KOMPAS
Kamis, 11 Jan 2001
Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
Penuntasan Pelanggaran HAM
MASIH SEBATAS KOMODITAS POLITIK
MINGGU pertama bulan Desember 2000 masyarakat dikejutkan dengan
rencana Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (UNTAET) memeriksa
sejumlah perwira TNI/Polri untuk kepentingan penyelidikan kasus
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timor Timur (Timtim).
Peristiwa itu membangkitkan emosi nasionalisme dari sebagian
kalangan masyarakat. Bahkan, sampai terjadi unjuk rasa yang sempat
memukul-mukul bahkan menginjak-injak mobil pejabat UNTAET saat
pejabat PBB itu bertamu ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Protes dan tanggapan datang silih berganti.
Perang pernyataan
antara Jaksa Agung Marzuki Darusman pada satu pihak dengan Tim
Advokasi HAM Perwira TNI dan DPR di sisi lain, terjadi begitu gencar.
Yang diprotes dan dikecam adalam Memorandum of Understanding (Mou)
yang ditandatangani Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Sergio Viera de
Mello dari UNTAET.
Isu itu bertahan sekitar satu minggu. Kemudian sepi. Tak ada lagi
berita soal rencana pemeriksaan sejumlah perwira TNI/ Polri oleh
UNTAET, setelah DPR dan Jaksa Agung bersepakat untuk membahas MoU
yang banyak mendapat protes tersebut.
Pada malam Natal, masyarakat kembali dikejutkan dengan ledakan
bom di beberapa tempat di Jakarta dan di beberapa daerah yang
menewaskan sejumlah orang dan melukai juga banyak orang. Forum
Indonesia Damai (FID) terbentuk dan menyatakan keprihatinan atas aksi
teror tersebut. Pemerintah pun sepakat membentuk Komisi Panel.
Kemudian, kembali terasa sepi. Baru hari Selasa lalu Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pernyataan resminya menuntut
dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkap aksi
teror pemboman yang sempat mendapat banyak protes tersebut.
Sebelumnya berbagai peristiwa yang menarik perhatian publik silih
berganti. Saling menutup. Satu peristiwa belum tuntas, muncul isu
lain yang juga tak kalah menariknya. Tuntutan untuk penuntasan kasus
pelanggaran HAM pun datang silih berganti dari berbagai kelompok.
Setelah kasus Timtim ditangani, muncul tuntutan penuntasan kasus 27
Juli. Kemudian, muncul tuntutan kasus pelanggaran HAM di Aceh dan
Tanjung Priok. Namun, hingga kini belum ada kasus pelanggaran HAM
yang betul-betul tuntas. Begitu juga dengan berbagai kasus bom yang
tak satu pun terungkap.
***
"ITU lazim di masa yang sedang berubah," ucap Hasto Atmodjo, staf
pengajar sosiologi Universitas Nasional Jakarta kepada Kompas. Ia
menambahkan, di era yang sedang berubah, berbagai peristiwa datang
silih berganti. "Pers pun grudak-gruduk. Dari sebuah isu, pindah ke
isu yang lain," ucapnya.
Pers sebenarnya paling efektif untuk mempertahankan aktualitas
sebuah peristiwa. Pers bisa menjalankan peran untuk mengingatkan
bahwa ada masalah yang belum selesai. "Syukur kalau memang ada
lembaga yang menjalankan peran itu," ucapnya.Dia menambahkan,
seharusnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa menjalankan peran
untuk memonitor penanganan sebuah perkara.
Berbicara khusus soal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM,
Hasto berpendapat, sesungguhnya tidak ada komitmen yang
sungguh-sungguh dari pemerintah, termasuk juga DPR, untuk mencari
formula untuk menyelesaikannya. "Akar masalahnya sangat dalam,"
katanya.
Apa yang terjadi saat ini-tuntutan penuntasan kasus pelangagran
HAM oleh berbagai pihak- menurut Hasto, lebih merupakan komoditas
politik. Penuntasan kasus pelanggaran HAM belum dilihat sebagai
problem ideologi. Isu HAM telah bergeser untuk kepentingan politik
kelompok yang menyuarakannya.
Perang retorika antarelite untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM
dilihat Hendardi (Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia)
lebih sebagai sebuah lelucon. Keinginan korban untuk memperoleh
keadilan substansial seakan tenggelam dalam perdebatan prosedural,
soal surat-menyurat, serta soal ketiadaan aturan dan soal remeh-temeh
lainnya.
Bagi Hendardi, kenyataan itu adalah lelucon dari para elite
politik yang disuguhkan kepada publik. Padahal sebenarnya, menurut
pandangan Hendardi, tidak ada keinginan yang kuat untuk menuntaskan
kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. "Saya kadang
berpikir, elite politik yang berbicara dengan mengerenyitkan kening,
seakan serius untuk menuntaskan kasus masa lalu, padahal dia sedang
membohongi rakyatnya," ujar Hendardi suatu waktu.
Kehadiran tim penyelidik dari UNTAET sedikit banyak telah membuka
kembali debat atau wacana soal penuntasan kasus pengadilan HAM.
Perang pernyataan terbuka antara anggota parlemen ditambah para
pembela tersangka pelanggaran HAM dengan pemerintah, khususnya Jaksa
Agung Marzuki Darusman, secara tak sengaja membuka kembali wacana
publik bahwa belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang bisa
dituntaskan oleh pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid.
***
DALAM hal membangkitkan wacana, masyarakat patut berterima kasih
dengan hadirnya UNTAET. Kehadiran lembaga yang dicoba ditangkal
dengan isu nasionalisme serta diwarnai dengan unjuk rasa sekelompok
masyarakat yang tidak pada tempatnya, minimal telah membongkar
kembali kesadaran publik terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM
yang hampir saja dilupakan.
Kondisi ini amat memprihatinkan. Tuntutan atas penuntasan kasus
pelanggaran HAM sebenarnya sudah sering diteriakkan aktivis LSM di
Tanah Air. Namun, teriakan itu nyaris tak didengar oleh mereka yang
mempunyai kekuasaan. "Itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia lebih
takut dengan suara dari luar ketimbang suara rakyatnya sendiri,"
ucap Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras), Munarman, dalam sebuah diskusi Obrolan Merdeka
akhir tahun lalu.
Munarman mencontohkan, penanganan kasus Aceh, Lampung, Tanjung
Priok. Respons pemerintah tidak "segawat" ketika tekanan datang dari
luar seperti kasus Timtim. Jika kecenderungan seperti ini diteruskan,
maka intervensi asing akan selalu membayangi penegakan hukum dalam
kasus pelanggaran HAM.
Bagi Hendardi, publik di Indonesia belum cukup punya kemampuan
untuk terus memonitor perjalanan sebuah kasus. Misalnya, kaburnya
Kapten Sudjono dalam kasus terbunuhnya Teungku Bantaqiah juga hampir
dilupakan publik. Pada awalnya memang diributkan, namun sekarang tak
jelas lagi di mana keberadaan Sudjono yang disebut-sebut sebagai
saksi kunci kasus pembunuhan Teungku Bantaqiah.
***
ADALAH sebuah kenyataan, dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM
yang sering diteriakkan penuntasannya, baru pembunuhan Teungku
Bantaqiah yang sudah divonis majelis hakim Mahkamah Militer. Itu pun
sama sekali tidak memuaskan keluarga korban karena penanggung jawab
yang lebih tinggi tak pernah terjamah.
Sementara kasus pelanggaran HAM di Aceh sebagaimana
direkomendasikan Komisi Penyelidik Independen yang diketuai Amran
Zamzani, seperti kasus perkosaan di Pidie (1996), pembunuhan dan
penculikan di Rumah Geudong Pidie (1997-1998), pembunuhan dan
penghilangan orang di Desa Idi Cut (1999), penembakan di Simpang KKA
Krueng Geukeuh (1999), tak jelas lagi bagaimana penyelesaiannya.
Di luar kasus Aceh, beberapa kasus pelanggaran HAM yang dituntut
publik pun, hanya tampak ada geregetnya pada saat awal pemeriksaan.
Setelah itu, tak jelas lagi bentuk penyelesaiannya. Sebut saja kasus
penyerbuan kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia
(DPP PDI) di Jl Diponegoro No 58 yang terjadi tanggal 27 Juli 1996.
Pada awalnya, Polri seakan tak ragu memeriksa setiap orang. Mantan
Ketua Umum PDI Soerjadi, Alex Widya Siregar, Buttu Hutapea, dan
Yorrys Raweyai sempat mendekam di tahanan Mabes Polri. Namun, dalam
perkembangannya, tak diketahui lagi kemajuan penanganan perkara
tersebut.
Penanganan kasus pelanggaran HAM kasus 27 Juli misalnya, awalnya
ditangani Polri, dikonsultasikan DPR-Pemerintah, kemudian ditangani
Tim Koneksitas. Kasus Timtim menggunakan Komisi Penyelidik
Pelanggaran HAM Timtim, diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk disidik,
kemudian juga berhenti karena Pengadilan HAM Ad Hoc belum terbentuk.
Kasus Tanjung Priok juga ditangani Komisi Penyelidik Pelanggaran
HAM Priok, diserahkan ke Kejaksaan Agung. Kasus Teungku Bantaqiah
ditangani tim koneksitas dan peradilan koneksitas.
Terjadinya perbedaan pola penanganan bisa dimaklumi mengingat
aturan main baru dibuat setelah peristiwa itu terjadi. Harus juga
disadari, dalam pembuatan aturan main, sangat diwarnai
kepentingan-kepentingan politik. "Kita memang tak punya konsep
menyeluruh bagaimana kekerasan pada masa lalu akan diselesaikan. Yang
terjadi sekarang ini hanyalah akal-akalan untuk menutupi keterlibatan
mereka yang mempunyai kedudukan lebih tinggi," ucap Hendardi.
***
DARI berbagai kenyataan itu memang muncul satu pertanyaan, apakah
memang elite bangsa ini ingin menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM? Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
No IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sebenarnya telah tegas memerintahkan kepada Presiden untuk
menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum
dan hak asasi masnuia yang belum ditangani secara tuntas.
Sidang Tahunan MPR Agustus 2000 pun telah memberikan evaluasi
soal kinerja pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam bidang
penuntasan kasus pelanggaran HAM. Sesuai dengan Tap MPR No
VIII/MPR/2000, MPR menilai penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih
terkesan lamban, diskriminatif, dan belum tuntas, sementara praktik
pelanggaran HAM tetap berlangsung bahkan sering terjadi
penyalahgunaan upaya penegakan HAM. Untuk itu, MPR menugaskan
Presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM itu secara
serius dan adil.
Namun, di lapangan kenyataannya kadang terasa menjengkelkan
ketika upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM Timtim tersendat-
sendat karena persoalan teknis prosedural. Pingpong antara DPR dan
pemerintah terjadi. Pananganan kasus Timtim bisa menjadi contoh.
Ketua Tim Penyidik Gabungan Kasus Pelanggaran HAM Timtim MA Rachman
menyatakan siap untuk melimpahkan berkas kasus pelanggaran HAM.
Namun, Rachman pun bertanya mau dilimpahkan ke mana karena Pengadilan
HAM Ad Hoc belum terbentuk.
Dalam Pasal 43 Undang-undang (UU) No 26/2000 disebutkan:
(1)Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc;
(2) Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat RI berdasarkan peristiwa
tertentu dengan Keputusan Presiden.
Pasal 43 itu sebenarnya sudah cukup jelas. Bahwa, pembentukan
Pengadilan HAM Ad Hoc adalah atas usulan DPR. Namun, apa yang ditulis
di undang-undang berbeda dengan kenyataan. Seperti dikatakan Ketua
DPR Akbar Tandjung bahwa pemerintah dalam hal ini Jaksa Agung diminta
untuk mengajukan kepada DPR soal pembentukan Peradilan HAM Ad Hoc
serta alasan-alasannya. Memang menjadi pertanyaan, mengapa Ketua DPR
harus menanti usulan dari pemerintah, kalau toh kewenangan untuk
membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc berada di tangan pemerintah.
Jaksa Agung Marzuki Darusman pun langsung menyambar pernyataan
Ketua DPR Akbar Tandjung. Kejaksaan pasti akan mengajukan surat
permintaan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. "Tidak perlu menunggu
reses, kejaksaan tinggal menunggu penyelesaian administratif saja,"
kata Marzuki. (Kompas, 21/12/2000)
Penegasan Marzuki itu seakan menutup pembicaraan soal Pengadilan
HAM Ad Hoc di media massa. Namun, hingga kini gelagat untuk segera
terbentuknya pengadilan terkait sama sekali belum terlihat. Nasib
korban pelanggaran HAM pun masih tetap tidak jelas.
Kalaupun permohonan pembentukan pengadilan HAM ad hoc telah
dilayangkan, mekanisme pengambilan keputusan bisa diprediksi tidak
akan mudah. Pengambilan keputusan di DPR soal perlu tidaknya
pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc-diprediksi tidak terlalu mudah.
Kepentingan faksi-faksi politik di DPR akan sangat me-nentukan.
Sebuah kelompok mungkin akan mendorong penuntasan kasus Timtim dan
kasus 27 Juli, kelompok lain mungkin akan mendesak penuntasan kasus
Priok atau Lampung. Bisa juga akan muncul kelompok yang menginginkan
kasus tahun 1965 dibongkar, namun ada juga kelompok yang menentang.
Proses pengambilan keputusan yang rumit sangat mungkin akan membuat
DPR tidak mengambil keputusan apa-apa, yang kemudian menempatkan DPR
sebagai lembaga yang menciptakan impunity.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar