KOMPAS
Kamis, 19 Jul i2001 Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
MEREKA YANG SUDAH DAN SEDANG DIMINTAI
REKOMENDASI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyelidiki
tragedi Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998), dan
Semanggi II (24 September 1999) memicu kontroversi berkepanjangan.
Keluarga korban dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
selama ini giat mengadvokasi masalah hak asasi manusia (HAM) tidak
puas dengan rekomendasi para wakil mereka yang berkantor di Senayan
tersebut. Mereka mengadukan masalah itu kepada Presiden Abdurrahman
Wahid.
Menurut keyakinan mereka tragedi Trisakti, Semanggi I, dan
Semanggi II yang telah menewaskan sejumlah mahasiswa merupakan
pelanggaran HAM berat yang harus diadili di Pengadilan HAM ad hoc.
Namun, mayoritas politisi di Senayan, termasuk empat anggota Fraksi
TNI/Polri yang korpsnya menjadi "sasaran" dalam penyelidikan ini,
berpendapat lain.
Meski jumlah anggota pansus yang tercatat 50 orang, kenyataannya
tak semuanya aktif. Bahkan, pada saat voting dilakukan untuk memilih
opsi "pembentukan pengadilan HAM ad hoc" atau "pengadilan biasa
(militer)" jumlah anggota pansus yang tercatat dalam daftar hadir
hanya 26 orang. Dari jumlah itu, yang mengikuti voting hanya 19 orang
dengan rincian 14 anggota setuju kasus Trisakti, Semanggi I, dan II
diadili di pengadilan biasa (militer) dan lima anggota setuju
dibentuk pengadilan HAM ad hoc.
Pengadilan militer dan pengadilan HAM ad hoc amat berbeda.
Pengadilan militer diadili oleh hakim-hakim militer, oditur militer,
tanpa ada pihak luar. Pengadilan militer banyak dikritik karena
ketertutupan proses acaranya dan kewenangan Atasan Menghukum (ankum)
sebagai perwira penyerah perkara (papera) yang amat dominan. Sedang
pengadilan HAM ad hoc, membuka peluang masuknya jaksa dan hakim ad
hoc yang berasal dari orang luar sehingga prosesnya akan lebih
transparan.
Kenyataan di lapangan, rekomendasi para politisi di Senayan itu
tidak terlalu bermakna. Pertama, sebelum Pansus DPR melaporkan hasil
kerjanya ke Rapat Paripurna DPR tanggal 9 Juli 2001, Mahkamah Militer
II-08 Jakarta pada 18 Juni 2001, telah lebih dahulu menggelar sidang
terhadap sebelas prajurit Brimob atas tuduhan pembunuhan terhadap
empat mahasiswa Trisakti. Persidangan kesebelas prajurit Brimob-meski
yang hadir hanya sembilan orang-itu klop dengan keinginan mayoritas
politisi di Senayan yang lebih condong menyelesaikan tragedi Trisakti
diselesaikan di pengadilan militer.
"Kenyataan itu memang menimbulkan dugaan adanya 'konspirasi'
antara politisi di Senayan dengan militer untuk menghindarkan
terjadinya peradilan ad hoc," tulis Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan
LBH Indonesia di Tempo. Penolakan terhadap penyelesaian melalui
Pengadilan ad hoc itu disuarakan Fraksi Partai Golkar, Fraksi
TNI/Polri, Fraksi Reformasi, Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi
Partai Bulan Bintang, dan Fraksi Partai Daulatul Ummah.
Entah karena kesengajaan atau bukan, dakwaan yang disusun Oditur
Militer masih mencantumkan orang yang sudah meninggal sebagai
terdakwa. Dalam dakwaan masih disebutkan sebelas terdakwa, meski yang
hadir hanya sembilan orang. Dua terdakwa, Dominggus Pinto desersi dan
tidak diketahui lagi keberadaannya di Timtim dan Idad Musadad sudah
meninggal. Kelemahan dakwaan itu dipersoalkan kuasa hukum terdakwa.
Hal kedua, Komnas HAM pun memutuskan untuk membentuk Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) yang diketuai Dr Albert
Hasibuan. Padahal, sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang (UU) Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pengadilan HAM berat yang terjadi
sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc. Pada Ayat 2 disebutkan: Pengadilan HAM ad hoc
Ayat 1 dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan
keputusan Presiden. UU Nomor 26 Tahun 2000 itu diundangkan 23
November 2000 sedang kasus Trisakti dan Semanggi terjadi tahun
1998. "KPP HAM akan bekerja atas dasar keadilan buat orang banyak,"
ujar Hasibuan memberikan argumentasi.
***
PANSUS Trisakti dan Semanggi dibentuk setelah DPR "sukses"
membentuk Pansus dan menyelidiki kasus Buloggate dan Bruneigate yang
melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid. Pada saat itu, kelompok
masyarakat mengkritik dan mengecam para politisi di DPR yang tidak
responsif terhadap korban pelanggaran HAM, kasus Trisakti dan
Semanggi, yang telah mengantarkan mereka duduk di Senayan.
Dalam suasana politik dan tekanan politik seperti itulah lahir
keputusan Bamus DPR untuk membentuk Pansus Trisakti yang diketuai
Panda Nababan, anggota DPR dari PDI Perjuangan. Tak terlalu jelas
betul, apakah motivasi pembentukan Pansus Trisakti semata-mata
sebagai make-up politik para politisi di Senayan atau memang secara
jujur dan tulus untuk mengemban perintah Pasal 43 UU No 26/2000.
Pasal itu memberikan kewenangan para politisi di DPR untuk
merekomendasikan pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden terhadap kasus
pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 terbentuk.
Sesuai pantauan Tim Monitoring Pansus Trisakti/Semanggi,
keseriusan para politisi di Senayan untuk menyelidiki ketiga kasus
itu amat diragukan. Tingkat kehadiran mereka hanya 25 persen. Bahkan,
dalam kurun waktu 30 Januari hingga 29 Maret 2001, di mana
berlangsung 17 kali Rapat Dengar Pendapat Umum ada sebelas anggota
Pansus yang sama sekali tak pernah hadir. Di antara mereka adalah
elite-elite partai yang selama ini sering berteriak lantang di media
massa. Hanya Panda Nababan, Ketua Pansus, yang tak pernah absen.
Suasana itu berbeda ketika anggota DPR menggelar Pansus Buloggate.
Rekomendasi DPR yang memutuskan agar kasus Trisakti, Semanggi I,
dan II diselesaikan melalui pengadilan biasa (militer) juga
dipertanyakan keabsahannya. Tak ada satu pun landasan hukum (baik itu
UUD 1945 beserta Perubahannya, Ketetapan MPR, maupun undang-undang)
yang memberi kewenangan kepada DPR untuk menentukan kompetensi
absolut sebuah peradilan. Apakah sebuah sengketa itu akan diadili di
pengadilan militer, pengadilan HAM ad hoc, pengadilan agama,
pengadilan tata usaha negara sama sekali bukan kewenangan DPR untuk
menentukan. Itu adalah wilayah kewenangan kekuasaan yudikatif.
"DPR telah mengambil alih kewenangan Mahkamah Agung," ujar Binsar
Gultom, seorang hakim di PN Bogor. Gultom menilai, DPR bukanlah
lembaga yang berwenang untuk menyatakan bahwa kasus Trisakti dan
Semanggi merupakan pelanggaran HAM biasa dan bukanlah pelanggaran HAM
berat sehingga harus diadili di Pengadilan Militer.
Sesuai dengan
Ketetapan MPR No III/MPR/1978, UU No 14/1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman yang diubah dengan UU No 39/1999 memberi
kekuasaan kepada MA untuk memeriksa dan memutus sengketa tentang
kewenangan mengadili (kompetensi absolut). "MA seharusnya mengambil
inisiatif untuk menuntaskan beda pendapat ini sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki MA," kata Gultom.
***
TERLEPAS dari masalah perdebatan yuridis ada sebuah pertanyaan
besar yang belum terjawab. Mengapa DPR menggabungkan obyek
penyelidikan tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II menjadi
satu kesatuan. Padahal semua orang tahu, ketiga tragedi yang
menewaskan sejumlah anak bangsa itu terjadi pada waktu yang berbeda,
suasana politik yang berbeda, dan latar belakang kejadian yang
berbeda.
Tragedi Trisakti terjadi 12 Mei 1998 di halaman Kampus Trisakti.
Pada saat itu, aparat keamanan secara membabi buta menembaki
mahasiswa Trisakti yang sedianya akan melakukan long march ke DPR
menuntut Presiden Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Empat
mahasiswa Trisakti tewas.
Sebagai reaksi atas penembakan itu, terjadilah kerusuhan sosial
di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Aparat keamanan tak mampu
mengendalikan keadaan sehingga ribuan orang tewas dan ratusan
bangunan dibakar. Justru pada saat genting seperti itu, para petinggi
militer sedang tidak berada di Jakarta dan baru tiba di Jakarta dari
Malang pada siang harinya.
Tragedi Trisakti dan kerusuhan sosial di Jakarta (13-15 Mei 1998)
tetap merupakan sejarah hitam bangsa Indonesia. Tak ada satu pun yang
menyatakan diri bertanggung jawab atau dinyatakan bertanggung jawab
atas peristiwa yang memilukan tersebut.
Pansus DPR pun tidak menyentuh dan tidak ada upaya untuk mencari
tahu rentetan kerusuhan sebagai dampak dari penembakan mahasiswa
Trisakti. Pansus DPR membatasi diri untuk menyelidiki siapa yang
bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti.
Padahal jika ada niatan untuk itu, DPR bisa menggunakan bahan-
bahan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sebagai titik pijak untuk
meneliti tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei.
Dalam laporan TGPF yang belum pernah dipublikasikan tersebut,
bisa dilihat sebuah laporan yang cukup komprehensif yang bisa
menjelaskan duduk persoalan kerusuhan Mei. Dalam laporan itu termuat
sejumlah kesaksian dari korban, pelaku di lapangan, dan analisa
terhadap terjadinya kerusuhan sosial tersebut.
Sedang Tragedi Semanggi I yang terjadi 13 November 1998 itu
diawali dengan gerakan kelompok mahasiswa yang menolak pelaksanaan
Sidang Istimewa MPR yang digelar pada masa pemerintahan Presiden BJ
Habibie. Aksi penentangan terhadap pelaksanaan Sidang Istimewa MPR
itu menewaskan 17 orang baik sipil dan militer, dan 456 orang luka-
luka. Sejauh ini juga belum ada pertanggungjawaban apapun terhadap
peristiwa tersebut.
Tragedi Semanggi II terjadi 22-24 September 1999. Peristiwa itu
terjadi ketika mahasiswa dan rakyat bergabung rencana pengesahan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya yang
dibahas DPR dan pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Aksi massa yang memenuhi Jalan Sudirman kembali dihadapi dengan
kekerasan oleh aparat sehingga sembilan orang tewas (seorang di
antaranya mahasiswa UI Yun Hap). Belum juga ada penjelasan resmi dan
pertanggungjawaban atas Tragedi Semanggi II, selain penjelasan
seorang prajurit Kostrad akan diadili atas tuduhan menembak Yun Hap,
meskipun persidangan itu belum dilangsungkan.
***
PENGGABUNGAN tiga tragedi dalam sebuah Pansus inilah yang
sebenarnya menjadi titik lemah dari DPR untuk menggolkan pengadilan
HAM ad hoc. Fraksi di DPR yang menolak merekomendasikan pengadilan
HAM ad hoc sebagaimana dilaporkan Panda Nababan dalam Rapat Paripurna
DPR, berpendapat bahwa ketiga tragedi itu tidak punya kaitan sama
sekali dan tidak saling berhubungan.
"Partisipasi politik" masyarakat pada ketiga kasus tersebut
berbeda dalam dimensi waktu, dimensi hubungan sebuah peristiwa,
metode pengamanan, serta kebijakan yang diputuskan, meskipun diakui
akibat dari penanganan yang represif tersebut telah jatuh korban jiwa.
Apakah dalam ketiga kasus tersebut terjadi pelanggaran HAM berat
memang masih menjadi perdebatan. Kelompok yang menolak menggunakan
definisi pelanggaran HAM berat sebagaimana disebutkan Pasal 9 UU No
26/2000 tentang Kriteria Pelanggaran HAM Berat, yaitu kejahatan
kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistemik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk si-pil, berupa (a) pembunuhan, (b)
pemusnahan, (c) perbudakan, (d) pengusiran pendudukan secara paksa,
(e) perampasan kemerdekaan, (f) penyiksaan, (g) perkosa-an, (h)
penganiayaan terhadap kelompok tertentu, (i) penghilangan orang
secara paksa, dan (j) kejahatan apartheid.
Dengan menggunakan teori pembuktian seperti layaknya sebuah
persidangan, DPR memfokuskan pada unsur sistematis, terencana,
konseptual serta meluas yang harus terpenuhi untuk mengategorikan
ketiga kasus itu sebagai pelanggaran HAM berat. Unsur sistematis,
menurut DPR, tidak terbukti karena rezim dan kasusnya berbeda. Unsur
terencana dan konseptual juga tidak terpenuhi karena rezimnya
berbeda, tujuannya berbeda, kasusnya berbeda, latar belakangnya
berbeda, dan tidak ada perintah tertulis untuk menggunakan peluru
tajam. Unsur meluas juga dinyatakan tidak terbukti.
Sedang fraksi yang mengategorikan ketiga kasus sebagai
pelanggaran HAM berat berargumen intensnya penggunaan kekerasan yang
dilakukan aparat keamanan untuk meredam aksi massa telah
mengakibatkan sejumlah korban tewas. Karena dominannya kekerasan
adalah lumrah bila ada penilaian masyarakat bahwa setiap korban jatuh
bukanlah karena kesalahan prosedur melainkan hasil prosedur yang
memang sengaja dipilih dan telah digariskan. Masyarakat memandang
penanganan ketiga tragedi itu secara sengaja dipilih dan telah
digariskan sehingga tindakan itu bisa dianggap sebagai tindakan
berencana dan sistematik sehingga memenuhi unsur terjadinya
pelanggaran HAM berat.
Dengan meneliti fakta-fakta yang ada, sebenarnya dugaan
terjadinya pelanggaran HAM berat akan lebih bisa diterima jika Pansus
DPR lebih memfokuskan pada tragedi Trisakti dan kerusuhan 13-15 Mei.
Unsur yang dipersyaratkan sebagai terjadinya pelanggaran HAM berat
lebih bisa dipenuhi jika penelitian terfokus pada kasus Trisakti dan
Kerusuhan Mei. Pertanyaannya sekarang mengapa obyek penelitian itu
harus digabungkan yang berakibat DPR sulit merekomendasikan
konstruksi terjadinya sebuah pelanggaran berat HAM.
Juga tetap menjadi pertanyaan apakah langkah DPR menggunakan
teori-teori pembuktian untuk mematahkan sangkaan terjadi pelanggaran
HAM berat, masih merupakan kewenangan dari DPR. Orang awam akan
mengatakan tidak. Kesimpulan DPR yang menilai bahwa kasus Trisakti
dan Semanggi bukan pelanggaran HAM berat keputusan langkah DPR yang
telah melampaui kewenangan yang diberikan konstitusi dan undang-
undang kepada DPR.
Terlepas dari kontroversi itu, sejarah hitam bangsa Indonesia
dalam kerusuhan 13-15 Mei, Semanggi I, Semanggi II, Tanjung Priok,
Timtim tetap harus dituntaskan dan didudukkan persoalannya. "Bagi
saya yang perlu adalah akuntabilitas publik pada rakyat dan keluarga
korban yang telah mengeluarkan darah," ujar Hermawan Sulistyo, Tim
Asistensi TGPF Kerusuhan Mei.
KPP HAM Trisakti bisa belajar dari rekomendasi DPR. Akan lebih
baik, kalau KPP HAM Trisakti lebih mendalami Tragedi Trisakti dan
Kerusuhan Mei yang bahan-bahannya sudah ada di TGPF. Kerusuhan Mei
juga bisa ditarik ke belakang dengan menelaah kerusuhan di Medan dan
Surakarta pada saat yang hampir bersamaan. Jika itu diteliti akan
bisa ditemukan jawaban mengapa tidak tampak aparat keamanan pada
tanggal 14 Mei 1998, saat kerusuhan sosial di Jakarta mencapai
puncaknya.
Kasus Semanggi I dan Semanggi II yang terjadi pada saat BJ
Habibie menjadi Presiden juga harus ditelaah untuk mencari penanggung
jawab dari tragedi itu. Namun, rasanya akan lebih baik, jika obyek
penyelidikan dipisahkan antara Trisakti dan Semanggi.
Adalah kenyataan bahwa belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM
pada masa lalu maupun pada masa sekarang yang bisa dituntaskan,
kendati sejumlah Pansus DPR telah dibentuk dan sejumlah KPP HAM telah
dibentuk. Pelanggaran HAM kasus Timtim yang sudah rampung pun belum
bisa digelar. Pertanyaannya adalah adakah niat dari bangsa ini untuk
menyelesaikan segala bentuk pelanggaran HAM pada masa lalu dan
sekarang dan kemudian menatap masa depan yang lebih baik. Atau isu
pelanggaran HAM akan tetap dijadikan komoditas politik untuk
kepentingan kekuasaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar