Sabtu, 10 November 2007

ISU PELANGGARAN HAM TETAP JADI GANJALAN


KOMPAS

Rabu, 02 Feb 2005 Halaman: 8


Budiman Tanuredjo


ISU PELANGGARAN HAM TETAP JADI GANJALAN


Sebagian kecil anggota Kongres Amerika Serikat dan organisasi hak
asasi manusia masih mempersoalkan berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan militer Indonesia sebagai prasyarat dipulihkannya bantuan
militer AS terhadap Indonesia. Peristiwa tertembaknya Ted Burcon dan
Ricky Spear (keduanya warga AS) di Timika pada 31 Agustus 2002 serta
seorang warga negara Indonesia, FX Bambang Riwanto, masih menjadi
ganjalan dalam proses pemulihan bantuan militer AS ke Indonesia.
"Mereka masih menuntut adanya penyelesaian kasus Timika
tersebut," kata Alphonse F La Porta, Presiden The United States-
Indonesian Society, kepada rombongan wartawan Indonesia di Washington
DC, Amerika Serikat (AS), Senin (31/1).

La Porta sependapat, hubungan antara Pemerintah Indonesia
dan pemerintahan Presiden George W Bush relatif lebih baik
dalam proses pemulihan bantuan militer AS ke
Pemerintah Indonesia. Namun diakuinya, ada masalah dalam hubungan
Pemerintah Indonesia dengan Kongres AS. Ia juga menjelaskan,
kebijakan luar negeri AS tidak hanya ditentukan oleh eksekutif,
tetapi juga oleh Kongres dan kelompok kepentingan lainnya.

La Porta menyambut baik rencana Menteri Pertahanan Juwono
Sudarsono untuk melobi anggota Senat AS dan rencana Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menunjuk mantan Presiden BJ Habibie melobi Kongres
AS untuk masalah tersebut. La Porta yang pernah bertugas di Medan,
Sumatera Utara, mengakui bahwa TNI telah melakukan reformasi yang
ditandai dengan berakhirnya dwifungsi TNI dan penataan kembali
pengadilan militer di bawah Mahkamah Agung. Namun, upaya pemulihan
bantuan militer itu terganjal sekitar 100 persen anggota Kongres yang
masih mempersoalkan masalah itu. Bantuan militer AS kepada Pemerintah
Indonesia dicabut setelah terjadinya tindak kekerasan militer di
Indonesia pada 12 November 1992 di Timor Timur (Timtim).

Bara Hasibuan, yang pernah mengikuti fellowship di Kongres AS,
dalam percakapan dengan Kompas mengakui bahwa janda dari warga negara
AS yang tertembak di Timika itu terus melobi dan mendesak anggota
Kongres dari Virginia, tempat warga AS yang tertembak itu berasal,
untuk menentang proses pemulihan bantuan militer ke Indonesia.
La Porta, sebagaimana dilaporkan wartawan Kompas Budiman
Tanuredjo dari Washington semalam, mengakui bahwa sebagian publik di
AS juga masih mempersoalkan penanganan kasus pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) di Timtim. Ia mengakui kesepakatan antara Presiden
Timtim Xanana Gusmao dan Presiden Yudhoyono untuk membentuk Komisi
Kebenaran dan Persahabatan merupakan langkah yang baik untuk
menanggapi rencana Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Komisi Ahli
guna menyelidiki kasus pelanggaran HAM Timtim. Namun masalahnya
adalah bagaimana Komisi Kebenaran dan Persahabatan itu bisa bekerja
secara kredibel dan independen.

La Porta menjelaskan, pembicaraan secara terbuka antara pihak
Pemerintah Indonesia dan anggota Kongres AS akan sangat membantu
untuk memberikan pengertian terhadap anggota Kongres dan organisasi
HAM mengenai masalah HAM tersebut.

Sementara itu, mengenai gerakan separatisme di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD), La Porta mengatakan, Washington mempunyai
sikap politik yang jelas dan tidak menginginkan NAD lepas dari
Indonesia. Karena itu, Pemerintah AS menyambut baik perundingan
antara Pemerintah Indonesia dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
di Helsinki, Filandia.
Selain soal isu pelanggaran HAM, masalah korupsi juga menjadi
perhatian publik AS.

Ditanya bagaimana sikap Washington terhadap pemeriksaan sejumlah
pejabat Monsanto yang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
atas tuduhan memberikan sejumlah uang kepada 140 pejabat Indonesia,
La Porta mendukung penyelesaian kasus Monsanto. Namun, yang masih
menjadi masalah dan menjadi pertanyaan adalah jika informasi akan
diberikan, lembaga Indonesia mana yang memang betul-betul bisa
dipercaya untuk mengelola informasi tersebut.

Akan tetapi, La Porta mengakui tidak mengetahui secara persis
soal adanya larangan atau aturan yang membuat Monsanto tidak bisa
memberikan sejumlah nama pejabat Indonesia yang telah menerima uang
dari Monsanto untuk penanaman kapas transgenik di Indonesia.
Sebagaimana diberitakan, KPK tengah menyelidiki adanya suap yang
diberikan pejabat Monsanto kepada pejabat dan keluarga pejabat
Indonesia untuk mempermudah keluarnya izin penanaman kapas transgenik.

Berkenaan dengan "tertahannya" lima wartawan Indonesia di Bandar
Udara San Francisco dan harus diinterogasi secara khusus oleh pejabat
di bawah Department of Homeland Security, pejabat Departemen Luar
Negeri AS yang menjadi penanggung jawab Foreign Press Center dan
mengatur kunjungan wartawan Indonesia ke AS meminta maaf atas
kejadian yang tidak mengenakkan tersebut. *

Tidak ada komentar: