KOMPAS
Kamis, 23 Mar 2000 Halaman: 7
BUDIMAN TANUREDJO
AIB MENERPA WAJAH MA
MENDUNG kembali menggelayuti dunia peradilan Indonesia. Setelah
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan R Soenarto menolak
dakwaan jaksa penuntut umum dengan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra
yang kemudian dipertanyakan Bank Dunia dan masyarakat, kini sorotan
masyarakat tertuju pada lembaga peradilan tertinggi, yakni Mahkamah
Agung. Masalahnya tak main-main, pemalsuan vonis.
AIB menerpa wajah institusi yang selama ini disebutkan sebagai
benteng terakhir keadilan. Wajah MA yang babak belur karena dinilai
tidak reformis, makin gelap dengan terungkapnya pemalsuan vonis
perkara pidana yang terjadi di lingkungannya.
Praktik pemalsuan vonis diungkapkan terdakwa Kolonel (Pol/Purn)
dr Rudi Hendrawidjaja MPH saat mengadukan masalah itu kepada Ketua
Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata. Rudi mengatakan, putusan
perkara bernomor 1082 K/PID/1998 yang diputuskan 17 Maret 1999 membuat
amar putusan "menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari
pemohon kasasi: penuntut umum/jaksa pada Kejaksaan Negeri Ujungpandang."
Adanya vonis 17 Maret 1999 itu masih dikuatkan oleh secarik surat
berisi tulisan tangan dari Ny Wiwiek, Kepala Sub Direktorat Kasasi dan
Peninjauan Kembali MA. Surat tertanggal 25 Mei 1999, itu bertuliskan,
T: Dr Rudy Hendra W dkk, No 1082 K/Pid/98, Pts: 17-3-99, amar:
menyatakan permohonan kasasi jaksa tidak dpt diterima.
Rudi juga mempunyai fotokopi "Sidang Ucapan Perkara Kasasi
Pidana", hari Rabu, 17 Maret 1999, Pukul 10.00, Tim A". Surat itu
berisi daftar perkara kasasi yang telah diputuskan majelis hakim Tim
A. Dari 16 perkara yang diputuskan, perkara dr Rudi tertera dalam
nomor 14 yang amarnya NO (Niet-ontvankelijk=tidak dapat diterima).
Namun, pada bulan November 1999, Rudi terkejut ketika bunyi amar
putusan telah berubah dari amar putusan awal "tidak dapat menerima
permohonan kasasi" menjadi "permohonan kasasi jaksa dikabulkan".
Rudi menduga, salah seorang hakim agung yang memutus perkara itu
telah mengubah amar putusan.
Mana yang asli atau mana yang palsu, belum jelas benar. Namun,
salah seorang hakim agung HP Panggabean menuding putusan 17 Maret 1999
adalah putusan palsu. "Putusan yang menolak kasasi Rudi adalah putusan
palsu," kata Panggabean yang memutuskan perkara bersama Sarwata (Ketua
MA) dan Paulus Effendi Lotulung.
Kuasa hukum saksi pelapor yang melaporkan Rudi ke kepolisian, ZA
Salehtompo kepada Kompas juga menyebutkan, pada bulan Maret 1999 belum
ada putusan atas nama terdakwa Rudi. Saleh pun menunjukkan lembaran
hasil print-out Pelayanan 121 Mahkamah Agung. Saleh rajin memonitor
perjalanan perkara dengan terdakwa Rudi melalui mekanisme "Pelayanan
121 MA". Pelayanan 121 ini merupakan fasilitas yang diberikan MA
kepada pencari keadilan yang ingin mengetahui keberadaan sebuah
perkara di MA.
Saleh memonitor perjalanan perkara sejak 11 November 1998. Pada
15 Maret 1999 baru diketahui susunan majelis Sarwata, Paulus EL, HP
Panggabean dan panitera pengganti IGA Sumanatha. Pada tanggal 13 April
1999 belum diketahui amar putusan kasus tersebut. Begitu juga pencekan
pada 11 Mei 1999 dan 3 November 1999. Baru pada pencekan tanggal 2
Desember 1999 tertera, pada tanggal 16 November 1999, amar singkat
kabul (artinya kasasi dikabulkan).
"Jadi, menurut saya, putusan bulan Maret itu palsu. Dan saya
yakin, majelis hakim agung tidak tahu soal vonis bulan Maret," ujar
Saleh yang datang ke redaksi Kompas hari Rabu (22/3). Ketika ditanya
apakah dirinya sudah menerima salinan putusan asli tertanggal 16
November 1999, Saleh mengatakan, "Saya belum terima. Itu masih
diproses di MA."
HP Panggabean merasa sedih dengan terjadinya pemalsuan vonis itu.
"Saya sedih, pasti ada orang MA yang terlibat membuat putusan palsu
itu," ujar Panggabean, yang sangat yakin putusan 17 Maret 1999 adalah
palsu.
Alasan putusan 17 Maret 1999 palsu, menurut Panggabean, putusan
itu diketik menggunakan kertas surat berkop MA. Setiap lembar salinan
yang diserahkan kepada masing-masing pihak juga diberi cap MA.
Panggabean yakin, yang melakukan pemalsuan adalah pegawai MA.
Menurut pengamatan Kompas, dalam salinan putusan setebal 24
halaman pada halaman muka memang tertera kop "Mahkamah Agung RI Jl
Mer-deka Utara No 9-13". Dalam lembar-lembar berikutnya memang tidak
ada cap MA. Hanya pada halaman terakhir tertera kalimat: Untuk
salinan, Mahkamah Agung RI, Kepala Direktorat Pidana Djoko Sarwoko.
Tertera tanda tangan Djoko Sarwoko dan cap. Namun, Djoko mengaku tidak
pernah menandatangani putusan 17 Maret 1999.
***
MANA vonis yang asli, apakah vonis 17 Maret 1999 atau vonis 16
November 1999, itu masih diproses MA, belum jelas benar. Bagi MA,
peristiwa pemalsuan vonis bukan sekali ini saja terjadi. "Kalau saya
sih tidak kaget dengan berita vonis palsu. Hanya satu atau dua saja
yang terungkap, yang lain mungkin masih ada," ujar praktisi hukum
Luhut MP Pangaribuan kepada Kompas.
Memang kasus pemalsuan vonis MA bukanlah yang pertama kali
terjadi. Sebelumnya, vonis palsu terjadi dalam kasus penyelundupan
rotan dengan terdakwa Tony Guritman. Oleh majelis hakim PN Surabaya,
Tony divonis bebas. Kemudian jaksa mengajukan kasasi. Pu-tusan hakim
agung Adi Andojo Soetjipto, 21 Maret 1990, menerima kasasi jaksa dan
membatalkan putusan bebas.
Namun, dalam perjalanannya, vonis yang dijatuhkan Adi Andojo itu
"disulap" menjadi seakan mendukung putusan PN Surabaya yang
membebaskan Tony. Setelah dilakukan pengusutan, dua pegawai di MA,
Abdul Nasser dan kawan-kawan, diadili atas perbuatannya memalsu isi
putusan.
"Praktik pemalsuan vonis menunjukkan adanya masalah serius di
dalam tubuh Mahkamah Agung," ujar Pangaribuan. Ia juga bertanya-tanya
mengapa seorang pegawai MA-katakanlah benar seperti dikatakan HP
Panggabean-berani melakukan tindakan tercela. "Keberanian itu tumbuh
karena mereka (pegawai) juga melihat apa yang sebenarnya yang terjadi
di kalangan hakim agung," ujar Pangaribuan.
Perjalanan perkara di dalam MA memang begitu panjang. Menurut
penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sosial (LPPIS)
Universitas Indonesia, terdapat 25 langkah sebuah perkara sampai ke
putusan. Penelitian yang dilakukan tahun 1992 itu telah
merekomendasikan pemangkasan tahap perkara dari 25 menjadi 14 langkah
saja. Akibat panjangnya perjalanan perkara, demikian LPPIS, membuat
lubang-lubang bocornya putusan MA serta membuka kemungkinan pemalsuan
vonis MA bisa terjadi.
Bagi Pangaribuan, memang perlu ada pembenahan menyeluruh terhadap
Mahkamah Agung, termasuk pembenahan manajemen perkara di MA. Terjadinya
praktik pemalsuan vonis, demikian Pangaribuan, jelas telah menyangkut
moral dari orang-orang yang berada di MA.
"Pemalsuan putusan tak bisa dimaafkan. Kita harus ingat putusan
ini terjadi di institusi tertinggi yang selama ini disebut benteng
terakhir keadilan. Polri harus segera masuk melakukan pemeriksaan,"
kata Pangaribuan.
Dalam kasus ini, kata Pangaribuan lagi, tak ada imunitas MA untuk
menolak masuknya penyidik Polri. "Itu pidana umum, penyidik Polri
harus masuk. Penyidikan perkara pemalsuan vonis itu tidak ada kaitannya
dengan perkara," kata Pangaribuan.
MA juga harus membuka diri untuk mempersilakan penyidik Polri
masuk, untuk memeriksa terjadinya pemalsuan vonis. Bahkan hakim agung
HP Panggabean telah begitu yakin bahwa pegawai MA-lah terlibat dalam
pemutusan perkara tersebut.
Pangaribuan berpendapat, pengungkapan kasus vonis palsu-siapa pun
yang terlibat-harus diselesaikan secara transparan. Terlebih, vonis
yang dipalsukan merupakan vonis yang dibuat Ketua MA Sarwata, Paulus
Effendi Lotulung, dan HP Panggabean.
Seperti dikatakan Ketua Ombudsman Nasional Antonius Sujata,
peristiwa ini akan menimbulkan guncangan besar dalam dunia peradilan
karena menyangkut nama-nama yang kini berada di puncak pimpinan MA.
Terungkapnya kasus vonis palsu, sedikit banyak bisa memperbaiki wajah
MA yang belakangan agak babak belur. "Kasus ini tak bisa dilokalisir
karena risikonya terlalu besar," tambah Pangaribuan.
Mendung memang sedang menggelayuti Mahkamah Agung.
Sabtu, 17 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar