Sabtu, 17 November 2007

Seleksi Pejabat Publik, Republik Pansel

KOMPAS
Sabtu, 17 November 2007

Budiman Tanuredjo

Seleksi Pejabat
Republik Pansel


”...Mungkin Indonesia satu-satunya negara di muka bumi yang paling banyak berpansel ria dalam mengatur kehidupan bernegara sehingga wajar disebut Republik Pansel dan kalau dipelesetkan sebagai Republik Parsel....

”Pesan singkat tersebut dikirim Kamal Firdaus, praktisi hukum di Yogyakarta, beberapa saat setelah komisioner Komisi Yudisial Irawady Joenoes ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia mengirimkan pesan singkat tersebut ke sejumlah orang, termasuk anggota DPR, yang kemudian ada yang ”menjual” idenya kepada pers.

Kamal memang tampak geram dengan berbagai pansel—akronim dari panitia seleksi—yang bertugas merekrut komisioner atau pejabat publik. ”Kita sudah kebablasan, membentuk pansel-panselan tetapi hasilnya tak jauh lebih baik,” ucapnya dalam percakapan kemudian dengan Kompas melalui telepon, 15 Januari 2007.
Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke era reformasi memang telah mengubah sejumlah hal. Selain rakyat kembali berdaulat dalam memilih pemimpinnya, sistem perekrutan pejabat publik pun memberikan peran serta lebih kepada masyarakat. Sistem perekrutan yang pada era Orde Baru—dengan segala instrumen yang dimilikinya—dilakukan tersentral, pada era reformasi mulai menyebar. Itulah yang disebut panitia seleksi yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden.

Seleksi anggota-anggota komisi negara (state auxiliary body)— yang juga menjadi ciri era reformasi—dilakukan oleh panitia seleksi. Masyarakat sipil bersama dengan pejabat pemerintah dilibatkan untuk menyeleksi calon- calon komisioner. Hasil seleksi diserahkan kepada presiden yang membentuknya. Dana untuk menyeleksi komisioner atau pejabat publik menjadi mahal. Sebut saja, biaya yang dikeluarkan untuk menyeleksi calon anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi—yang tak jadi terbentuk—mencapai Rp 6,8 miliar (Kompas, 22/11). Seleksi biaya untuk KPK tahap pertama memakan biaya Rp 4,7 miliar.

Di Indonesia, proses seleksi kadang dilakukan bertingkat. Sebut saja, perekrutan hakim agung. Dalam UUD 1945, perekrutan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial. Sedangkan perekrutan Komisi Yudisial diawali dengan seleksi oleh panitia seleksi yang kemudian diserahkan kepada DPR. Hasil seleksi hakim agung oleh Komisi Yudisial pun diserahkan kepada DPR untuk dipilih.Namun, belakangan proses seleksi dari panitia seleksi itu mendapat gugatan. Tertangkapnya komisioner Komisi Yudisial Irawady Joenoes oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lolosnya calon anggota KPU Syamsulbahri yang berstatus tersangka menjadi bukti yang valid untuk mempersoalkan eksistensi panitia seleksi.

Kamal Firdaus secara tegas menolak segala model panitia seleksi. ”Mandat presiden yang dipilih langsung oleh rakyat telah dikebiri oleh pansel,” ucapnya. Ia mempertanyakan pertanggungjawaban panitia seleksi saat meloloskan Syamsulbahri dan tertangkapnya Irawady Joenoes. ”Kan, mereka telah bubar, bagaimana meminta pertanggungjawabannya,” ujar dia.
Meniru seleksi hakim agung di Amerika Serikat, Kamal menegaskan, untuk seleksi hakim agung, pimpinan KPK, anggota Komnas HAM, dan anggota Komisi Yudisial mestinya menjadi hak prerogatif presiden sepenuhnya dengan persetujuan DPR. ”Tidak pakai pansel-panselan segala macam. Sehingga, kegagalan masing-masing lembaga tetap menjadi beban tanggung jawab presiden yang yang menjadi bahan penilaian rakyat terhadap sang presiden selama ia memangku jabatannya,” kata Kamal yang juga meragukan integritas anggota panitia seleksi saat menyeleksi calon-calon komisioner. ”Kalau mereka ikut seleksi, belum tentu juga bisa lolos,” ucapnya.


Adalah sebuah kenyataan, Ketua Panitia Calon Seleksi Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) justru tersangkut kasus korupsi dan mendekam di penjara. Sedangkan hasil seleksinya tidak dilanjutkan prosesnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU KKR bertentangan dengan UUD 1945.Cegah sentralisasiBagi anggota Komisi III DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat), gagasan seleksi pejabat negara melalui panitia seleksi adalah gagasan yang baik. Langkah itu untuk mencegah sentralisasi kekuasaan di tangan presiden.
”Hanya masalahnya hasil seleksi dari panitia seleksi memang tidak lebih baik daripada mekanisme sebelumnya,” kata Benny.Kalau hasilnya memang berkualitas, kata Benny, seharusnya dalam memilih DPR tak harus menemui kesulitan. ”DPR hanya memilih berdasarkan preferensi ideologis atau politis saja. Namun, kenyataannya, tidak demikian,” katanya.

Ia tidak sependapat dengan Kamal tentang tidak diperlukannya panitia seleksi. Panitia seleksi tetap diperlukan hanya metode seleksinya yang harus diperbaiki. ”Tak mungkin menelusuri integritas seseorang hanya dengan tes psikologi atau membuat makalah,” ucapnya.Artinya, panitia seleksi harus benar-benar turun ke bawah, bertemu dengan masyarakat tempat di mana si calon pernah tinggal dan berkarya. Bertemu dengan tetangga tempat tinggal di calon. ”Jadi harus ada penelusuran yang lebih maksimal soal rekam jejak calon,” ucapnya.Hasil seleksi yang diajukan panitia seleksi, menurut Benny, juga tidak otomatis diterima presiden karena yang bertanggung jawab secara politis adalah presiden. ”Karena panitia seleksi dibentuk presiden, dan hasilnya diserahkan kepada presiden, maka presidenlah yang bertanggung jawab,” ucapnya.

Mas Achmad Santosa, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang telah ikut dalam tiga panitia seleksi, juga berpendapat bahwa presiden memang sebagai pihak yang bertanggung jawab. ”Jadi, sebelum meneruskan hasil panitia seleksi, presiden harus melakukan cek ulang terhadap kerja panitia seleksi,” katanya.

Santosa yang telah ikut menyeleksi anggota Komisi Kejaksaan, KPK, dan Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengakui bahwa di Indonesia tak mempunyai instrumen untuk mengukur integritas seseorang. ”Ini memang yang jadi kekurangan kita,” katanya.Soal kualitas calon yang diusulkan panitia seleksi, menurut Santosa, tidak seluruhnya jelek. ”Kan ada juga yang baik,” ujarnya.

Ia menyebutkan, kalaupun hasilnya dinilai kurang oleh publik adalah karena itulah kondisi sumber daya manusia yang ada.Ia mengatakan, dengan sistem perekrutan terbuka melalui iklan memang tak terhindarkan melamarnya para pencari kerja. Jadi, menurut Santosa, diperlukan juga langkah-langkah proaktif sehingga tak sekadar mengandalkan pengumuman di koran. ”Tetapi langkah proaktif itu kadang berbenturan dengan etika,” ucapnya.

Ia mengakui memang ada kelemahan dalam proses seleksi calon-calon komisioner atau pejabat publik. Namun, itu tidak berarti harus mengakhiri praktik panitia seleksi. ”Yang kita tak punya adalah instrumen untuk mengukur integritas seseorang,” ujarnya. Ditanya bagaimana pendapatnya soal diloloskannya Syamsulbahri, Santosa mengatakan, itu adalah bukti ketidakcermatan dari panitia seleksi.

Bagi Santosa, dari sisi pertanggungjawaban publik, proses seleksi melalui panitia seleksi sudah demikian terbuka. ”Semua orang tahu apa yang dikerjakan, siapa konsultannya, berapa biayanya. Semua orang bisa memonitornya. Berbeda dengan sistem seleksi yang tertutup,” kata dia yang menolak keinginan untuk mengakhiri pembentukan panitia seleksi.Soal tanggung jawab politik, menurut Santosa, memang tetap berada pada presiden. ”Kita dibentuk presiden, menyerahkan hasilnya kepada presiden. Dan presidenlah yang bertanggung jawab,” katanya menyarankan agar presiden juga mempunyai instrumen untuk cek ulang terhadap hasil panitia seleksi.

Melihat realitas yang ada, Santosa memikirkan, perlunya duduk bersama dari semua pemangku kepentingan untuk membicarakan soal mekanisme seleksi pejabat publik. Langkah itu perlu untuk menutup celah berbagai kelemahan dari panitia seleksi saat melakukan seleksi.

Tidak ada komentar: