Jumat, 21 Desember 2007

Ketika Militer Berlindung di Balik Parlemen

KOMPAS

Rabu, 06 Feb 2002 Halaman: 8

Budiman Tanuredjo

KETIKA MILITER BERLINDUNG DI BALIK PARLEMEN

KEPALA Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Endriartono Sutarto secara
tidak langsung membenarkan sikap perwira tinggi militer yang sudah
pensiun atau pun masih aktif untuk tidak memenuhi pemanggilan Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Trisakti-Semanggi I dan II.

Militer mencoba berlindung di balik apa yang disebutkan sebagai
sebuah "keputusan politik" DPR. "Keputusan politik" DPR dipersepsikan
sebagai vonis DPR bahwa kasus Trisakti, Semanggi I, dan II bukanlah
pelanggaran HAM berat sehingga tak bisa diadili di Pengadilan HAM Ad
Hoc. Sebab itu, mereka pun menolak dipanggil KPP HAM Trisakti
yang diketuai Dr Albert Hasibuan.

Sikap TNI untuk menolak panggilan KPP HAM itu diberi landasan
yuridis oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Mayjen Timor Manurung.
Dalam penjelasannya kepada pers secara tertulis, Manurung menggunakan
Pasal 43 UU No 26/2000 sebagai dalil untuk menolak pemeriksaan
perwira militer oleh KPP HAM. Pasal 43 (1) menyebutkan, pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pada Ayat (2) disebutkan, Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1) dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu
dengan Keputusan Presiden.

Benarkah ada "keputusan politik" DPR tentang ketiga kasus itu?
Argumentasi Endriartono dan Manurung tentunya mengacu pada hasil
Panitia Khusus (Pansus) Trisakti dan Semanggi I-II yang telah
disampaikan da-lam rapat paripurna DPR tanggal 9 Juli 2001. Mantan
Ketua Pansus Trisakti Panda Nababan telah membantah bahwa ada
"keputusan politik" DPR. "Tak ada keputusan politik, yang ada hanya
rekomendasi dan itu tidak mengikat," ujar Panda Nababan, anggota DPR
dari Fraksi PDI Perjuangan.

Melacak lebih jauh dokumen laporan yang Pansus Trisakti yang
dibacakan Nababan memang tidak pernah ada apa yang disebut sebagai
"keputusan politik" DPR. Yang disampaikan Pansus Trisakti adalah
sebuah kalimat yang dirumuskan sebagai berikut, "Dengan demikian,
laporan Pansus kepada Paripurna Dewan merekomendasikan untuk
meneruskan Pengadilan Umum/Militer yang telah dan sedang berjalan."

Rekomendasi yang disampaikan Pansus DPR itu diambil secara voting
di tingkat Pansus. Sesuai dengan daftar hadir, sebanyak 26 anggota
Pansus hadir. Namun, pada saat voting akan dilakukan, hanya 19
anggota DPR yang masih ada. Hasil voting itu menunjukkan sebanyak 14
suara setuju untuk merekomendasikan pengadilan umum/ militer dan lima
suara setuju dengan rekomendasi kepada Presiden untuk mengeluarkan
Kep-pres pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

***

SEJAK awal, suara di Pansus DPR sudah terbelah. Ada fraksi-fraksi
di DPR yang sejak awal berpendapat bahwa ketiga kasus itu adalah
pelanggaran HAM berat, yang harus diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.
Fraksi ini adalah Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Partai
Demokrasi Kasih Bangsa (F-PDKB). Sebaliknya, ada juga kekuatan
politik yang mendukung penyelesaian di Mahka-mah Militer. Mereka
adalah Fraksi TNI/Polri, Fraksi Partai Golkar (F-PG), Fraksi
Reformasi, Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), Fraksi Partai
Daulatul Ummat, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI). Fraksi
Kebangkitan Bangsa (F-KB) pada awalnya menyodorkan alternatif
rekonsiliasi, namun dalam perkembangannya bergabung dengan Fraksi PDI
Perjuangan.

Para pakar HAM yang diundang Pansus pun sejak awal juga mempunyai
kecenderungan berbeda. Dalam laporan Panda Nababan kepada sidang
paripurna DPR, disebutkan kecenderungan untuk menyelesaikan peristiwa
lewat Pengadilan HAM Ad Hoc diusulkan oleh Todung Mulya Lubis dan
Abdul Hakim Garuda Nusantara. Sedangkan kecenderungan untuk
menyelesaikan ketiga kasus itu melalui pengadilan biasa umum/militer)
diusulkan oleh Prof Dr Natabaya, Prof Budi Harsono, Prof Romli
Atmasasmita, dan Prof Muladi.

***

REKOMENDASI DPR itu dinilai terlalu jauh, karena sebenarnya tak
ada suatu pun Ketetapan MPR ataupun undang-undang yang memberikan
kewenangan pada DPR untuk menentukan kompetensi peradilan. Apakah
sebuah perkara akan diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Umum, Peradilan Agama, atau Peradilan Militer sama sekali
bukan kewenangan DPR untuk memutuskan. Itu adalah wilayah kekuasaan
yudikatif.

Sesuai dengan konstitusi dan semua produk hukum yang ada di Tanah
Air, hanya ada tiga fungsi DPR, yaitu melakukan penyusunan budget
bersama pemerintah, melaksanakan fungsi legislasi bersama pemerintah,
dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Tidak ada kewenangan
untuk menentukan kompetensi pengadilan atau menilai sebuah peristiwa
sebagai "tindak pidana biasa", "pelanggaran HAM", atau "pelanggaran
HAM berat".

Prinsip mayoritas sebagai mana ditunjukkan dalam voting ketika
Pansus Trisakti mengambil keputusan ternyata tidak selalu benar
adanya. Pendekatan mayoritas ternyata bisa saja menyesatkan dan
bahkan melanggar hukum itu sendiri. Rekomendasi DPR bahwa ketiga
kasus yang dikaji bukanlah pelanggaran HAM berat dan karena itu tak
bisa diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc adalah sebuah keputusan yang di
luar kompetensi DPR untuk memutuskan.

Lalu bagaimana kita menempatkan rekomendasi DPR berkaitan dengan
kasus Trisakti? Secara sosiologis, DPR telah begitu banyak membentuk
Pansus-pansus. Sebut saja Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), Pansus Aceh, Pansus Tanjung Priok, Pansus Bulog I. Semua
Pansus itu telah melahirkan sejumlah rekomendasi.

Pertanyaannya kemudian, apakah rekomendasi itu ditindaklanjuti.
Hasil Pansus BLBI, misalnya tetap saja sebagai hasil Pansus yang
tidak dihiraukan. Apakah hasil Pansus Bulog I yang merekomendasikan
proses hukum terhadap mantan Presiden Abdurrahman Wahid dilanjut-kan,
telah ditindaklanjuti? Fakta itu makin menunjukkan bahwa rekomendasi
Pansus DPR itu memang tidak mengikat.

***

FRAKSI-fraksi di DPR yang mendukung penyelesaian di Mahkamah
Militer melihat bahwa ketiga kasus itu (Trisakti, Semanggi, dan
Semanggi II) sangat berbeda dan tidak berkaitan satu sama lain. Kasus
Trisakti terjadi saat gerakan mahasiswa menumbangkan Presiden
Soeharto. Kasus Semanggi I dilakukan untuk menggagalkan Sidang
Istimewa MPR dan menuntut pembentukan apa yang disebut Presidium
Pemerintahan Rakyat. Kasus Semanggi II adalah gerakan mahasiswa
menggagalkan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya.

Mereka melihat gerakan-gerakan politik itu sebagai bentuk
"partisipasi politik" warga negara dalam sebuah momentum yang
berbeda, baik dalam dimensi waktu, peristiwa, maupun model
pengamanan. Mereka juga menyebutkan bahwa ketiga peristiwa itu tidak
dapat dinyatakan sebagai pelanggaran HAM, karena tidak terpenuhinya
unsur sistematis, terencana, konseptual, dan serta meluas.

Unsur sistematis tak terbukti karena rezim dan kasusnya berbeda.
Unsur terencana dan konseptual juga tidak terpenuhi, karenanya rezim
dan tujuannya partisipasi politik itu berbeda. Unsur meluas juga tak
bisa dipenuhi. Model analisa DPR ini menyerupai pekerjaan teknis
hakim untuk menentukan apakah unsur-unsur dari sebuah tindak pidana
terbukti atau tidak.

Sedangkan fraksi lain yang mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM
Ad Hoc ini melihat bahwa kekerasan demi kekerasan dilakukan aparat
keamanan dalam upaya membendung protes mahasiswa. Meski terbukti
tidak efektif, penggunaan kekerasan tetap digunakan sehingga sejumlah
korban tewas.

Dalam kasus Trisakti sebanyak empat mahasiswa tewas, lima orang
menderita luka parah akibat tembakan senjata api. Dalam Tragedi
Semanggi I, menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, sebanyak 16
orang tewas dan 456 orang luka-luka. Sedangkan dalam Tragedi Semanggi
II sebanyak 10 orang tewas dan delapan orang luka-luka.
Berdasarkan kenyataan dominannya penggunaan kekerasan oleh aparat
keamanan negara dalam menghadapi aksi mahasiwa, adalah lumrah bisa
muncul penilaian masyarakat bahwa setiap korban jatuh, maka hal ini
bukanlah akibat kesalahan prosedur, melainkan hasil dari prosedur
yang memang sengaja dipilih dan telah digariskan. Dengan cara
pandang itulah, maka diusulkan penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad
Hoc.

Melalui voting pada tingkat Pansus, DPR memilih model
penyelesaian di Mahkamah Militer. Sekarang sejauh mana reko-mendasi
itu dipatuhi oleh militer? Kenyataan menunjukkan baru kasus
penembakan empat mahasiswa Trisaktilah yang sudah diadili di Mahmil.
Sejumlah anggota Brigade Mobil (Brimob) telah dijatuhi hukuman oleh
Mahmil. Terakhir, Erick Kadir Suly dan kawan-kawan divonis enam tahun
penjara dan dipecat dari keanggotaan Brimob.

Lalu bagaimana dengan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Sejauh
ini, tak jelas penyelesaian penanganan kedua tragedi itu. Penembak
mahasiwa Universitas Indonesia Yap Yun Hap juga tak kunjung diproses
hu-kum. Minimal, publik tak pernah mengetahui bagaimana kelanjutan
kasus penembakan Yun Hap.

Kelanjutan penanganan Tra-gedi Semanggi I juga tak jelas. Tak ada
yang bertanggung ja-wab atau menyatakan bertanggung jawab atas
peristiwa bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa yang
menentang digelarnya Sidang Istime-wa MPR. Padahal, sejumlah
mahasiswa tewas.

Seriuskah militer menuntaskan kasus Semanggi I dan Semanggi II?
Dengan mengikuti logika pimpinan militer-bahwa TNI tunduk pada
apa yang dipersepsi sebagai "keputusan politik"-kita bisa melihat
sejauh mana kepatuhan militer tunduk pada "keputusan politik" DPR.
Rekomendasi Pansus DPR adalah menyelesaikan ketiga kasus itu melalui
Mahkamah Militer. Kenyataannya, baru sejumlah anggota Brimob (Polri)
yang diadili berkaitan dengan kasus Trisakti. Sedangkan Tragedi
Semanggi I dan II tetap gelap. Jadi, apakah itu bisa dikatakan TNI
tunduk pada "keputusan politik" DPR? Publiklah yang menilai.

***

PEMERIKSAAN oleh KPP HAM sebenarnya bukanlah sebuah peradilan.
Bukan pula sebagai sebuah vonis bersalah. Keputusan TNI untuk menolak
panggilan KPP HAM dengan berlindung di balik parlemen dan pasal-pasal
dalam hukum positif, menurut Luhut Pengaribuan, sebenarnya merugikan
TNI sendiri. Suatu kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara ketiga
peristiwa itu tak digunakan TNI oleh keputusan politik TNI sendiri.
Pemeriksaan KPP HAM itu tidak juga selalu berujung pada pengadilan,
karena masih akan diuji oleh Kejaksaan Agung dan juga DPR.

Pada saat akhir ternyata Polri berubah sikap. Mantan Kepala Polri
Jenderal (Purn) Roesman-hadi bersedia hadir asal pemanggilan sesuai
prosedur. Beberapa perwira Polri pun sudah datang ke KPP HAM dan
memberikan klarifikasi. KPP HAM pun menghargai sikap Polri.
TNI AD tampak tetap bersikukuh untuk menolak panggilan KPP HAM.

Setidaknya, itu tampak dari komentar Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI
Mayjen Timor Manurung yang menilai KPP HAM tidak sah.
Proses transisi demokrasi di Indonesia tampaknya masih akan
panjang. Penyelesaian masalah masa lalu yang menjadi tugas
pemerintahan transisi mengalami hambatan. Penolakan TNI secara tidak
langsung merupakan ujian bagi pemerintahan sipil Presiden Megawati
Soekarnoputri.

Pengamat politik Bara Hasibuan mengemukakan, Presiden Megawati
Soekarnoputri dituntut untuk tidak tinggal diam dalam melihat
penolakan yang ditunjukkan oleh pihak TNI dan Polri tersebut. Minimal
yang dapat dilakukan oleh Presiden adalah memberikan tekanan terhadap
pimpinan TNI untuk menunjukkan kerja samanya terhadap investigasi
yang sedang dilakukan oleh KPP HAM Trisakti.

Apalagi dalam pertemuan dengan KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan
II beberapa waktu yang lalu, Presiden Megawati memberikan dukungan
politik atas rencana pemanggilan beberapa perwira TNI oleh KPP HAM
Trisakti, Semanggi I dan II. Saatnyalah sekarang Presi-den
membuktikan ucapannya tersebut.

Presiden tidak perlu takut kalau tindakannya diartikan sebagai
bentuk intervensi terhadap institusi TNI, karena tekanan yang
diberikan bukan terhadap masalah internal organisasi TNI. Di sini
Presiden hanya ingin menunjukkan kepada TNI bahwa pemerintah
benar-benar committed terhadap upaya pe-negakan hukum kasus
pelanggaran HAM.

Proses penyelesaian hukum kasus Trisakti tampaknya akan berjalan
panjang dan mungkin akan ikut memanaskan suhu politik. Terutama jika
benar-benar prajurit TNI tak mau datang dan kemudian KPP HAM
menggunakan haknya untuk memanggil paksa atas izin Ketua Pengadilan.
Proses ke arah itu sedang dirintis dengan konsultasi antara KPP HAM
dengan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan.

Tidak ada komentar: