Jumat, 21 Desember 2007

Tren Pelemahan Komisi Negara

KOMPAS
19 Desember 2007-
Halaman 45


Lembaga Negara
Tren Pelemahan Komisi Negara

Budiman Tanuredjo

....Komisi Yudisial harus kita jaga. Di dalam dan melalui komisi ini kita berharap keadilan masih bisa ditegakkan. Dari mereka kita peroleh keadilan hukum yang melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah kita. Dari komisi ini kita himpun kekuatan para hakim yang dengan teguh masih menjaga integritas moral sebagai abdi hukum untuk menyelamatkan dan melanjutkan agenda reformasi peradilan. Maka, kembalikan kewenangan komisi ini agar pengawasan terhadap tingkat laku hakim-hakim yang selama ini menodai martabat diri dan profesi mereka dapat dilakukan secara efisien. Kembalikan kewenangan Komisi Yudisial untuk bersama seluruh rakyat melawan mafia peradilan.

— Jakarta, hari Sabtu, 15 Desember 2007.

Petisi bertajuk ”Kami Haus Keadilan” itu ditandatangani WS Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainun Najib, Mohamad Sobary, Abdurrahman Wahid, Adnan Buyung Nasution, dan Nathan Setiabudi. Petisi itu dikemas dalam bentuk panggung budaya bertema ”Keadilan Sosial antara Cita dan Realitas”, Sabtu malam.

Sangat boleh jadi, apa yang dilakukan Komisi Yudisial merupakan sebuah bentuk perlawanan kultural atas berbagai ”perampasan” kewenangan yang telah diberikan kepadanya. Komisi Yudisial memang dalam posisi yang tidak menguntungkan setelah salah seorang komisionernya, Irawady Joenoes, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kini sedang diadili.Komisi Yudisial adalah salah satu komisi negara yang terbentuk pasca-Orde Baru yang tampaknya berpotensi untuk didorong menjadi komisi negara yang gagal. Kewenangannya dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi (MK), salah seorang komisionernya diadili atas tuduhan menerima suap.

Upaya untuk membangun kembali citra dan meraih kembali dukungan publik tampaknya sedang diupayakan oleh komisi tersebut.Sejumlah tokoh dalam petisinya berteriak demikian keras. ”Kita waspada terhadap kekuatan-kekuatan antireformasi yang masih bercokol di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tahun demi tahun lewat, tapi hasil yang kita harapkan dari reformasi sama sekali belum memadai,” tulis petisi itu.

Ia melanjutkan, ”Jaringan dan wujud organisasi antireformasi itu mungkin tidak ada, setidaknya tidak kasatmata, tapi pengaruh dan akibat-akibatnya sangat terasa. Di seluruh Tanah Air, lembaga peradilan kita tetap kotor dan kita tak perlu menjadi ahli hukum untuk menyimpulkan bahwa pengadilan-pengadilan kita bukanlah tempat rakyat mencari keadilan.”

Pada intinya, petisi itu mau mengatakan satu hal: kembalikan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial!

Gelombang normalisasi

Komisi Yudisial adalah satu dari puluhan komisi negara yang dibentuk pasca-Orde Baru. Pembentukan komisi negara (state auxiliary body) menandai masa transisi demokrasi di Indonesia. Dilandasi ketidakpercayaan terhadap semua yang berbau negara, eforia publik ikut mendorong lahirnya komisi-komisi negara. ”Awalnya adalah adanya ketidakpercayaan terhadap unsur-unsur negara,” ujar Satya Arinanto, ahli hukum tata negara Universitas Indonesia, dalam percakapan dengan Kompas, Senin (17/12).

Hal senada disampaikan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur II). Kelahiran komisi negara diawali dengan semangat untuk meniadakan kekuasaan dominan dalam segi tiga kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Namun, dalam perkembangannya, kata Benny, komisi-komisi negara itu tak cukup punya daya tahan. Ia terasa kedodoran dalam perjalanannya.Kolega Benny di Komisi III DPR, Prof Dr Gayus Lumbuun, melihat merebaknya komisi-komisi negara yang tumbuh pasca-Orde Baru dan kemudian meredup pasca-Orde Baru lebih banyak disebabkan oleh ketidakjelasan politik negara di bidang hukum. ”Bagaimana ketika komisi negara dibentuk dan kemudian kini bagaimana dijalankan, tidak nyambung,” ujar Gayus yang juga ahli hukum administrasi negara.Pascatumbangnya Presiden Soeharto, komisi-komisi negara tumbuh di berbagai cabang kekuasaan.

Di cabang kekuasaan yudikatif muncul Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi serta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hadir pula Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk Presiden Soeharto masih tetap eksis hingga kini meski perannya tampaknya juga mulai meredup.Bagi Benny Harman, komisi negara itu tidak punya daya tahan karena melemahnya dukungan publik dan adanya kebangkitan kembali potensi kekuatan otoritarian.

Sesuai fitrahnya, kekuasaan tak suka diawasi. Karena itu, munculnya komisi-komisi negara yang punya semangat mengawasi kini mulai terasa mengganggu. ”Semangat otoritarian mulai bangkit dan menyergap komisi-komisi negara,” ujar Benny yang memperkirakan ”masa depan komisi negara bisa menjadi tidak jelas”.

Apa yang terjadi pada Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut Satya, adalah sebuah pelampiasan dendam politik dari politisi di DPR. Pelemahan KPK adalah wujud ketidakpuasan politik politisi di parlemen yang merasa tidak nyaman dengan gebrakan KPK. Namun, Gayus menampik tuduhan upaya pelemahan KPK oleh DPR. ”Saya kira bukan pelemahan, tapi mungkin keinginan untuk mengendalikan. Dalam politik itu wajar saja,” katanya.

Kecenderungan pelemahan komisi negara tampak dari bubarnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi yang didesain untuk mengungkap kebenaran dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu itu kandas nasibnya di tangan MK. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun nasibnya ”digantung” MK yang memberikan tenggat tiga tahun bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nasib Komisi Yudisial pun tidak lebih baik. Kewenangan pengawasan yang diberikan kepadanya pun dipangkas MK, setelah sejumlah hakim agung mengajukan uji materi.Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak luput dari intervensi kepentingan politik.

Dipilihnya salah seorang anggota KPU yang berstatus tersangka, dan kini sedang diadili, bisa dibaca sebagai keinginan untuk tetap menempatkan KPU dalam kendali kekuatan politik. Akibatnya, KPU pun masih dalam status bermasalah karena keanggotaannya yang tidak lengkap sesuai undang-undang.

Pertarungan tiga lembaga

Mahkamah Konstitusi menjalankan perannya yang sangat sentral dalam kiprahnya lima tahun ini. Ia menjadi lembaga yang mendobrak kukuhnya ”Tembok Berlin”. Perjuangan untuk mencabut pasal-pasal penyebaran kebencian dalam KUHP (hatzaai artikelen) yang lama diperjuangkan berhasil di tangan MK. Terakhir putusan MK memberikan izin bagi calon perseorangan untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah. Putusan MK itu tidak disukai parpol yang selama ini menjadi satu-satunya perahu menuju ke kekuasaan.

Politisi di DPR selalu mempersoalkan keputusan sembilan hakim konstitusi yang membatalkan produk undang-undang yang dihasikan 500 anggota DPR. DPR merasa lebih super, tetapi kini kewenangan DPR itu bisa dikoreksi MK yang menempatkan dirinya sebagai penjaga konstitusi.

Demikian strategisnya posisi MK—karena kewenangannya diturunkan UUD 1945—membuat posisi lembaga itu susah untuk digoyang. Salah satu langkah yang mungkin dilakukan adalah bagaimana proses seleksi hakim konstitusi.Kebetulan pada tahun 2008 sembilan hakim konstitusi akan berakhir masa jabatannya. Di sinilah ruang terbuka bagi kekuatan politik untuk menanamkan pengaruhnya di MK.

Hakim konstitusi berasal dari tiga cabang kekuasaan, tiga hakim dari DPR, tiga hakim dari pemerintah, dan tiga hakim dari Mahkamah Agung. Apakah MK juga akan terkena virus pelemahan? Masih susah untuk menjawabnya. Namun, menurut Benny Harman, wajah MK ke depan sangat ditentukan oleh interaksi tiga lembaga: pemerintah, DPR, dan MA.Waktu memang akan menjawab: apakah kecenderungan pelemahan komisi negara juga akan menerpa Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar: