Selasa, 11 Desember 2007

Sebuah Eksperimen di Era Transisi

KOMPAS

Rabu, 26 Sep 2001 Halaman: 8

Budiman Tanuredjo

Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Timtim
SEBUAH EKSPERIMEN DI ERA TRANSISI


PROSES transisi menuju demokrasi di belahan dunia mana pun akan
selalu dihadapkan pada masalah penyelesaian kejahatan kemanusiaan,
yang harus dihadapi pemerintahan baru. Itu terjadi di Afrika Selatan
dan Amerika Latin. Pola penanganan kasus-kasus tersebut akan sangat
menentukan mulus tidaknya sebuah proses transisi menuju demokrasi.

Begitu juga dengan Indonesia, sebuah pemerintahan demokratis yang
terbentuk setelah jatuhnya Soeharto, dihadapkan pada dua masalah
besar yang diwariskan yaitu kekerasan politik yang mengakibatkan
banyaknya korban manusia yang dilakukan Soeharto dan mesin politik
Orde Baru, khususnya militer, serta penjarahan harta milik negara
oleh Soeharto dan kroni serta mantan pejabat Orde Baru.

Proses transisi menuju demokrasi di Indonesia dan juga di belahan
lain ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan mengandung
derajat ketidakpastian yang tinggi. Transisi bisa mengarah kepada
demokrasi tapi sebaliknya bisa juga malah menciptakan keadaan yang
lebih buruk daripada pemerintahan sebelumnya.

Beberapa pakar skeptis dengan perkembangan transisi demokrasi di
Indonesia yang baru berusia tiga tahun lebih sejak Soeharto mundur 21
Mei 1998. Sikap skeptis itu didasarkan pada keraguan apakah Indonesia
mempunyai prasyarat untuk melaksanakan transisi demokrasi.

Realitas empirik membuat beberapa kalangan khawatir terhadap
proses transisi menuju demokrasi. Sebuah transisi demokrasi paling
tidak menuntut lahirnya seorang pemimpin nasional yang mempunyai gaya
kepemimpinan yang mempunyai kecakapan yang memadai.

Ketika transisi demokrasi menuntut adanya semangat untuk
berkompromi guna mencari penyelesaian, elite politik di Indonesia
ternyata terlalu cepat untuk terjebak dalam sebuah praktik
perpolitikan untuk memperebutkan kekuasaan. Padahal, elite politik
mempunyai tugas mencapai konsensus guna menyelesaikan permasalahan
warisan yang ditinggalkan rezim sebelumnya.
Satu modal yang dimiliki Indonesia saat ini untuk menjalani
proses transisi menuju demokrasi adalah dukungan internasional.

Masyarakat internasional memberikan dukungan kepada pemerintahan
Megawati Soekarnoputri untuk memimpin proses transisi menuju
demokrasi.

***

SALAH satu tugas yang harus diselesaikan pemerintahan Megawati
Soekarnoputri adalah menyelesaikan berbagai kasus kekerasan politik
yang dilakukan rezim yang, menurut Herbert Feith, adalah rezim
represif developmentalis. Tiga tahun lebih setelah Soeharto turun,
pemerintahan sipil yang terbentuk belum mampu mencapai sebuah
konsensus tentang bagaimana menyelesaikan kasus kekerasan politik
masa lalu.


Sidang Istimewa MPR yang diharapkan mampu memikirkan hal
itu ternyata lebih tertarik bagaimana menghentikan secepat mungkin
Presiden Abdurrahman Wahid yang memang tidak efektif menjalankan
pemerintahan. Yang terjadi hanyalah retorika dan perdebatan wacana di
media massa. Malahan, di era transisi itu terjadi lagi pelanggaran
HAM yang tak kalah beratnya dengan pelanggaran HAM pada masa lalu.
Begitu juga halnya dengan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Timur pascapenentuan
pendapat adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah
Soeharto turun. Berbeda dengan kasus pelanggaran HAM berat lainnya,
pelanggaran HAM Timtim mempunyai dimensi internasional yang sangat
besar.

Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) serta Komisi HAM PBB menaruh perhatian terhadap proses
peradilan yang akan dilangsungkan di Indonesia, pada bulan Desember
2001. Kepercayaan diberikan pada Indonesia untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM berat Timtim itu melalui mekanisme peradilan
nasional. Diberikannya kepercayaan bukanlah tanpa syarat.


Mekanisme pengadilan internasional tetap dimungkinkan untuk
mengambil alih kasus kejahatan kemanusiaan ketika Indonesia dinilai tak mampu
menyelenggarakan sebuah peradilan yang fair, tidak efektif dan tidak
independen. "Kita mengetahui itu, makanya kita upayakan membuat
sebuah peradilan yang fair," ujar Benjamin Mangkoedilaga, Ketua Tim
Persiapan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam percakapan dengan Kompas.

Pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc itu dikaitkan juga dengan
syarat pemulihan pemberian bantuan pendidikan militer yang akan
diberikan Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia. Meskipun pihak
Indonesia menampik digelarnya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus
Timtim akibat tekanan internasional, namun adanya kesan itu tak bisa
dihindarkan.

Pengadilan HAM Ad Hoc adalah sebuah eksperimen yang dicoba
dilakukan di era transisi ini. Proses itu juga akan menjadi test-case
bagi kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.

***

BENJAMIN tidak menampik bahwa apa yang akan digelar pada bulan
Desember 2001 adalah sebuah eksperimen, sebuah percobaan besar dengan
taruhan yang cukup besar. "Ya kita memang belum punya pengalaman
untuk menggelar Pengadilan HAM Ad Hoc, tapi kita coba saja. Bagi
kita, pengadilan HAM Ad Hoc ini bukan untuk menyenangkan atau tidak
menyenangkan suatu kelompok. Tapi kita berupaya untuk melangsungkan
sebuah proses peradilan yang fair," ujarnya.

Sesuai jadwal, Peradilan HAM Ad Hoc untuk pelanggaran HAM di
Timtim akan dilangsungkan pada bulan Desember 2001. Terjadinya
Peradilan HAM Ad Hoc, bukanlah sebuah proses yang terjadi begitu
saja. Ada sebuah proses panjang yang dimulai dengan pembentukan dan
pencabutan undang-undang yang mengatur masalah tersebut, melaksanakan
hukum tersebut untuk memulai tugas penyelidikan dan penyidikan, serta
proses peradilan.

Semua aktor yang terlibat juga menjalankan tugas dengan hal-hal
yang baru. Tugas yang diemban Albert Hasibuan selaku Ketua Komisi
Penyelidikan Pelanggaran HAM Timtim dan anggota lainnya adalah tugas
pertama yang dipikulnya berdasarkan hukum yang juga berubah. Pada
saat KPP HAM bekerja mereka mendasarkan diri pada Perpu Nomor 1/2000
tentang Pengadilan HAM dan kemudian di tengah perjalanan Perpu itu
dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan
HAM.

Begitu juga dengan MA Rachman (kini Jaksa Agung) melaksanakan
proses penyidikan dengan dasar hukum yang baru pula. Tugas Rachman,
menurut dia, telah selesai dan berkas tinggal dilimpahkan pada
Pengadilan HAM Ad Hoc yang sedang disiapkan Benjamin.

Benjamin telah menerima 60-an orang yang akan menjadi hakim ad
hoc. Mereka berasal dari kalangan perguruan tinggi di Indonesia yang
mempunyai pusat-pusat studi HAM. Benjamin dan timnya akan segera
melakukan seleksi dan kemudian mengusulkan sejumlah orang kepada
Presiden Megawati Soekarnoputri untuk ditetapkan sebagai hakim ad
hoc. Setelah terpilih, para hakim ad hoc itu akan diberikan sejumlah
pembekalan-pembekalan mengenai HAM dan masalah yang melingkupinya.

***

BANYAK orang yang khawatir tentang proses pelaksanaan Pengadilan
HAM Ad Hoc Timtim. Kekhawatiran itu bisa dimengerti mengingat dampak
dari kegagalan proses itu cukup besar. Yang sudah tampak adalah
dikaitkannya pemulihan bantuan militer dari Amerika Serikat dengan
pelaksanaan peradilan HAM Ad Hoc di Indonesia. Selain itu, kegagalan
Indonesia menggelar Pengadilan HAM Ad Hoc akan ikut menentukan wajah
pemerintahan Megawati untuk menyelesaikan berbagai persoalan
sejenis.

Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Graito Usodo menegaskan
bahwa TNI tidak akan menghalang-halangi proses peradilan HAM yang
akan dilangsungkan. Sejumlah perwira tinggi dan perwira menengah TNI,
politisi sipil, dan pimpinan milisi memang akan menjadi terdakwa
dalam kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Mereka dituduh sebagai
orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadi pembumihangusan bumi
Loro Sae baik sebelum dan setelah terjadinya pengumumuman jajak
pendapat.

Bisa diprediksi proses pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc Timtim
itu akan mendapatkan "perlawanan" dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Perlawanan itu akan muncul dari sisi politik maupun
dari sisi yuridis. Dari sisi yuridis, pandangan positivisme hukum
yang dianut banyak ahli hukum Indonesia akan menjadi alat perlawanan
yang cukup sengit untuk menyelamatkan para terdakwa dari hukuman
berat. Perbedaan persepsi dan cara pandang juga akan membuat proses
itu penuh tantangan.

Salah satu lubang yang akan dimanfaatkan tentunya adalah
Perubahan Kedua UUD 1945 sendiri yang secara tegas melarang prinsip
retroaktif. Prinsip retroaktif dianggap bertentangan dengan asas
legalitas dengan merujuk pada prinsip nullum delictum, nulla poena,
sine praevia lege poenali. Karena, tidak ada kejahatan, tiada tindak
pidana, tanpa lebih dahulu ada peraturan perundangannya. Pelanggaran
HAM di Timtim jelas terjadi sebelum ada UU Pengadilan HAM yang baru
berlaku 23 November 2000. Proses penyelidikan dan penyidikan yang
dilakukan dengan dua dasar hukum yang berbeda, Perpu No 1/1999 dan UU
No 26/2000 juga akan menjadi problem yuridis yang harus dipecahkan
dan menjadi perdebatan sengit dalam proses peradilan nantinya.
Lamanya penyidikan dan penuntutan yang ditentukan dalam undang-undang
akan menjadi masalah karena lamanya proses penyidikan itu tak sesuai
dengan realitas.


Hal lain yang bisa menjadi ganjalan adalah masih adanya perbedaan
persepsi tentang apa yang dimaksudkan dengan "pelanggaran HAM berat",
"pelanggaran HAM", dan tindak pidana biasa. Dalam pasal 7 UU No
26/2000 disebutkan: Pelanggaran HAM berat meliputi: (a) kejahatan
genosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedang dalam Pasal 9
disebutkan, Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis
yang diketahuinya bawa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil berupa (a) pembunuhan, (b) pemusnahan, (c)
perbudakan, (d) pengusiran, (e) perampasan kemerdekaan, (f)
penyiksaan, (g) perkosaan, (h) penganiayaan kelompok tertentu, (i)
penghilangan orang secara paksa, dan (j) kejahatan apartheid. Kata
kunci dari pelanggaran HAM berat adalah unsur meluas dan sistematis.

Beban pembuktian dalam Pengadilan HAM Ad Hoc tetap diemban oleh
jaksa penuntut umum. Cara berpikir jaksa yang fragmentaris yang
membagi kasus-kasus pelanggaran HAM dalam waktu dan tempat yang
berbeda memang mengkhawatirkan. Dikhawatirkan jaksa tak bisa
membuktikan adanya unsur meluas dan sistematis dalam kasus kejahatan
HAM Timtim. Masih adanya waktu sekitar dua bulan ada baiknya kalau
jaksa meneliti kembali dakwaan yang disusunnya. Dakwaan akan sangat
menentukan suskses tidaknya proses peradilan itu. Bahkan, bila perlu
kejaksaan pun menggunakan penuntut umum ad hoc. Selain karena alasan
profesionalisme, penunjukan penuntut umum ad hoc diharapkan bisa
meningkatkan derajat kepercayaan masyarakat internasional terhadap
lembaga penuntut umum itu sendiri.

***

TERLEPAS dari masih terbukanya lubang-lubang yuridis, salah satu
hal mendasar yang menjadi penting adalah kesadaran untuk memberikan
keadilan bagi para korban kekerasan politik. Ada empat hak korban
yang seharusnya menjadi titik perhatian bagi para aktor yang akan
terlibat dalam proses peradilan HAM Ad Hoc. Pertama, hak korban untuk
mengetahui kejadian sebenarnya dari peristiwa tersebut (victims right
to know the truth), kedua hak korban untuk mendapatkan keadilan
(victims right to justice). Ketiga, korban berhak untuk mendapatkan
pemulihan (victims right to reparation) dan keempat hak korban untuk
mendapatkan jaminan bahwa kekerasan tersebut tidak akan terulang
kembali (victims right at guaranteeing the non recurrence of
violation).

Memenuhi keempat hak korban jelas bukanlah sesuatu yang mudah.
Namun itu menjadi tanggung jawab negara. Perlu ada upaya untuk
memberikan keempat hak korban itu. Sikap negara yang hanya mendiamkan
dan menelantarkan korban tidak lain adalah upaya untuk melanggengkan
kekerasan dan menelantarkan korban.

Pandangan itu bukan hanya untuk kasus Timtim melainkan untuk
kasus-kasus lain yang juga tak kunjung bisa diselesaikan. Sebut saja
kasus Tanjung Priok, kasus penyerbuan kantor DPP PDI 27 Juli 1996,
kasus Talangsari Lampung, kasus kerusuhan 12-14 Mei 1998, serta kasus
Semanggi I dan Semanggi II.

Di akhir tulisan ini layak diketengahkan pandangan Richard
Goldstone dalam pengantar buku Human Rights in Political Transitions:
Gettysburg to Bosnia. Pandangan Goldstone itu kemudian dikutip ahli
hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto dalam artikelnya di
Kompas. Goldstone mengungkapkan: without justice, without
acknowledgement, future evil leaders will more easily be able to
manipulate historic grievances (tanpa keadilan, tanpa pengakuan,
pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih memudah
memanipulasi keluhan-keluhan historis).

Sebuah kejahatan kemanusiaan berskala luas yang memakan korban
jiwa manusia memang harus diungkapkan duduk soalnya, bagaimana proses
terjadinya, dan siapa yang harus bertanggung jawab. Itulah esensi
dari pengungkapkan apa yang disebut kebenaran (truth). Setelah
kebenaran bisa diungkapkan barulah bisa dipikirkan proses selanjutnya
yang mengarah kepada rekonsiliasi.

Tanpa ada proses pengungkapan kebenaran, publik tidak pernah tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Untuk kasus Timtim, apakah benar terjadi
pelanggaran HAM berat sebagaimana dituduhkan ataukah hanya ungkapan
kejengkelan dan kefrustrasian akibat lepasnya Timtim dari Indonesia,
harus terungkap dalam proses peradilan. Menjelaskan duduknya
persoalan dan memberikan keadilan akan menjadi tugas berat bagi
mereka yang akan terlibat dalam Pengadilan HAM Ad Hoc. Untuk itu,
kredibilitas dari para aktor akan sangat menentukan. Masyarakat akan
menyaksikan sebuah ekperimen yang akan digelar bulan Desember mendatang.