
Menurut Michael Leifer dalam Indonesia Foreign Policy, Fretilin yang
menuntut kemerdekaan ini merupakan simbol kekuatan kiri di Portugal.
Sebagaimana dikatakan Leifer, yang dikutip dari buku Bambang Cipto,
Tekanan Amerika terhadap Indonesia, "Kepentingan Indonesia di Timtim
tidak mencerminkan adanya ketamakan teritorial. Ia mencerminkan
keprihatinan mendalam tentang ancaman terhadap keamanan Republik yang
muncul dari perubahan politik yang tidak pasti di wilayah tetangga."

Isu Timtim terus saja menjadi agenda PBB. PBB tak bisa
menerima "integrasi" Timtim, tetapi tetap menganggapnya
sebagai "aneksasi". Indonesia terus saja direpotkan dengan urusan-
urusan pelanggaran HAM di Timtim dan sampai puncaknya ketika saat
insiden Santa Cruz pada 12 November 1991, di mana terjadi konflik
antara militer Indonesia dan pengunjuk rasa yang mengakibatkan
sejumlah orang tewas. Video aksi kekerasan di Timtim beredar cukup
luas. Soeharto membentuk Komisi Penyelidik Nasional yang dipimpin
Hakim Agung Djaelani dan mengumumkan paling sedikit 50 orang tewas
dan 90 orang hilang. Soeharto kemudian mengganti pimpinan militer di
lingkungan Kodam Udayana. Beberapa tahun kemudian terjadi insiden
Liquisa (1995).

Tahun 1992 Pemerintah AS, atas desakan Kongres, organisasi HAM,
dan media massa AS, membekukan program IMET (International Military
Education and Training). Program itu dibekukan hingga kini.
Meski Timtim telah merdeka, Indonesia masih menanggung tuduhan
melakukan pelanggaran HAM pascajajak pendapat. Komisi Penyelidik
Pelanggaran HAM Timtim, yang diketuai Albert Hasibuan, telah
mengumumkan hasil penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran
termasuk siapa-siapa yang harus bertanggung jawab. Hasil itu
ditindaklanjuti Kejaksaan Agung dengan "mereduksi" orang-orang yang
harus bertanggung jawab.

Sejumlah petinggi militer dan sipil diadili di Pengadilan HAM Ad
Hoc. Namun, pengadilan membebaskan mayoritas orang yang diadili. Ini
menimbulkan pertanyaan dari komunitas internasional. "Bagaimana bisa
disebut adil kalau hanya satu orang Timtim yang harus bertanggung
jawab atas aksi kekerasan berskala besar itu. Ini sulit dipercaya.
PBB ingin melihat ada proses yang adil," ujar seorang diplomat AS di
PBB.

Tak jelas betul apa pengertian "adil". Apakah semua orang yang
diadili harus dihukum dan dinyatakan bersalah? Atau, ada kelemahan
sistem hukum Indonesia karena masalah pelanggaran HAM adalah barang
baru di Indonesia dan semua pihak mempunyai persepsi dan penafsiran
berbeda mengenai pelanggaran HAM, pelanggaran HAM berat, dan
pertanggungjawaban komando.

***

PERDEBATAN Timtim tak berhenti. PBB mengintrodusir Komisi Ahli
untuk memeriksa semua proses peradilan di Indonesia, termasuk
memeriksa dokumen-dokumen resmi dan tidak resmi hasil intelijen yang
merekam pembicaraan petinggi militer di Indonesia dan di Dili.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Timtim Xanana Gusmao
bersepakat membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (Truth
Commision dan Friendship) untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM di
Timtim yang bersifat sekali dan final.

Pemerintah AS, kata seorang pejabat tinggi Deplu dan diplomat-
diplomat AS di PBB, mendukung Komisi Ahli memeriksa proses peradilan
HAM di Indonesia. Komisi Ahli bentukan PBB hendaknya bisa bekerja
sama dengan Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang hingga kini belum
jelas format dan bagaimana kerjanya untuk dapat bekerja sama
menyelesaikan kasus tersebut.

Satu pesan penting yang mau disampaikan adalah kredibilitas,
akuntabilitas, dan transparansi yang harus menyertai proses Komisi
Kebenaran dan Persahabatan. Pekerjaan rumah besar memang masih akan
dihadapi Indonesia mengenai Timtim yang telah merdeka.
Kasus penembakan dua warga negara AS di Timika juga masih menjadi
ganjalan besar dalam hubungan militer AS-RI. Meski Presiden George W
Bush telah memperbaiki itu, Pemerintah Indonesia masih harus
menghadapi Kongres AS. Menuruti anggota Kongres AS, militer Indonesia
menghalangi penyelidikan menyeluruh atas kasus Timika. Tantangan
besar memang masih harus dihadapi Presiden Yudhoyono. Isu pelanggaran
HAM masih terus menjadi ganjalan. (Budiman Tanuredjo, dari New York)

Tidak ada komentar: