Sabtu, 17 November 2007

Sebuah Cermin untuk Mahkamah Agung

KOMPAS

Sabtu, 05 Feb 2000 Halaman: 7

BUDIMAN TANUREDJO


SEBUAH CERMIN UNTUK MAHKAMAH AGUNG

SITUASI telah berubah. AM Fatwa yang pada tahun 1984 dijatuhi
hukuman 18 tahun penjara atas kasus subversi, kini telah menjadi
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebuah jabatan di lingkup
legislatif yang cukup tinggi.

Kekuasaan legislatif memang telah berubah total. Model catur
fraksi (Golkar, PPP, PDI dan TNI/Polri) yang selama 32 tahun
dipertahankan rezim Orde Baru, kini menjadi multifraksi. Jabatan
Ketua MPR dan Ketua DPR pun telah dipisahkan.

Penguasa Orde Baru Soeharto, yang pada masa jayanya sangat
ditakuti dan disegani pun, secara mengejutkan di-lengser-kan. Gerakan
mahasiswa dan masyarakat telah memaksa Soeharto untuk mundur dari
jabatannya. Posisinya dialihkan kepada BJ Habibie, dimana selanjutnya
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden ke-4 Republik
Indonesia.

Ketika pucuk kekuasaan eksekutif dan legislatif telah bergeser,
kekuasaan yudikatif sama sekali tak tersentuh. Beberapa petinggi
Mahkamah Agung (MA) yang selama ini berjasa mengamankan kebijakan
Orde Baru, tetap bercokol pada posisinya. Sebut saja Ketua MA Sarwata;
dalam kariernya, Sarwata bersama hakim majelis lainnya pernah menerima
permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kejaksaan Agung dalam
kasus aktivis buruh Muchtar Pakpahan. Padahal, seharusnya putusan itu
sudah final, karena menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Peninjauan Kembali hanya boleh diajukan oleh terhukum atau
ahli warisnya. Sarwata juga membatalkan putusan Asikin Kusumaatmadja
dalam kasus Kedungombo serta membatalkan putusan Benjamin
Mangkoedilaga dalam kasus Tempo.

Angin reformasi tak menyentuh gedung Mahkamah Agung yang letaknya
tak jauh dari Istana Negara di bilangan Medan Merdeka Utara itu.
Mahkamah Agung yang selama ini disebut-sebut sebagai benteng terakhir
pencari keadilan menjadi satu-satunya lembaga tinggi negara yang belum
tersentuh reformasi. Meski demikian Sekjen MA Pranowo membantah kalau
dikatakan MA tidak reformis. Ia mengatakan, MA mandiri.

Reformasi yang telah me-lengser-kan Soeharto jelas tidak berdasar
pada hukum positif. Jika hukum positif tetap dijadikan alasan,
Soeharto boleh jadi akan masih berkuasa. Atau, BJ Habibie yang masih
menjadi presiden. Ketetapan MPR yang mengangkat Soeharto sebagai
presiden masih berlaku dan belum dicabut. Dalam situasi yang tidak
normal seperti itu, hukum positif memang telah dikesampingkan.

***

CITRA kekuasaan peradilan selama ini amat buruk. Isu mafia
peradilan, jual beli perkara, jual beli putusan, masih saja
menghantui. Asas keadilan dan kepastian hukum, terabaikan. Yang
terjadi, bagaimana hakim mengamankan kebijakan-kebijakan pembangunan
yang dilakukan penguasa. Lembaga peradilan dipandang sebagai instrumen
kekuasaan.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Kompas terhadap pemilik
telepon di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Pekanbaru, Lampung,
Samarinda, Banjarmasin, Pontianak, Manado, Makassar, Denpasar, dan
Jayapura tanggal 21-23 Januari 2000 menunjukkan, 69,5 persen
masyarakat tidak puas terhadap hakim, sebanyak 27,2 persen menyatakan
puas, dan 3,3 persen menyatakan tidak tahu.

Bicara soal ketidakpercayaan masyarakat pada peradilan, hakim
agung Prof Dr Paulus Effendi Lotulung sebagaimana dikutip Kompas
(12/12/1999) berpendapat, ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga
peradilan menyangkut faktor di luar pengadilan. Apakah itu pengaruh
eksekutif atau pengaruh dari para pihak yang berperkara. Atau juga
tekanan masyarakat.

Besarnya ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga peradilan
inilah yang kemudian menginspirasi Presiden Abdurrahman Wahid untuk
mengusulkan Benjamin Mangkoedilaga sebagai Ketua MA. Usulan Gus Dur
harus dipahami dalam konteks sosial politik yang ditandai makin
meluasnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi hukum. Namun,
usulan Benjamin itu terkendala dengan apa yang disebut petinggi MA,
sebagai hukum positif. MA pun seakan khawatir kehilangan kekuasaan.
Mereka pun pasang kuda-kuda untuk mencegah masuknya orang luar ke MA.

Dari mana mereformasi lembaga peradilan harus dimulai, ahli
politik dari Amerika Serikat Daniel S Lev mengusulkan agar semua hakim
agung dipensiunkan, kemudian diganti yang baru. Namun, usulan itu
meski banyak mendapat dukungan, dianggap terlalu radikal dan
revolusioner.

Hakim agung Lotulung melihat, sejumlah negara memang pernah
melakukan apa yang dikatakan Lev. "Akan tetapi, kita harus obyektif
melihat masing-masing negara, apakah di Indonesia keadaan sudah
sedemikian gawatnya," kata Lotulung.

Usulan Gur Dur untuk mendudukkan Benjamin (unsur dari luar MA)
sebagai Ketua MA sebenarnya merupakan jalan tengah guna memperbaiki
kinerja Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, serta memulihkan
kepercayaan masyarakat pada peradilan. Namun, ada juga pandangan
membenahi MA harus dengan memperbaiki sistem perundang-undangan,
bukan sekadar mengganti orang.

Itu semuanya berarti, upaya untuk mendudukkan Benjamin
sebagai Ketua MA tetap harus diikuti dengan perubahan sistem dan
perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman. Seluruh
undang-undang yang ada sekarang adalah hukum produk sistem politik
otoriter yang pada dasarnya tidak menginginkan MA tumbuh sebagai
institusi yang otonom terhadap kekuasaan pemerintah. Itu bisa dipahami
karena mereka yang sekarang menjadi hakim agung adalah hakim-hakim
karier yang telah berprestasi menjaga kepentingan status quo.

Kinerja MA selama ini hanya terfokus untuk menyelesaikan tunggakan
perkara yang terus saja menggunung. Padahal, tugas konstitusional MA
bukan hanya memeriksa perkara, tetapi juga memberikan pertimbangan
hukum baik diminta maupun tidak diminta kepada lembaga tinggi negara.
Namun, sejauh yang terpantau, MA baru dua kali memberikan pertimbangan
hukum, yaitu ketika memberikan pertimbangan hukum soal boleh tidaknya
menteri berkampanye, serta masalah boleh tidaknya hasil audit
PricewaterhouseCooppers dibuka kepada publik.

Prestasi MA juga ditandai dengan lahirnya "surat sakti" yang
selama ini tetap kontroversial dan tak kunjung terselesaikan. Surat
saksi Ketua MA Soerjono dalam kasus tanah Hanoch Hebe Ohee menjadi
sebuah "cacat sejarah" yang dibuat Mahkamah Agung.

Apa pun alasannya, reformasi di tubuh MA memang harus dilakukan
karena itu akan menyangkut sektor-sektor lainnya. Untuk itu,
kerja-kerja politik harus dilakukan. Usulan Gus Dur untuk menempatkan
Benjamin harus dilihat sebagai kemauan politik presiden yang masih
perlu ditindaklanjuti dengan kerja parlemen. Keinginan mereformasi MA
tidak bisa dilakukan hanya dengan berdebat gagasan atau adu wacana,
melainkan dengan kerja politik dan hukum yang lebih konkret dan pasti.
Selanjutnya, itu semua berpulang pada pemerintah dan DPR yang selama
ini menjadi mesin untuk melakukan kerja-kerja politik itu.

Tidak ada komentar: