Jumat, 21 Desember 2007

Sebuah Kegamangan dalam Menentukan Pilihan

KOMPAS
Selasa, 04 Dec 2001 Halaman: 27

Budiman Tanuredjo

SEBUAH KEGAMANGAN DALAM MENENTUKAN PILIHAN

PROSES transisi menuju demokrasi di Indonesia, belum juga
menampilkan sosoknya yang jelas. Bahkan, mulai muncul kekhawatiran
dan pertanyaan apakah transisi di Indonesia memang sedang bergerak
menuju sebuah negara yang demokratis atau bakal kembali ke sistem
pemerintahan otoriter.

Jenderal Besar (Purn) Soeharto secara formal telah meninggalkan
kursi kepresidenannya, sejak 21 Mei 1998. Namun, pengaruh politik
Soeharto tetap bisa dirasakan hingga saat ini. Rentetan peristiwa
yang menyertai tertangkapnya putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala
Putra (Tommy Soeharto), menunjukkan bahwa pengaruh penguasa tunggal
Orde Baru itu masih besar.


Kepala Polda Metro Jaya Irjen Sofjan
Jacoeb memeluk buronan Tommy Soeharto yang tersenyum dan langsung
menggelar jumpa pers bersama, Panglima Daerah Militer Jaya Mayjen
Bibit Waluyo ikut datang ke Markas Polda Metro Jaya, anggota DPR juga
berlomba-lomba datang, sanak keluarga Soeharto pun dengan cukup
leluasa bisa menjenguk Tommy, seorang buronan kelas kakap.

Apa arti semua itu?

Praktisi hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara melihat peristiwa itu
menunjukkan masih adanya pengaruh politik Soeharto. Hal itu bisa
mengerti karena Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Dalam kurun waktu
lebih dari tiga dasawarsa, Soeharto mempunyai waktu yang cukup untuk
menempatkan orang-orangnya dan menciptakan loyalitas yang tinggi dari
para pendukungnya yang mendapatkan banyak kenikmatan dari penguasa
Orde Baru.

Pada saat berkuasa, Soeharto membangun sebuah sistem politik yang
di satu pihak mengukuhkan sebuah sistem kekuasaan yang
tersentralisasi dan di pihak lain mengeliminasi kontrol yang berada
di luar sistem. Akibatnya, terciptalah sebuah institusi sosial,
ekonomi, budaya, dan hukum, yang melayani kebutuhan kepentingan
kekuasaan Soeharto.

Dengan kata lain, semakin lama sebuah rezim otoritarian berkuasa
akan semakin kompleks pula jaringan penopang kekuasaan yang ia
bangun. Akibatnya, rezim transisi akan dihadapkan pada paradoks-
paradoks yang sulit untuk didamaikan. Pada satu sisi, rezim transisi
dihadapkan pada berbagai permasalahan masa lalu, pada sisi lain, ia
dihadapkan pada birokrasi korup yang merupakan warisan kekuasaan
lama.

***

TULISAN ini tidak akan membahas soal tertangkapnya Tommy
Soeharto, tetapi mencoba melihat proses transisi demokrasi di
Indonesia, di mana kekuatan lama harus ditempatkan sebagai faktor
yang determinan. Proses transisi demokrasi di Indonesia diibaratkan
sebagai "anggur lama yang dikemas dalam botol baru".

Salah satu masalah yang selalu menyertai proses transisi menuju
demokrasi sebagaimana yang terjadi negara Amerika Latin, Eropa
Selatan, dan Afrika Selatan adalah bagaimana rezim transisi
menyelesaikan kasus-kasus pada masa lalu, khususnya soal kejahatan
kemanusiaan.

Perilaku politik rezim otoritarian sebenarnya telah menimbulkan
gangguan yang signifikan pada tiga level hubungan, yakni state dan
society (negara dan masyarakat), society dan society (masyarakat dan
masyarakat), dan state dan state (negara dan negara). Gangguan atas
hubungan itulah yang kini diwariskan dan harus diselesaikan oleh
rezim transisi.

Hubungan state dan society bisa dilihat dari terjadi pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh aparat negara terhadap masyarakat akibat
kekerasan sistematik yang dilakukan pemerintahan Soeharto dalam upaya
mempertahankan kekuasaannya.

Hal ini bisa dilacak ke belakang hingga peristiwa pada tahun
1965, korban kekerasan akibat pelaksaaan daerah operasi militer (DOM)
di Aceh, peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, peristiwa penyerbuan
Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58 Jakarta yang kemudian
berubah menjadi kerusuhan sosial di Jakarta dan sekitarnya tahun
1996, peristiwa kerusuhan Mei, 12-15 Mei 1998 yang berakhir dengan
turunnya Soeharto.

Pada level masyarakat dan masyarakat, rezim otoritarian Soeharto
telah menciptakan sebuah masyarakat penuh prasangka-prasangka. Itu
bisa terjadi karena problem ideologis ataupun karena problem SARA.
Sebagai dampaknya, munculnya sinisme bahwa etnis Cina di Indonesia
terlalu memonopoli perdagangan dan menguasai sektor ekonomi dan
dianggap tidak nasionalis. Sementara pada sisi lain, pada era
Soeharto, kesempatan bagi etnis Cina untuk berkecimpung di sektor
politik, pendidikan sangat dibatasi. Kecurigaan juga muncul antara
satu kelompok dengan kelompok lain.

Pada level negara dan negara, terdapat perasaan anti-Jakarta di
beberapa daerah, khususnya di daerah konflik seperti Aceh dan Irian
Jaya. Perasaan itu muncul akibat kebijakan sentralistik dan
eksploitatif yang diterapkan rezim Orde Baru. Akibatnya, ketika rezim
otoritarian ambruk dan muncul sebuah pemerintahan transisi yang
lemah, terjadi "pemberontakan" dari daerah untuk melepaskan dari
dominasi pusat.

Sebuah diskursus yang ditawarkan untuk mengatasi
ketidakharmonisan hubungan di tiga level itu adalah rekonsiliasi.
Pakar sosiologi politik Universitas Airlangga Daniel Sparingga dalam
makalah berjudul "Upaya Menyelamatkan Masa Depan Bangsa dan Negara"
di Dewan Pertimbangan Agung, tanggal 6 Agustus 2001, mengemukakan,
rekonsiliasi secara semantik berarti: "memulihkan kembali relasi dan
kepercayaan atas dasar penghormatan pada prinsip kemanusiaan di
antara dua kelompok atau lebih yang dirusakkan oleh hubungan yang
tidak adil pada masa lalu."

Melihat pengalaman negara lain dalam proses transisi menuju
demokrasi, Abdul Hakim Garuda Nusantara melihat sebenarnya tak ada
model yang seragam untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan,
menurut Abdul Hakim, tidak ada negara yang bisa secara tuntas untuk
menyelesaikan kasus tersebut. Tuntas dalam artian semua pelanggar HAM
diadili dan kepada korban diberikan kompensasi.

Sparingga menyebutkan ada empat model yang lazim untuk
menyelesaikan masa lalu.

Model pertama adalah prinsip never to forget, never to forgive
(tidak melupakan, tidak memaafkan). Dalam bahasa sehari-hari pola ini
mengambil garis tegas: "adili dan hukum". Pola ini bisa dilihat di
Jerman, setelah runtuhnya rezim Fasis di bawah Hitler.

Model kedua adalah never to forget but to forgive (tidak pernah
melupakan, tetapi memaafkan). Dalam tataran praktis model ini bisa
dibahasakan sebagai "adili dan kemudian ampuni". Model ini diterapkan
di Korea Selatan ketika mantan Presiden Chun Doo-hwan diadili dan
kemudian diampuni. Model Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika
Selatan dengan pendekatan disclosure bisa dikategorikan masuk dalam
pola ini.

Model ketiga to forget but never to forgive (melupakan tetapi
tidak pernah memaafkan). Pada tataran praksis, model ini tidak
membutuhkan pengadilan, tetapi kejadian itu akan dikutuk selamanya.
Pola ini, menurut Sparingga, bisa dilihat pada cara masyarakat Eropa
melihat peristiwa inkuisisi yang dilakukan pada penganut ajaran
Protestan di Eropa pada abad pertengahan.

Model keempat adalah to forget and to forgive (melupakan dan
memaafkan). Artinya, tidak perlu ada pengadilan dan lupakan saja
peristiwa masa lalu. Pola ini diambil Spanyol segera setelah jatuhnya
diktator Franco di era tahun 1970-an. Pada pola ini, kepemimpinan
menjadi faktor yang deterministik. Adolfo Suares, sukses memimpin
proses yang oleh masyarakat Spanyol dikenal sebagai pola reforma-
pactada ruptura-pactada (reformasi dan pemutusan hubungan dengan masa
lalu yang dirundingkan).

Bagaimana dengan Indonesia?

"Indonesia belum menentukan pilihan yang jelas. Ada kegamangan-
kegamangan untuk mengambil keputusan. Akibatnya, pelanggaran HAM pada
masa lalu tidak pernah terungkapkan, sementara kerja-kerja untuk
membangun sistem politik yang lebih demokratis pun belum menampakkan
sosoknya," kata aktivis LSM yang terlibat dalam penyiapan draf
Rancangan Undang-undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
Abdul Hakim Garuda Nusantara.

Ketidakjelasan pola yang mau diambil atau ketidakseriusan memilih
model itu juga tampak dari produk-produk MPR. Dalam Sidang Tahunan
MPR tahun 2001, MPR telah memerintahkan untuk dibentuknya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.

Dalam Ketetapan (Tap) MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional, Komisi ini diposisikan sebagai
lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya
ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan
kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran HAM pada masa lalu, sesuai dengan ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku. Setelah pengungkapan kebenaran dapat
dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf,
perdamaian, penegakan hukum, amnesti, dan rehabilitasi serta
alternatif lain untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan
sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.

Dalam Tap MPR No VIII/ MPR/2000, MPR juga memerintahkan kepada
presiden untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM
secara serius dan adil. Perintah MPR itu dikeluarkan karena MPR
menilai penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih lamban,
diskriminatif dan belum tuntas, sementara pelanggaran HAM tetap
berlangsung.

Masa satu tahun dari Agustus 2000 hingga Agustus 2001, tugas-
tugas yang diperintahkan MPR itu tak dikerjakan. Yang terjadilah
adalah konflik antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR yang
berakhir dengan turunnya Abdurrahman Wahid dan digantikan Megawati
Soekarnoputri. Akibatnya, tugas pemerintah dan DPR untuk membuat RUU
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tak kunjung bisa diselesaikan.
Sampai akhirnya pada November 2001, melalui Tap MPR No
X/MPR/2001, MPR kembali menugaskan kepada Presiden dengan formulasi
yang sama dengan Tap MPR No VIII/MPR/ 2000 yaitu presiden segera
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dinilai MPR masih lamban dan
diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. MPR juga
memerintahkan Presiden dan DPR segera membuat RUU Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi.

***

ADALAH kenyataan bahwa sepanjang tahun 2001, hampir tidak ada
kasus pelanggaran HAM yang diadili. Kalaupun ada seperti diadilinya
sejumlah anggota Brimob yang dituduh telah menembak dan menewaskan
mahasiswa Trisakti di Mahkamah Militer II-08 Jakarta, dihadapkan pada
sebuah rendahnya kepercayaan publik.

Sementara, pengadilan kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur
(Timtim) pascapenentuan pendapat yang menurut Kejaksaan Agung sudah
selesai tingkat penyidikannya, masih diragukan bakal terwujud pada
bulan Desember 2001 ini. Hakim-hakim Ad Hoc yang direkrut Benjamin
Mangkoedilaga sampai catatan ini ditulis belum diketahui kapan akan
dilantik dan disahkan. Kalaupun, persidangan itu akan digelar, masih
juga diragukan apakah proses itu bisa memberikan keadilan dan
diterima sebagai sebuah proses peradilan yang fair dan impartial.

Ketika negara justru tidak terlalu bersemangat, yang justru
bersemangat adalah lembaga nonnegara seperti Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia. Komnas HAM justru banyak memproduksi Komisi-komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM ke berbagai daerah, seperti KPP HAM
Timtim, KPP HAM Tanjung Priok, KPP HAM Ambon (peristiwa Kebon
Cengkeh), KPP HAM Abepura (Irian Jaya), dan KPP HAM Sampit. Sebagian
berkas telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung, namun hingga kini
juga belum ketahuan ujung dari penyelidikan yang cukup membutuhkan
biaya mahal tersebut.

Bagi Abdul Hakim keterlambatan dalam proses penyelesaian masalah
masa lalu bukan semata-mata disebabkan karena persoalan teknis,
seperti perbedaan definisi soal rumusan pelanggaran HAM berat dan
pelanggaran HAM biasa atau soal belum adanya pengalaman untuk
menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan. "Masalahnya adalah tidak
ada komitmen politik dari rezim untuk menyelesaikan masalah masa
lalu. Itu saja," kata Abdul Hakim.

Para elite politik di era transisi, terlalu cepat masuk ke dalam
kancah perpolitikan sementara komitmen untuk menyelesaikan masalah
masa lalu, diperhitungkan dengan untung ruginya bagi kekuasaan.
Kepentingan politik praktis pragmatis untuk mempertahankan kekuasaan
atau mendapat kekuasaan lebih dominan dibandingkan sebuah komitmen
yang kuat untuk menyelesaikan masalah masa lalu, sebagai sebuah
fondasi menatap masa depan.

Pada tataran lain, kekuatan politik pendukung rezim otoritarian
Soeharto telah bermetamorfosa dan masuk ke dalam partai-partai
politik yang sekarang ini ada. Yang terjadi kemudian adalah partai-
partai politik menjadi seperti pelindung dari orang-orang yang
sebenarnya patut dimintai pertanggungjawabannya dalam berbagai kasus
kejahatan HAM maupun korupsi.

Problem krisis ekonomi yang berkepanjang sering juga kemudian
menyisihkan perdebatan soal transisi menuju demokrasi. Spanyol juga
dihadapkan hal seperti itu. Namun, PM Adolfo Suarez bisa mengambil
pilihan tepat dan mampu meyakinkan rakyatnya. Suares berpendapat,
selama ketidakpastian politik yang membayangi seluruh negara tidak
terpecahkan, tidak akan terjadi reaktivasi ekonomi dan tidak akan ada
stabilitas ekonomi. Suares memilih untuk membentuk institusi politik
yang sah untuk membuat keputusan-keputusan dan meninggalkan untuk
sementara reformasi ekonomi dan reformasi sosial.

Bagi Indonesia, selain krisis ekonomi juga dihadapkan pada
konflik horizontal dan ancaman pemisahan teritorial. Menurut
Sparingga, Indonesia juga dihadapkan pada langkanya leadership dan
common platform di tingkat negara (dua hal yang bisa menyelamatkan
transisi dari kegagalan).

Transisi politik di Indonesia ditandai dengan pertarungan
ideologi dan pertarungan kekuasaan yang kemudian menyingkirkan tema-
tema relevan dalam proses transisi menuju demokrasi dari khazanah
perdebatan publik. Akibatnya, upaya menyelesaikan masalah masa lalu
menjadi tidak mudah karena bercampurnya kepentingan politik bahkan
ideologis. Dan yang tak boleh dilupakan adalah pemain-pemain kunci
pada era transisi sekarang adalah pemain-pemain lama atau yang punya
kaitan erat dengan masa lalu.

Proses transisi menuju demokrasi yang seharusnya ditindaklanjuti
dengan konsolidasi kekuatan prodemokrasi ternyata tidak terjadi di
Indonesia. Yang melakukan konsolidasi justru kekuatan-kekuatan lama
yang sukses menempatkan orang-orang sebagai penguasa daerah,
sementara kekuatan yang menyebutkan proreformasi malah dihadapkan
pada perpecahan-perpecahan di antara mereka sendiri.

Terlepas dari semua perdebatan, pilihan politik tentang format
penyelesaian masalah masa lalu harus diambil. Dengan mengutip Richard
Goldstone dalam buku Human Rights in Political Transitions bahwa
without justice, without acknowledgement, future evil leaders will
more easily be able to manipulate historic grievances (tanpa
keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan
akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis).

Abdul Hakim melihat yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah
disintegrasi kekuatan proreformasi. Itu tampak di DPR ketika
memutuskan kasus pelanggaran HAM Trisakti dan juga pembentukan Pansus
Bulog II yang melibatkan Akbar Tandjung. Kekuatan proreformasi yang
pada saat kampanye meneriakkan perlunya pengadilan HAM bagi militer
yang berbuat salah, kekuatan yang berteriak keras ketika Abdurrahman
Wahid disangka terlibat dalam kasus Bulog I, kini berada dalam posisi
yang berbeda. Mereka menolak terbentuknya Pansus Bulog II, mereka
juga menolak Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Trisakti. Mengapa itu
semua terjadi? "Jelas sekali kepentingan kekuasaan jangka pendeklah
yang menjadi faktor penentu," demikian Abdul Hakim.

Tidak ada komentar: