Kamis, 29 November 2007

Mencari Demokrasi

KOMPAS
29 November 2007 Halaman 32

Budiman Tanuredjo

Sistem Politik
Mencari Demokrasi

...di semua negeri modern itu kapitalisme subur dan meradjalela! Disemua negeri modern itu kaum proletar ditindas hidupnya. Disemua negeri modern itu kini hidup miljunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro,-disemua negeri modern itu rakjat tidak selamat, bahkan sengsara-sengsaranya.
Inikah hatsilnya ”demokrasi jang dikeramatkan orang.”

Amboi,--parlemen! Tiap-tiap kaum proletar kini bisa ikut memilih wakil kedalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini bisa ”ikut memerintah”! Ja, tiap-tiap kaum proletar kini, kalau dia mau, bisa mengusir minister, mendjatuhkan minister itu terpelanting daripada kursinja. Tetapi pada saat jang ia bisa menjadi ”radja” diparlemen itu, pada saat itu djuga ia bisa sendiri bisa diusir dari paberik dimana ia bekerdja dengan upah kokoro-dilemparkan diatas jalan, menjadi orang pengangguran.Inikah ”demokrasi” jang dikeramatkan itu?
Ir Soekarno, ”Di Bawah Bendera Revolusi” (1965), halaman 172-173


Demokrasi (tanpa kata sifat) kembali menjadi perdebatan dalam politik Indonesia. Adalah Ketua Umum Partai Golkar Muhammad Jusuf Kalla yang memancing perdebatan publik soal demokrasi.

Saat menutup Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, Jusuf Kalla mengemukakan, demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat. ”Demokrasi harus membawa manfaat. Sebab itu cara (demokrasi) bisa berubah, tetapi tujuan tidak!” ujar Kalla (Kompas, 26/11/2007).

Pernyataan Kalla itu memicu kritik karena dianggap membahayakan kelangsungan demokrasi Indonesia. Apa yang dikatakan Kalla itu dapat dibaca sebagai ketidakpercayaan pemimpin Indonesia atas demokrasi. Bahkan, ada pula tudingan pikiran itu sebagai inti otoritarianisme Partai Golkar. Namun, bagi sosiolog Kastorius Sinaga dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, Rabu (28/11), pernyataan Kalla hanyalah sebagai respons atas dinamika internal Partai Golkar soal polarisasi pro-konvensi dan anti-konvensi.

Diskursus soal demokrasi sebenarnya terus mengiringi perjalanan bangsa Indonesia. Dalam kumpulan buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menolak demokrasi model Barat. Soekarno menulis, demokrasi politik sahaja, belumlah menjelamatkan rakjat. Kaum nasionalis Indonesia tidak mengeramatkan ”demokrasi” jang demikian itu. ”Nasionalisme kita haruslah nasionalisme jang tidak mentjari gebjarnja atau kilaunja sahadja, tetapi ia haruslah mentjari selamat semua manusia.”

Saat memimpin Soekarno kemudian mengintrodusir Demokrasi Terpimpin (1959-1966) sebagai koreksi atas Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1950-1959) yang dinilainya kebablasan. Soeharto kemudian memperkenalkan Demokrasi Pancasila (1967-1998). Bagi Kastorius Sinaga, dalam perjalanan sejarah demokrasi—yang merupakan konsep Barat—tidak diterapkan secara murni di Indonesia. Ada penyesuaian dari kekuatan politik yang berkuasa. Soeharto memperkenalkan Demokrasi Pancasila dengan segala motif kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan memang mempunyai keleluasaan untuk memberikan tafsir mengenai demokrasi.

Demokrasi dan konstitusiDemokrasi bukanlah kata asli Indonesia. Bahkan, dalam dokumen resmi Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945—yang merupakan kontrak sosial bangsa—tak tercantum satu patah kata pun mengenai demokrasi. Kata demokrasi—dalam bentuk kata sifat—baru muncul dalam dua pasal Perubahan UUD 1945. Itu tertuang dalam Pasal 18 Ayat 4 yang berbunyi: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Tak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan dipilih secara demokratis.

Jika menggunakan analogi pemilihan presiden pada Pasal 6A Perubahan UUD 1945 disebut, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Apakah itu berarti demokratis sama artinya dipilih secara langsung oleh rakyat?Pasal lainnya adalah Pasal 28J Ayat 2 Perubahan UUD 1945. Dalam pasal itu disebutkan, Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Tak ada juga penjelasan apa itu masyarakat yang demokratis.

Mengenai bentuk negara, Pasal 1 (1) UUD 1945 menegaskan, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, dan (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, serta (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Dalam tafsiran Kastorius Sinaga, demokirasi Indonesia adalah Demokrasi Konstitusional dan tujuan bernegara dikembalikan kepada Pembukaan UUD 1945. Itu berarti, konstitusi menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Politisi senior Abdul Madjid dalam perayaan ulang tahun ke-90 di Jakarta beberapa waktu lalu mengajak elite politik untuk kembali pada lima tujuan kemerdekaan Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Kelima tujuan itu adalah menghapuskan penjajahan di atas dunia; melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ia mengajak agar lima tujuan kemerdekaan sebagai tertera dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan sebagai tujuan pemerintah yang berkuasa di Indonesia, siapa pun itu. Namun, kenyataannya, saat ini, presiden menetapkan visi dan misinya sendiri yang disampaikan dalam kampanye.

Kegamangan

Bagi Kastorius, sebagian elite politik—dalam pernyataan politiknya—terlihat mulai gamang dengan sistem demokrasi yang dihayatinya hanyalah prosedur politik yang melelahkan dan memakan biaya mahal. Dukungan terhadap sistem politik demokrasi sekarang ini, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia Mei 2006, sebanyak 72 persen. Mayoritas responden (72%) memandang demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik. Posisi Indonesia itu dekat dengan Meksiko (71%) dan Filipina (72%), tetapi persentase Indonesia itu masih di bawah negara demokrasi yang sudah mapan seperti Jerman (93%), Amerika Serikat (88%), Jepang (88%), dan Afrika Selatan (85%).

Belum tingginya dukungan terhadap sistem politik demokrasi tercermin dalam survei tingkat kepuasan terhadap praktik demokrasi. Pada tahun 2006, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia, 62 persen responden puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.Teoretisi politik George Sorensen pernah memperkenalkan konsep demokrasi beku (frozen democracy) yang menggambarkan suatu kondisi masyarakat di mana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada.

Sorensen sebagaimana dikutip Heru Nugroho saat mengantarkan buku John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku. Keempat indikator itu adalah kondisi perekonomian yang tak kunjung baik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial-politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian masalah sosial-politik-hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas.

Dari sisi kondisi ekonomi banyak pihak sepakat tak kunjung membaik sejak gerakan reformasi digulirkan sembilan tahun lalu. Jumlah orang miskin dan penganggur masih besar. Masyarakat sipil memang tumbuh seiring dengan melemahnya negara. Namun, tumbuhnya masyarakat sipil itu tak disertai dengan adanya ketertiban sosial dan keberadaban masyarakat. Itu bisa dilihat dengan adanya penghancuran satu kelompok oleh kelompok lain tanpa negara bisa mencegah. Kebebasan beragama yang merupakan kebebasan sipil yang dijamin konstitusi menjadi tidak punya arti bagi kelompok minoritas. Mengenai konsolidasi elite, yang terjadi justru fragmentasi elite politik. Pemberantasan korupsi tersendat karena pertarungan kepentingan di kalangan elite politik. Problem politik dan hukum masa lalu tetap saja menyandera. Meskipun reformasi sudah bergulir sembilan tahun, orang yang diduga melanggar HAM dan korupsi tetap bebas berkeliaran. Orang yang ikut menikmati bagian dari sistem koruptif masa lalu, ikut berpesta pora pada masa lalu, kini berteriak lantang, mengecam praktik masa lalu, di mana ia sendiri ikut berada di sana dan menjadi bagian darinya.

Mengacu pada empat indikator Sorensen, boleh jadi Indonesia sedang menuju ke demokrasi yang beku. Demokrasi yang tidak memberi makna apa-apa bagi bangsanya. Itu bisa terjadi karena minimnya aktor-aktor demokrasi dan pemahaman demokrasi hanya semata-mata pada soal kebebasan dan prosedur. Untuk memperjuangkan sistem politik demokratis dibutuhkan seorang demokrat yang punya keyakinan, bukan sebuah kegamangan.

Demokrasi bukan hanya untuk demokrasi! Kelima tujuan negara sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945 itu harus dicapai dengan jalan demokrasi! Melahirkan demokrasi di Indonesia, di mana rakyat menikmati kembali kedaulatannya, telah membawa banyak korban dan itu mahal harganya! Sistem politik demokrasi justru harus mampu bekerja untuk merespons penderitaan rakyat. Teriakan korban Lapindo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat patut direnungkan. ”Lengkap sudah. Eksekutif, legislatif, dan pengadilan sudah tak dapat diharapkan.” Kalau itu terjadi, lalu ke mana rakyat bisa menaruh harapan.

Tidak ada komentar: