KOMPAS
Sabtu, 22 Desember 2007
Kontroversi Putusan MA!
Kita sengaja membikin judul di atas untuk menegaskan betapa kontroversinya putusan Mahkamah Agung soal Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan.
Putusan MA itu merupakan sebuah drama demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, KPU Sulsel menetapkan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang sebagai pemenang pilkada. Amin Syam-Mansyur Ramli, yang diajukan Partai Golkar, mengajukan keberatan ke MA. Selisih suara memang tipis: 1.432.572:1.404.910.
MA mengabulkan sebagian permohonan Amin Syam dan memerintahkan KPU Sulsel mengulang pilkada di empat kabupaten. Selain baru pertama kali terjadi dalam sejarah pilkada Indonesia, putusan itu telah melampaui kewenangan hakim agung dalam memutuskan sengketa pilkada dan mengabulkan sesuatu yang tidak diminta (ultra petita) oleh pemohon.
Putusan itu tidak bulat. Hakim agung senior yang sekaligus Ketua Majelis Paulus Effendi Lotulung dan Djoko Sarwoko kalah suara dengan tiga hakim lainnya, Hakim Nyakpa, Mansyur Kartayasa, dan Abdul Manan. Voting dilakukan ketika MA terdesak batas waktu penyelesaian sengketa pilkada yang hanya 14 hari.
Paulus dan Djoko berpendapat, kewenangan MA dalam sengketa pilkada dibatasi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Peraturan MA No 6/2005. Undang-undang memberi MA kewenangan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPUD dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Bukan pilkada ulang!
Namun, tiga hakim lainnya—yang sebelum menjadi hakim berprofesi sebagai dosen, jaksa, dan hakim agama—mempunyai pendapat berbeda. Mereka memutuskan Pilkada Sulsel di empat kabupaten diulang dalam waktu tiga hingga enam bulan. Putusan itu melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang dan melampaui tuntutan pemohon yang hanya mempersoalkan penghitungan suara di Gowa, Bone, dan Bantaeng. Tetapi dalam putusannya, MA memasukkan juga Tana Toraja.
Putusan itu berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, memicu eskalasi politik lokal dan tentunya mempunyai konsekuensi biaya. Problem lainnya adalah akan berakhirnya tugas KPU Sulsel pada Mei 2008.
Dari sisi prosedur, memang putusan MA bersifat final dan mengikat. Namun, UU MA memberi tempat untuk melakukan peninjauan kembali jika memang terjadi kesalahan nyata dalam putusan sebelumnya. Preseden soal itu sudah ada. MA pernah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memenangkan Badrul Kamal sebagai Wali Kota Depok. Putusan PT Jawa Barat itu dikoreksi MA dan MA kemudian memenangkan Nur Mahmudi Ismail sebagai Wali Kota Depok.
Mengacu pada kasus Depok, peninjauan kembali merupakan salah satu langkah hukum yang perlu dipikirkan. Namun, yang perlu disadari dari drama demokrasi itu adalah bahwa pada akhirnya kekuasaan seharusnya bukanlah tujuan akhir. Kekuasaan adalah alat pengabdian dan pengabdian itu bisa dilakukan di mana saja!
Sabtu, 22 Desember 2007
Jumat, 21 Desember 2007
Ketika Militer Berlindung di Balik Parlemen
KOMPAS
Rabu, 06 Feb 2002 Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
KETIKA MILITER BERLINDUNG DI BALIK PARLEMEN
KEPALA Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Endriartono Sutarto secara
tidak langsung membenarkan sikap perwira tinggi militer yang sudah
pensiun atau pun masih aktif untuk tidak memenuhi pemanggilan Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Trisakti-Semanggi I dan II.
Militer mencoba berlindung di balik apa yang disebutkan sebagai
sebuah "keputusan politik" DPR. "Keputusan politik" DPR dipersepsikan
sebagai vonis DPR bahwa kasus Trisakti, Semanggi I, dan II bukanlah
pelanggaran HAM berat sehingga tak bisa diadili di Pengadilan HAM Ad
Hoc. Sebab itu, mereka pun menolak dipanggil KPP HAM Trisakti
yang diketuai Dr Albert Hasibuan.
Sikap TNI untuk menolak panggilan KPP HAM itu diberi landasan
yuridis oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Mayjen Timor Manurung.
Dalam penjelasannya kepada pers secara tertulis, Manurung menggunakan
Pasal 43 UU No 26/2000 sebagai dalil untuk menolak pemeriksaan
perwira militer oleh KPP HAM. Pasal 43 (1) menyebutkan, pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pada Ayat (2) disebutkan, Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1) dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu
dengan Keputusan Presiden.
Benarkah ada "keputusan politik" DPR tentang ketiga kasus itu?
Argumentasi Endriartono dan Manurung tentunya mengacu pada hasil
Panitia Khusus (Pansus) Trisakti dan Semanggi I-II yang telah
disampaikan da-lam rapat paripurna DPR tanggal 9 Juli 2001. Mantan
Ketua Pansus Trisakti Panda Nababan telah membantah bahwa ada
"keputusan politik" DPR. "Tak ada keputusan politik, yang ada hanya
rekomendasi dan itu tidak mengikat," ujar Panda Nababan, anggota DPR
dari Fraksi PDI Perjuangan.
Melacak lebih jauh dokumen laporan yang Pansus Trisakti yang
dibacakan Nababan memang tidak pernah ada apa yang disebut sebagai
"keputusan politik" DPR. Yang disampaikan Pansus Trisakti adalah
sebuah kalimat yang dirumuskan sebagai berikut, "Dengan demikian,
laporan Pansus kepada Paripurna Dewan merekomendasikan untuk
meneruskan Pengadilan Umum/Militer yang telah dan sedang berjalan."
Rekomendasi yang disampaikan Pansus DPR itu diambil secara voting
di tingkat Pansus. Sesuai dengan daftar hadir, sebanyak 26 anggota
Pansus hadir. Namun, pada saat voting akan dilakukan, hanya 19
anggota DPR yang masih ada. Hasil voting itu menunjukkan sebanyak 14
suara setuju untuk merekomendasikan pengadilan umum/ militer dan lima
suara setuju dengan rekomendasi kepada Presiden untuk mengeluarkan
Kep-pres pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
***
SEJAK awal, suara di Pansus DPR sudah terbelah. Ada fraksi-fraksi
di DPR yang sejak awal berpendapat bahwa ketiga kasus itu adalah
pelanggaran HAM berat, yang harus diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.
Fraksi ini adalah Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Partai
Demokrasi Kasih Bangsa (F-PDKB). Sebaliknya, ada juga kekuatan
politik yang mendukung penyelesaian di Mahka-mah Militer. Mereka
adalah Fraksi TNI/Polri, Fraksi Partai Golkar (F-PG), Fraksi
Reformasi, Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), Fraksi Partai
Daulatul Ummat, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI). Fraksi
Kebangkitan Bangsa (F-KB) pada awalnya menyodorkan alternatif
rekonsiliasi, namun dalam perkembangannya bergabung dengan Fraksi PDI
Perjuangan.
Para pakar HAM yang diundang Pansus pun sejak awal juga mempunyai
kecenderungan berbeda. Dalam laporan Panda Nababan kepada sidang
paripurna DPR, disebutkan kecenderungan untuk menyelesaikan peristiwa
lewat Pengadilan HAM Ad Hoc diusulkan oleh Todung Mulya Lubis dan
Abdul Hakim Garuda Nusantara. Sedangkan kecenderungan untuk
menyelesaikan ketiga kasus itu melalui pengadilan biasa umum/militer)
diusulkan oleh Prof Dr Natabaya, Prof Budi Harsono, Prof Romli
Atmasasmita, dan Prof Muladi.
***
REKOMENDASI DPR itu dinilai terlalu jauh, karena sebenarnya tak
ada suatu pun Ketetapan MPR ataupun undang-undang yang memberikan
kewenangan pada DPR untuk menentukan kompetensi peradilan. Apakah
sebuah perkara akan diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Umum, Peradilan Agama, atau Peradilan Militer sama sekali
bukan kewenangan DPR untuk memutuskan. Itu adalah wilayah kekuasaan
yudikatif.
Sesuai dengan konstitusi dan semua produk hukum yang ada di Tanah
Air, hanya ada tiga fungsi DPR, yaitu melakukan penyusunan budget
bersama pemerintah, melaksanakan fungsi legislasi bersama pemerintah,
dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Tidak ada kewenangan
untuk menentukan kompetensi pengadilan atau menilai sebuah peristiwa
sebagai "tindak pidana biasa", "pelanggaran HAM", atau "pelanggaran
HAM berat".
Prinsip mayoritas sebagai mana ditunjukkan dalam voting ketika
Pansus Trisakti mengambil keputusan ternyata tidak selalu benar
adanya. Pendekatan mayoritas ternyata bisa saja menyesatkan dan
bahkan melanggar hukum itu sendiri. Rekomendasi DPR bahwa ketiga
kasus yang dikaji bukanlah pelanggaran HAM berat dan karena itu tak
bisa diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc adalah sebuah keputusan yang di
luar kompetensi DPR untuk memutuskan.
Lalu bagaimana kita menempatkan rekomendasi DPR berkaitan dengan
kasus Trisakti? Secara sosiologis, DPR telah begitu banyak membentuk
Pansus-pansus. Sebut saja Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), Pansus Aceh, Pansus Tanjung Priok, Pansus Bulog I. Semua
Pansus itu telah melahirkan sejumlah rekomendasi.
Pertanyaannya kemudian, apakah rekomendasi itu ditindaklanjuti.
Hasil Pansus BLBI, misalnya tetap saja sebagai hasil Pansus yang
tidak dihiraukan. Apakah hasil Pansus Bulog I yang merekomendasikan
proses hukum terhadap mantan Presiden Abdurrahman Wahid dilanjut-kan,
telah ditindaklanjuti? Fakta itu makin menunjukkan bahwa rekomendasi
Pansus DPR itu memang tidak mengikat.
***
FRAKSI-fraksi di DPR yang mendukung penyelesaian di Mahkamah
Militer melihat bahwa ketiga kasus itu (Trisakti, Semanggi, dan
Semanggi II) sangat berbeda dan tidak berkaitan satu sama lain. Kasus
Trisakti terjadi saat gerakan mahasiswa menumbangkan Presiden
Soeharto. Kasus Semanggi I dilakukan untuk menggagalkan Sidang
Istimewa MPR dan menuntut pembentukan apa yang disebut Presidium
Pemerintahan Rakyat. Kasus Semanggi II adalah gerakan mahasiswa
menggagalkan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya.
Mereka melihat gerakan-gerakan politik itu sebagai bentuk
"partisipasi politik" warga negara dalam sebuah momentum yang
berbeda, baik dalam dimensi waktu, peristiwa, maupun model
pengamanan. Mereka juga menyebutkan bahwa ketiga peristiwa itu tidak
dapat dinyatakan sebagai pelanggaran HAM, karena tidak terpenuhinya
unsur sistematis, terencana, konseptual, dan serta meluas.
Unsur sistematis tak terbukti karena rezim dan kasusnya berbeda.
Unsur terencana dan konseptual juga tidak terpenuhi, karenanya rezim
dan tujuannya partisipasi politik itu berbeda. Unsur meluas juga tak
bisa dipenuhi. Model analisa DPR ini menyerupai pekerjaan teknis
hakim untuk menentukan apakah unsur-unsur dari sebuah tindak pidana
terbukti atau tidak.
Sedangkan fraksi lain yang mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM
Ad Hoc ini melihat bahwa kekerasan demi kekerasan dilakukan aparat
keamanan dalam upaya membendung protes mahasiswa. Meski terbukti
tidak efektif, penggunaan kekerasan tetap digunakan sehingga sejumlah
korban tewas.
Dalam kasus Trisakti sebanyak empat mahasiswa tewas, lima orang
menderita luka parah akibat tembakan senjata api. Dalam Tragedi
Semanggi I, menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, sebanyak 16
orang tewas dan 456 orang luka-luka. Sedangkan dalam Tragedi Semanggi
II sebanyak 10 orang tewas dan delapan orang luka-luka.
Berdasarkan kenyataan dominannya penggunaan kekerasan oleh aparat
keamanan negara dalam menghadapi aksi mahasiwa, adalah lumrah bisa
muncul penilaian masyarakat bahwa setiap korban jatuh, maka hal ini
bukanlah akibat kesalahan prosedur, melainkan hasil dari prosedur
yang memang sengaja dipilih dan telah digariskan. Dengan cara
pandang itulah, maka diusulkan penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad
Hoc.
Melalui voting pada tingkat Pansus, DPR memilih model
penyelesaian di Mahkamah Militer. Sekarang sejauh mana reko-mendasi
itu dipatuhi oleh militer? Kenyataan menunjukkan baru kasus
penembakan empat mahasiswa Trisaktilah yang sudah diadili di Mahmil.
Sejumlah anggota Brigade Mobil (Brimob) telah dijatuhi hukuman oleh
Mahmil. Terakhir, Erick Kadir Suly dan kawan-kawan divonis enam tahun
penjara dan dipecat dari keanggotaan Brimob.
Lalu bagaimana dengan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Sejauh
ini, tak jelas penyelesaian penanganan kedua tragedi itu. Penembak
mahasiwa Universitas Indonesia Yap Yun Hap juga tak kunjung diproses
hu-kum. Minimal, publik tak pernah mengetahui bagaimana kelanjutan
kasus penembakan Yun Hap.
Kelanjutan penanganan Tra-gedi Semanggi I juga tak jelas. Tak ada
yang bertanggung ja-wab atau menyatakan bertanggung jawab atas
peristiwa bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa yang
menentang digelarnya Sidang Istime-wa MPR. Padahal, sejumlah
mahasiswa tewas.
Seriuskah militer menuntaskan kasus Semanggi I dan Semanggi II?
Dengan mengikuti logika pimpinan militer-bahwa TNI tunduk pada
apa yang dipersepsi sebagai "keputusan politik"-kita bisa melihat
sejauh mana kepatuhan militer tunduk pada "keputusan politik" DPR.
Rekomendasi Pansus DPR adalah menyelesaikan ketiga kasus itu melalui
Mahkamah Militer. Kenyataannya, baru sejumlah anggota Brimob (Polri)
yang diadili berkaitan dengan kasus Trisakti. Sedangkan Tragedi
Semanggi I dan II tetap gelap. Jadi, apakah itu bisa dikatakan TNI
tunduk pada "keputusan politik" DPR? Publiklah yang menilai.
***
PEMERIKSAAN oleh KPP HAM sebenarnya bukanlah sebuah peradilan.
Bukan pula sebagai sebuah vonis bersalah. Keputusan TNI untuk menolak
panggilan KPP HAM dengan berlindung di balik parlemen dan pasal-pasal
dalam hukum positif, menurut Luhut Pengaribuan, sebenarnya merugikan
TNI sendiri. Suatu kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara ketiga
peristiwa itu tak digunakan TNI oleh keputusan politik TNI sendiri.
Pemeriksaan KPP HAM itu tidak juga selalu berujung pada pengadilan,
karena masih akan diuji oleh Kejaksaan Agung dan juga DPR.
Pada saat akhir ternyata Polri berubah sikap. Mantan Kepala Polri
Jenderal (Purn) Roesman-hadi bersedia hadir asal pemanggilan sesuai
prosedur. Beberapa perwira Polri pun sudah datang ke KPP HAM dan
memberikan klarifikasi. KPP HAM pun menghargai sikap Polri.
TNI AD tampak tetap bersikukuh untuk menolak panggilan KPP HAM.
Setidaknya, itu tampak dari komentar Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI
Mayjen Timor Manurung yang menilai KPP HAM tidak sah.
Proses transisi demokrasi di Indonesia tampaknya masih akan
panjang. Penyelesaian masalah masa lalu yang menjadi tugas
pemerintahan transisi mengalami hambatan. Penolakan TNI secara tidak
langsung merupakan ujian bagi pemerintahan sipil Presiden Megawati
Soekarnoputri.
Pengamat politik Bara Hasibuan mengemukakan, Presiden Megawati
Soekarnoputri dituntut untuk tidak tinggal diam dalam melihat
penolakan yang ditunjukkan oleh pihak TNI dan Polri tersebut. Minimal
yang dapat dilakukan oleh Presiden adalah memberikan tekanan terhadap
pimpinan TNI untuk menunjukkan kerja samanya terhadap investigasi
yang sedang dilakukan oleh KPP HAM Trisakti.
Apalagi dalam pertemuan dengan KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan
II beberapa waktu yang lalu, Presiden Megawati memberikan dukungan
politik atas rencana pemanggilan beberapa perwira TNI oleh KPP HAM
Trisakti, Semanggi I dan II. Saatnyalah sekarang Presi-den
membuktikan ucapannya tersebut.
Presiden tidak perlu takut kalau tindakannya diartikan sebagai
bentuk intervensi terhadap institusi TNI, karena tekanan yang
diberikan bukan terhadap masalah internal organisasi TNI. Di sini
Presiden hanya ingin menunjukkan kepada TNI bahwa pemerintah
benar-benar committed terhadap upaya pe-negakan hukum kasus
pelanggaran HAM.
Proses penyelesaian hukum kasus Trisakti tampaknya akan berjalan
panjang dan mungkin akan ikut memanaskan suhu politik. Terutama jika
benar-benar prajurit TNI tak mau datang dan kemudian KPP HAM
menggunakan haknya untuk memanggil paksa atas izin Ketua Pengadilan.
Proses ke arah itu sedang dirintis dengan konsultasi antara KPP HAM
dengan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan.
Rabu, 06 Feb 2002 Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
KETIKA MILITER BERLINDUNG DI BALIK PARLEMEN
KEPALA Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Endriartono Sutarto secara
tidak langsung membenarkan sikap perwira tinggi militer yang sudah
pensiun atau pun masih aktif untuk tidak memenuhi pemanggilan Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Trisakti-Semanggi I dan II.
Militer mencoba berlindung di balik apa yang disebutkan sebagai
sebuah "keputusan politik" DPR. "Keputusan politik" DPR dipersepsikan
sebagai vonis DPR bahwa kasus Trisakti, Semanggi I, dan II bukanlah
pelanggaran HAM berat sehingga tak bisa diadili di Pengadilan HAM Ad
Hoc. Sebab itu, mereka pun menolak dipanggil KPP HAM Trisakti
yang diketuai Dr Albert Hasibuan.
Sikap TNI untuk menolak panggilan KPP HAM itu diberi landasan
yuridis oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Mayjen Timor Manurung.
Dalam penjelasannya kepada pers secara tertulis, Manurung menggunakan
Pasal 43 UU No 26/2000 sebagai dalil untuk menolak pemeriksaan
perwira militer oleh KPP HAM. Pasal 43 (1) menyebutkan, pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pada Ayat (2) disebutkan, Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1) dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu
dengan Keputusan Presiden.
Benarkah ada "keputusan politik" DPR tentang ketiga kasus itu?
Argumentasi Endriartono dan Manurung tentunya mengacu pada hasil
Panitia Khusus (Pansus) Trisakti dan Semanggi I-II yang telah
disampaikan da-lam rapat paripurna DPR tanggal 9 Juli 2001. Mantan
Ketua Pansus Trisakti Panda Nababan telah membantah bahwa ada
"keputusan politik" DPR. "Tak ada keputusan politik, yang ada hanya
rekomendasi dan itu tidak mengikat," ujar Panda Nababan, anggota DPR
dari Fraksi PDI Perjuangan.
Melacak lebih jauh dokumen laporan yang Pansus Trisakti yang
dibacakan Nababan memang tidak pernah ada apa yang disebut sebagai
"keputusan politik" DPR. Yang disampaikan Pansus Trisakti adalah
sebuah kalimat yang dirumuskan sebagai berikut, "Dengan demikian,
laporan Pansus kepada Paripurna Dewan merekomendasikan untuk
meneruskan Pengadilan Umum/Militer yang telah dan sedang berjalan."
Rekomendasi yang disampaikan Pansus DPR itu diambil secara voting
di tingkat Pansus. Sesuai dengan daftar hadir, sebanyak 26 anggota
Pansus hadir. Namun, pada saat voting akan dilakukan, hanya 19
anggota DPR yang masih ada. Hasil voting itu menunjukkan sebanyak 14
suara setuju untuk merekomendasikan pengadilan umum/ militer dan lima
suara setuju dengan rekomendasi kepada Presiden untuk mengeluarkan
Kep-pres pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
***
SEJAK awal, suara di Pansus DPR sudah terbelah. Ada fraksi-fraksi
di DPR yang sejak awal berpendapat bahwa ketiga kasus itu adalah
pelanggaran HAM berat, yang harus diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.
Fraksi ini adalah Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Partai
Demokrasi Kasih Bangsa (F-PDKB). Sebaliknya, ada juga kekuatan
politik yang mendukung penyelesaian di Mahka-mah Militer. Mereka
adalah Fraksi TNI/Polri, Fraksi Partai Golkar (F-PG), Fraksi
Reformasi, Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB), Fraksi Partai
Daulatul Ummat, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI). Fraksi
Kebangkitan Bangsa (F-KB) pada awalnya menyodorkan alternatif
rekonsiliasi, namun dalam perkembangannya bergabung dengan Fraksi PDI
Perjuangan.
Para pakar HAM yang diundang Pansus pun sejak awal juga mempunyai
kecenderungan berbeda. Dalam laporan Panda Nababan kepada sidang
paripurna DPR, disebutkan kecenderungan untuk menyelesaikan peristiwa
lewat Pengadilan HAM Ad Hoc diusulkan oleh Todung Mulya Lubis dan
Abdul Hakim Garuda Nusantara. Sedangkan kecenderungan untuk
menyelesaikan ketiga kasus itu melalui pengadilan biasa umum/militer)
diusulkan oleh Prof Dr Natabaya, Prof Budi Harsono, Prof Romli
Atmasasmita, dan Prof Muladi.
***
REKOMENDASI DPR itu dinilai terlalu jauh, karena sebenarnya tak
ada suatu pun Ketetapan MPR ataupun undang-undang yang memberikan
kewenangan pada DPR untuk menentukan kompetensi peradilan. Apakah
sebuah perkara akan diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Umum, Peradilan Agama, atau Peradilan Militer sama sekali
bukan kewenangan DPR untuk memutuskan. Itu adalah wilayah kekuasaan
yudikatif.
Sesuai dengan konstitusi dan semua produk hukum yang ada di Tanah
Air, hanya ada tiga fungsi DPR, yaitu melakukan penyusunan budget
bersama pemerintah, melaksanakan fungsi legislasi bersama pemerintah,
dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Tidak ada kewenangan
untuk menentukan kompetensi pengadilan atau menilai sebuah peristiwa
sebagai "tindak pidana biasa", "pelanggaran HAM", atau "pelanggaran
HAM berat".
Prinsip mayoritas sebagai mana ditunjukkan dalam voting ketika
Pansus Trisakti mengambil keputusan ternyata tidak selalu benar
adanya. Pendekatan mayoritas ternyata bisa saja menyesatkan dan
bahkan melanggar hukum itu sendiri. Rekomendasi DPR bahwa ketiga
kasus yang dikaji bukanlah pelanggaran HAM berat dan karena itu tak
bisa diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc adalah sebuah keputusan yang di
luar kompetensi DPR untuk memutuskan.
Lalu bagaimana kita menempatkan rekomendasi DPR berkaitan dengan
kasus Trisakti? Secara sosiologis, DPR telah begitu banyak membentuk
Pansus-pansus. Sebut saja Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), Pansus Aceh, Pansus Tanjung Priok, Pansus Bulog I. Semua
Pansus itu telah melahirkan sejumlah rekomendasi.
Pertanyaannya kemudian, apakah rekomendasi itu ditindaklanjuti.
Hasil Pansus BLBI, misalnya tetap saja sebagai hasil Pansus yang
tidak dihiraukan. Apakah hasil Pansus Bulog I yang merekomendasikan
proses hukum terhadap mantan Presiden Abdurrahman Wahid dilanjut-kan,
telah ditindaklanjuti? Fakta itu makin menunjukkan bahwa rekomendasi
Pansus DPR itu memang tidak mengikat.
***
FRAKSI-fraksi di DPR yang mendukung penyelesaian di Mahkamah
Militer melihat bahwa ketiga kasus itu (Trisakti, Semanggi, dan
Semanggi II) sangat berbeda dan tidak berkaitan satu sama lain. Kasus
Trisakti terjadi saat gerakan mahasiswa menumbangkan Presiden
Soeharto. Kasus Semanggi I dilakukan untuk menggagalkan Sidang
Istimewa MPR dan menuntut pembentukan apa yang disebut Presidium
Pemerintahan Rakyat. Kasus Semanggi II adalah gerakan mahasiswa
menggagalkan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya.
Mereka melihat gerakan-gerakan politik itu sebagai bentuk
"partisipasi politik" warga negara dalam sebuah momentum yang
berbeda, baik dalam dimensi waktu, peristiwa, maupun model
pengamanan. Mereka juga menyebutkan bahwa ketiga peristiwa itu tidak
dapat dinyatakan sebagai pelanggaran HAM, karena tidak terpenuhinya
unsur sistematis, terencana, konseptual, dan serta meluas.
Unsur sistematis tak terbukti karena rezim dan kasusnya berbeda.
Unsur terencana dan konseptual juga tidak terpenuhi, karenanya rezim
dan tujuannya partisipasi politik itu berbeda. Unsur meluas juga tak
bisa dipenuhi. Model analisa DPR ini menyerupai pekerjaan teknis
hakim untuk menentukan apakah unsur-unsur dari sebuah tindak pidana
terbukti atau tidak.
Sedangkan fraksi lain yang mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM
Ad Hoc ini melihat bahwa kekerasan demi kekerasan dilakukan aparat
keamanan dalam upaya membendung protes mahasiswa. Meski terbukti
tidak efektif, penggunaan kekerasan tetap digunakan sehingga sejumlah
korban tewas.
Dalam kasus Trisakti sebanyak empat mahasiswa tewas, lima orang
menderita luka parah akibat tembakan senjata api. Dalam Tragedi
Semanggi I, menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, sebanyak 16
orang tewas dan 456 orang luka-luka. Sedangkan dalam Tragedi Semanggi
II sebanyak 10 orang tewas dan delapan orang luka-luka.
Berdasarkan kenyataan dominannya penggunaan kekerasan oleh aparat
keamanan negara dalam menghadapi aksi mahasiwa, adalah lumrah bisa
muncul penilaian masyarakat bahwa setiap korban jatuh, maka hal ini
bukanlah akibat kesalahan prosedur, melainkan hasil dari prosedur
yang memang sengaja dipilih dan telah digariskan. Dengan cara
pandang itulah, maka diusulkan penyelesaian melalui Pengadilan HAM Ad
Hoc.
Melalui voting pada tingkat Pansus, DPR memilih model
penyelesaian di Mahkamah Militer. Sekarang sejauh mana reko-mendasi
itu dipatuhi oleh militer? Kenyataan menunjukkan baru kasus
penembakan empat mahasiswa Trisaktilah yang sudah diadili di Mahmil.
Sejumlah anggota Brigade Mobil (Brimob) telah dijatuhi hukuman oleh
Mahmil. Terakhir, Erick Kadir Suly dan kawan-kawan divonis enam tahun
penjara dan dipecat dari keanggotaan Brimob.
Lalu bagaimana dengan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Sejauh
ini, tak jelas penyelesaian penanganan kedua tragedi itu. Penembak
mahasiwa Universitas Indonesia Yap Yun Hap juga tak kunjung diproses
hu-kum. Minimal, publik tak pernah mengetahui bagaimana kelanjutan
kasus penembakan Yun Hap.
Kelanjutan penanganan Tra-gedi Semanggi I juga tak jelas. Tak ada
yang bertanggung ja-wab atau menyatakan bertanggung jawab atas
peristiwa bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa yang
menentang digelarnya Sidang Istime-wa MPR. Padahal, sejumlah
mahasiswa tewas.
Seriuskah militer menuntaskan kasus Semanggi I dan Semanggi II?
Dengan mengikuti logika pimpinan militer-bahwa TNI tunduk pada
apa yang dipersepsi sebagai "keputusan politik"-kita bisa melihat
sejauh mana kepatuhan militer tunduk pada "keputusan politik" DPR.
Rekomendasi Pansus DPR adalah menyelesaikan ketiga kasus itu melalui
Mahkamah Militer. Kenyataannya, baru sejumlah anggota Brimob (Polri)
yang diadili berkaitan dengan kasus Trisakti. Sedangkan Tragedi
Semanggi I dan II tetap gelap. Jadi, apakah itu bisa dikatakan TNI
tunduk pada "keputusan politik" DPR? Publiklah yang menilai.
***
PEMERIKSAAN oleh KPP HAM sebenarnya bukanlah sebuah peradilan.
Bukan pula sebagai sebuah vonis bersalah. Keputusan TNI untuk menolak
panggilan KPP HAM dengan berlindung di balik parlemen dan pasal-pasal
dalam hukum positif, menurut Luhut Pengaribuan, sebenarnya merugikan
TNI sendiri. Suatu kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara ketiga
peristiwa itu tak digunakan TNI oleh keputusan politik TNI sendiri.
Pemeriksaan KPP HAM itu tidak juga selalu berujung pada pengadilan,
karena masih akan diuji oleh Kejaksaan Agung dan juga DPR.
Pada saat akhir ternyata Polri berubah sikap. Mantan Kepala Polri
Jenderal (Purn) Roesman-hadi bersedia hadir asal pemanggilan sesuai
prosedur. Beberapa perwira Polri pun sudah datang ke KPP HAM dan
memberikan klarifikasi. KPP HAM pun menghargai sikap Polri.
TNI AD tampak tetap bersikukuh untuk menolak panggilan KPP HAM.
Setidaknya, itu tampak dari komentar Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI
Mayjen Timor Manurung yang menilai KPP HAM tidak sah.
Proses transisi demokrasi di Indonesia tampaknya masih akan
panjang. Penyelesaian masalah masa lalu yang menjadi tugas
pemerintahan transisi mengalami hambatan. Penolakan TNI secara tidak
langsung merupakan ujian bagi pemerintahan sipil Presiden Megawati
Soekarnoputri.
Pengamat politik Bara Hasibuan mengemukakan, Presiden Megawati
Soekarnoputri dituntut untuk tidak tinggal diam dalam melihat
penolakan yang ditunjukkan oleh pihak TNI dan Polri tersebut. Minimal
yang dapat dilakukan oleh Presiden adalah memberikan tekanan terhadap
pimpinan TNI untuk menunjukkan kerja samanya terhadap investigasi
yang sedang dilakukan oleh KPP HAM Trisakti.
Apalagi dalam pertemuan dengan KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan
II beberapa waktu yang lalu, Presiden Megawati memberikan dukungan
politik atas rencana pemanggilan beberapa perwira TNI oleh KPP HAM
Trisakti, Semanggi I dan II. Saatnyalah sekarang Presi-den
membuktikan ucapannya tersebut.
Presiden tidak perlu takut kalau tindakannya diartikan sebagai
bentuk intervensi terhadap institusi TNI, karena tekanan yang
diberikan bukan terhadap masalah internal organisasi TNI. Di sini
Presiden hanya ingin menunjukkan kepada TNI bahwa pemerintah
benar-benar committed terhadap upaya pe-negakan hukum kasus
pelanggaran HAM.
Proses penyelesaian hukum kasus Trisakti tampaknya akan berjalan
panjang dan mungkin akan ikut memanaskan suhu politik. Terutama jika
benar-benar prajurit TNI tak mau datang dan kemudian KPP HAM
menggunakan haknya untuk memanggil paksa atas izin Ketua Pengadilan.
Proses ke arah itu sedang dirintis dengan konsultasi antara KPP HAM
dengan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan.
Sebuah Kegamangan dalam Menentukan Pilihan
KOMPAS
Selasa, 04 Dec 2001 Halaman: 27
Budiman Tanuredjo
SEBUAH KEGAMANGAN DALAM MENENTUKAN PILIHAN
PROSES transisi menuju demokrasi di Indonesia, belum juga
menampilkan sosoknya yang jelas. Bahkan, mulai muncul kekhawatiran
dan pertanyaan apakah transisi di Indonesia memang sedang bergerak
menuju sebuah negara yang demokratis atau bakal kembali ke sistem
pemerintahan otoriter.
Jenderal Besar (Purn) Soeharto secara formal telah meninggalkan
kursi kepresidenannya, sejak 21 Mei 1998. Namun, pengaruh politik
Soeharto tetap bisa dirasakan hingga saat ini. Rentetan peristiwa
yang menyertai tertangkapnya putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala
Putra (Tommy Soeharto), menunjukkan bahwa pengaruh penguasa tunggal
Orde Baru itu masih besar.
Kepala Polda Metro Jaya Irjen Sofjan
Jacoeb memeluk buronan Tommy Soeharto yang tersenyum dan langsung
menggelar jumpa pers bersama, Panglima Daerah Militer Jaya Mayjen
Bibit Waluyo ikut datang ke Markas Polda Metro Jaya, anggota DPR juga
berlomba-lomba datang, sanak keluarga Soeharto pun dengan cukup
leluasa bisa menjenguk Tommy, seorang buronan kelas kakap.
Apa arti semua itu?
Praktisi hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara melihat peristiwa itu
menunjukkan masih adanya pengaruh politik Soeharto. Hal itu bisa
mengerti karena Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Dalam kurun waktu
lebih dari tiga dasawarsa, Soeharto mempunyai waktu yang cukup untuk
menempatkan orang-orangnya dan menciptakan loyalitas yang tinggi dari
para pendukungnya yang mendapatkan banyak kenikmatan dari penguasa
Orde Baru.
Pada saat berkuasa, Soeharto membangun sebuah sistem politik yang
di satu pihak mengukuhkan sebuah sistem kekuasaan yang
tersentralisasi dan di pihak lain mengeliminasi kontrol yang berada
di luar sistem. Akibatnya, terciptalah sebuah institusi sosial,
ekonomi, budaya, dan hukum, yang melayani kebutuhan kepentingan
kekuasaan Soeharto.
Dengan kata lain, semakin lama sebuah rezim otoritarian berkuasa
akan semakin kompleks pula jaringan penopang kekuasaan yang ia
bangun. Akibatnya, rezim transisi akan dihadapkan pada paradoks-
paradoks yang sulit untuk didamaikan. Pada satu sisi, rezim transisi
dihadapkan pada berbagai permasalahan masa lalu, pada sisi lain, ia
dihadapkan pada birokrasi korup yang merupakan warisan kekuasaan
lama.
***
TULISAN ini tidak akan membahas soal tertangkapnya Tommy
Soeharto, tetapi mencoba melihat proses transisi demokrasi di
Indonesia, di mana kekuatan lama harus ditempatkan sebagai faktor
yang determinan. Proses transisi demokrasi di Indonesia diibaratkan
sebagai "anggur lama yang dikemas dalam botol baru".
Salah satu masalah yang selalu menyertai proses transisi menuju
demokrasi sebagaimana yang terjadi negara Amerika Latin, Eropa
Selatan, dan Afrika Selatan adalah bagaimana rezim transisi
menyelesaikan kasus-kasus pada masa lalu, khususnya soal kejahatan
kemanusiaan.
Perilaku politik rezim otoritarian sebenarnya telah menimbulkan
gangguan yang signifikan pada tiga level hubungan, yakni state dan
society (negara dan masyarakat), society dan society (masyarakat dan
masyarakat), dan state dan state (negara dan negara). Gangguan atas
hubungan itulah yang kini diwariskan dan harus diselesaikan oleh
rezim transisi.
Hubungan state dan society bisa dilihat dari terjadi pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh aparat negara terhadap masyarakat akibat
kekerasan sistematik yang dilakukan pemerintahan Soeharto dalam upaya
mempertahankan kekuasaannya.
Hal ini bisa dilacak ke belakang hingga peristiwa pada tahun
1965, korban kekerasan akibat pelaksaaan daerah operasi militer (DOM)
di Aceh, peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, peristiwa penyerbuan
Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58 Jakarta yang kemudian
berubah menjadi kerusuhan sosial di Jakarta dan sekitarnya tahun
1996, peristiwa kerusuhan Mei, 12-15 Mei 1998 yang berakhir dengan
turunnya Soeharto.
Pada level masyarakat dan masyarakat, rezim otoritarian Soeharto
telah menciptakan sebuah masyarakat penuh prasangka-prasangka. Itu
bisa terjadi karena problem ideologis ataupun karena problem SARA.
Sebagai dampaknya, munculnya sinisme bahwa etnis Cina di Indonesia
terlalu memonopoli perdagangan dan menguasai sektor ekonomi dan
dianggap tidak nasionalis. Sementara pada sisi lain, pada era
Soeharto, kesempatan bagi etnis Cina untuk berkecimpung di sektor
politik, pendidikan sangat dibatasi. Kecurigaan juga muncul antara
satu kelompok dengan kelompok lain.
Pada level negara dan negara, terdapat perasaan anti-Jakarta di
beberapa daerah, khususnya di daerah konflik seperti Aceh dan Irian
Jaya. Perasaan itu muncul akibat kebijakan sentralistik dan
eksploitatif yang diterapkan rezim Orde Baru. Akibatnya, ketika rezim
otoritarian ambruk dan muncul sebuah pemerintahan transisi yang
lemah, terjadi "pemberontakan" dari daerah untuk melepaskan dari
dominasi pusat.
Sebuah diskursus yang ditawarkan untuk mengatasi
ketidakharmonisan hubungan di tiga level itu adalah rekonsiliasi.
Pakar sosiologi politik Universitas Airlangga Daniel Sparingga dalam
makalah berjudul "Upaya Menyelamatkan Masa Depan Bangsa dan Negara"
di Dewan Pertimbangan Agung, tanggal 6 Agustus 2001, mengemukakan,
rekonsiliasi secara semantik berarti: "memulihkan kembali relasi dan
kepercayaan atas dasar penghormatan pada prinsip kemanusiaan di
antara dua kelompok atau lebih yang dirusakkan oleh hubungan yang
tidak adil pada masa lalu."
Melihat pengalaman negara lain dalam proses transisi menuju
demokrasi, Abdul Hakim Garuda Nusantara melihat sebenarnya tak ada
model yang seragam untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan,
menurut Abdul Hakim, tidak ada negara yang bisa secara tuntas untuk
menyelesaikan kasus tersebut. Tuntas dalam artian semua pelanggar HAM
diadili dan kepada korban diberikan kompensasi.
Sparingga menyebutkan ada empat model yang lazim untuk
menyelesaikan masa lalu.
Model pertama adalah prinsip never to forget, never to forgive
(tidak melupakan, tidak memaafkan). Dalam bahasa sehari-hari pola ini
mengambil garis tegas: "adili dan hukum". Pola ini bisa dilihat di
Jerman, setelah runtuhnya rezim Fasis di bawah Hitler.
Model kedua adalah never to forget but to forgive (tidak pernah
melupakan, tetapi memaafkan). Dalam tataran praktis model ini bisa
dibahasakan sebagai "adili dan kemudian ampuni". Model ini diterapkan
di Korea Selatan ketika mantan Presiden Chun Doo-hwan diadili dan
kemudian diampuni. Model Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika
Selatan dengan pendekatan disclosure bisa dikategorikan masuk dalam
pola ini.
Model ketiga to forget but never to forgive (melupakan tetapi
tidak pernah memaafkan). Pada tataran praksis, model ini tidak
membutuhkan pengadilan, tetapi kejadian itu akan dikutuk selamanya.
Pola ini, menurut Sparingga, bisa dilihat pada cara masyarakat Eropa
melihat peristiwa inkuisisi yang dilakukan pada penganut ajaran
Protestan di Eropa pada abad pertengahan.
Model keempat adalah to forget and to forgive (melupakan dan
memaafkan). Artinya, tidak perlu ada pengadilan dan lupakan saja
peristiwa masa lalu. Pola ini diambil Spanyol segera setelah jatuhnya
diktator Franco di era tahun 1970-an. Pada pola ini, kepemimpinan
menjadi faktor yang deterministik. Adolfo Suares, sukses memimpin
proses yang oleh masyarakat Spanyol dikenal sebagai pola reforma-
pactada ruptura-pactada (reformasi dan pemutusan hubungan dengan masa
lalu yang dirundingkan).
Bagaimana dengan Indonesia?
"Indonesia belum menentukan pilihan yang jelas. Ada kegamangan-
kegamangan untuk mengambil keputusan. Akibatnya, pelanggaran HAM pada
masa lalu tidak pernah terungkapkan, sementara kerja-kerja untuk
membangun sistem politik yang lebih demokratis pun belum menampakkan
sosoknya," kata aktivis LSM yang terlibat dalam penyiapan draf
Rancangan Undang-undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Ketidakjelasan pola yang mau diambil atau ketidakseriusan memilih
model itu juga tampak dari produk-produk MPR. Dalam Sidang Tahunan
MPR tahun 2001, MPR telah memerintahkan untuk dibentuknya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.
Dalam Ketetapan (Tap) MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional, Komisi ini diposisikan sebagai
lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya
ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan
kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran HAM pada masa lalu, sesuai dengan ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku. Setelah pengungkapan kebenaran dapat
dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf,
perdamaian, penegakan hukum, amnesti, dan rehabilitasi serta
alternatif lain untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan
sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Dalam Tap MPR No VIII/ MPR/2000, MPR juga memerintahkan kepada
presiden untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM
secara serius dan adil. Perintah MPR itu dikeluarkan karena MPR
menilai penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih lamban,
diskriminatif dan belum tuntas, sementara pelanggaran HAM tetap
berlangsung.
Masa satu tahun dari Agustus 2000 hingga Agustus 2001, tugas-
tugas yang diperintahkan MPR itu tak dikerjakan. Yang terjadilah
adalah konflik antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR yang
berakhir dengan turunnya Abdurrahman Wahid dan digantikan Megawati
Soekarnoputri. Akibatnya, tugas pemerintah dan DPR untuk membuat RUU
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tak kunjung bisa diselesaikan.
Sampai akhirnya pada November 2001, melalui Tap MPR No
X/MPR/2001, MPR kembali menugaskan kepada Presiden dengan formulasi
yang sama dengan Tap MPR No VIII/MPR/ 2000 yaitu presiden segera
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dinilai MPR masih lamban dan
diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. MPR juga
memerintahkan Presiden dan DPR segera membuat RUU Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi.
***
ADALAH kenyataan bahwa sepanjang tahun 2001, hampir tidak ada
kasus pelanggaran HAM yang diadili. Kalaupun ada seperti diadilinya
sejumlah anggota Brimob yang dituduh telah menembak dan menewaskan
mahasiswa Trisakti di Mahkamah Militer II-08 Jakarta, dihadapkan pada
sebuah rendahnya kepercayaan publik.
Sementara, pengadilan kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur
(Timtim) pascapenentuan pendapat yang menurut Kejaksaan Agung sudah
selesai tingkat penyidikannya, masih diragukan bakal terwujud pada
bulan Desember 2001 ini. Hakim-hakim Ad Hoc yang direkrut Benjamin
Mangkoedilaga sampai catatan ini ditulis belum diketahui kapan akan
dilantik dan disahkan. Kalaupun, persidangan itu akan digelar, masih
juga diragukan apakah proses itu bisa memberikan keadilan dan
diterima sebagai sebuah proses peradilan yang fair dan impartial.
Ketika negara justru tidak terlalu bersemangat, yang justru
bersemangat adalah lembaga nonnegara seperti Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia. Komnas HAM justru banyak memproduksi Komisi-komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM ke berbagai daerah, seperti KPP HAM
Timtim, KPP HAM Tanjung Priok, KPP HAM Ambon (peristiwa Kebon
Cengkeh), KPP HAM Abepura (Irian Jaya), dan KPP HAM Sampit. Sebagian
berkas telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung, namun hingga kini
juga belum ketahuan ujung dari penyelidikan yang cukup membutuhkan
biaya mahal tersebut.
Bagi Abdul Hakim keterlambatan dalam proses penyelesaian masalah
masa lalu bukan semata-mata disebabkan karena persoalan teknis,
seperti perbedaan definisi soal rumusan pelanggaran HAM berat dan
pelanggaran HAM biasa atau soal belum adanya pengalaman untuk
menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan. "Masalahnya adalah tidak
ada komitmen politik dari rezim untuk menyelesaikan masalah masa
lalu. Itu saja," kata Abdul Hakim.
Para elite politik di era transisi, terlalu cepat masuk ke dalam
kancah perpolitikan sementara komitmen untuk menyelesaikan masalah
masa lalu, diperhitungkan dengan untung ruginya bagi kekuasaan.
Kepentingan politik praktis pragmatis untuk mempertahankan kekuasaan
atau mendapat kekuasaan lebih dominan dibandingkan sebuah komitmen
yang kuat untuk menyelesaikan masalah masa lalu, sebagai sebuah
fondasi menatap masa depan.
Pada tataran lain, kekuatan politik pendukung rezim otoritarian
Soeharto telah bermetamorfosa dan masuk ke dalam partai-partai
politik yang sekarang ini ada. Yang terjadi kemudian adalah partai-
partai politik menjadi seperti pelindung dari orang-orang yang
sebenarnya patut dimintai pertanggungjawabannya dalam berbagai kasus
kejahatan HAM maupun korupsi.
Problem krisis ekonomi yang berkepanjang sering juga kemudian
menyisihkan perdebatan soal transisi menuju demokrasi. Spanyol juga
dihadapkan hal seperti itu. Namun, PM Adolfo Suarez bisa mengambil
pilihan tepat dan mampu meyakinkan rakyatnya. Suares berpendapat,
selama ketidakpastian politik yang membayangi seluruh negara tidak
terpecahkan, tidak akan terjadi reaktivasi ekonomi dan tidak akan ada
stabilitas ekonomi. Suares memilih untuk membentuk institusi politik
yang sah untuk membuat keputusan-keputusan dan meninggalkan untuk
sementara reformasi ekonomi dan reformasi sosial.
Bagi Indonesia, selain krisis ekonomi juga dihadapkan pada
konflik horizontal dan ancaman pemisahan teritorial. Menurut
Sparingga, Indonesia juga dihadapkan pada langkanya leadership dan
common platform di tingkat negara (dua hal yang bisa menyelamatkan
transisi dari kegagalan).
Transisi politik di Indonesia ditandai dengan pertarungan
ideologi dan pertarungan kekuasaan yang kemudian menyingkirkan tema-
tema relevan dalam proses transisi menuju demokrasi dari khazanah
perdebatan publik. Akibatnya, upaya menyelesaikan masalah masa lalu
menjadi tidak mudah karena bercampurnya kepentingan politik bahkan
ideologis. Dan yang tak boleh dilupakan adalah pemain-pemain kunci
pada era transisi sekarang adalah pemain-pemain lama atau yang punya
kaitan erat dengan masa lalu.
Proses transisi menuju demokrasi yang seharusnya ditindaklanjuti
dengan konsolidasi kekuatan prodemokrasi ternyata tidak terjadi di
Indonesia. Yang melakukan konsolidasi justru kekuatan-kekuatan lama
yang sukses menempatkan orang-orang sebagai penguasa daerah,
sementara kekuatan yang menyebutkan proreformasi malah dihadapkan
pada perpecahan-perpecahan di antara mereka sendiri.
Terlepas dari semua perdebatan, pilihan politik tentang format
penyelesaian masalah masa lalu harus diambil. Dengan mengutip Richard
Goldstone dalam buku Human Rights in Political Transitions bahwa
without justice, without acknowledgement, future evil leaders will
more easily be able to manipulate historic grievances (tanpa
keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan
akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis).
Abdul Hakim melihat yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah
disintegrasi kekuatan proreformasi. Itu tampak di DPR ketika
memutuskan kasus pelanggaran HAM Trisakti dan juga pembentukan Pansus
Bulog II yang melibatkan Akbar Tandjung. Kekuatan proreformasi yang
pada saat kampanye meneriakkan perlunya pengadilan HAM bagi militer
yang berbuat salah, kekuatan yang berteriak keras ketika Abdurrahman
Wahid disangka terlibat dalam kasus Bulog I, kini berada dalam posisi
yang berbeda. Mereka menolak terbentuknya Pansus Bulog II, mereka
juga menolak Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Trisakti. Mengapa itu
semua terjadi? "Jelas sekali kepentingan kekuasaan jangka pendeklah
yang menjadi faktor penentu," demikian Abdul Hakim.
Selasa, 04 Dec 2001 Halaman: 27
Budiman Tanuredjo
SEBUAH KEGAMANGAN DALAM MENENTUKAN PILIHAN
PROSES transisi menuju demokrasi di Indonesia, belum juga
menampilkan sosoknya yang jelas. Bahkan, mulai muncul kekhawatiran
dan pertanyaan apakah transisi di Indonesia memang sedang bergerak
menuju sebuah negara yang demokratis atau bakal kembali ke sistem
pemerintahan otoriter.
Jenderal Besar (Purn) Soeharto secara formal telah meninggalkan
kursi kepresidenannya, sejak 21 Mei 1998. Namun, pengaruh politik
Soeharto tetap bisa dirasakan hingga saat ini. Rentetan peristiwa
yang menyertai tertangkapnya putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala
Putra (Tommy Soeharto), menunjukkan bahwa pengaruh penguasa tunggal
Orde Baru itu masih besar.
Kepala Polda Metro Jaya Irjen Sofjan
Jacoeb memeluk buronan Tommy Soeharto yang tersenyum dan langsung
menggelar jumpa pers bersama, Panglima Daerah Militer Jaya Mayjen
Bibit Waluyo ikut datang ke Markas Polda Metro Jaya, anggota DPR juga
berlomba-lomba datang, sanak keluarga Soeharto pun dengan cukup
leluasa bisa menjenguk Tommy, seorang buronan kelas kakap.
Apa arti semua itu?
Praktisi hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara melihat peristiwa itu
menunjukkan masih adanya pengaruh politik Soeharto. Hal itu bisa
mengerti karena Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Dalam kurun waktu
lebih dari tiga dasawarsa, Soeharto mempunyai waktu yang cukup untuk
menempatkan orang-orangnya dan menciptakan loyalitas yang tinggi dari
para pendukungnya yang mendapatkan banyak kenikmatan dari penguasa
Orde Baru.
Pada saat berkuasa, Soeharto membangun sebuah sistem politik yang
di satu pihak mengukuhkan sebuah sistem kekuasaan yang
tersentralisasi dan di pihak lain mengeliminasi kontrol yang berada
di luar sistem. Akibatnya, terciptalah sebuah institusi sosial,
ekonomi, budaya, dan hukum, yang melayani kebutuhan kepentingan
kekuasaan Soeharto.
Dengan kata lain, semakin lama sebuah rezim otoritarian berkuasa
akan semakin kompleks pula jaringan penopang kekuasaan yang ia
bangun. Akibatnya, rezim transisi akan dihadapkan pada paradoks-
paradoks yang sulit untuk didamaikan. Pada satu sisi, rezim transisi
dihadapkan pada berbagai permasalahan masa lalu, pada sisi lain, ia
dihadapkan pada birokrasi korup yang merupakan warisan kekuasaan
lama.
***
TULISAN ini tidak akan membahas soal tertangkapnya Tommy
Soeharto, tetapi mencoba melihat proses transisi demokrasi di
Indonesia, di mana kekuatan lama harus ditempatkan sebagai faktor
yang determinan. Proses transisi demokrasi di Indonesia diibaratkan
sebagai "anggur lama yang dikemas dalam botol baru".
Salah satu masalah yang selalu menyertai proses transisi menuju
demokrasi sebagaimana yang terjadi negara Amerika Latin, Eropa
Selatan, dan Afrika Selatan adalah bagaimana rezim transisi
menyelesaikan kasus-kasus pada masa lalu, khususnya soal kejahatan
kemanusiaan.
Perilaku politik rezim otoritarian sebenarnya telah menimbulkan
gangguan yang signifikan pada tiga level hubungan, yakni state dan
society (negara dan masyarakat), society dan society (masyarakat dan
masyarakat), dan state dan state (negara dan negara). Gangguan atas
hubungan itulah yang kini diwariskan dan harus diselesaikan oleh
rezim transisi.
Hubungan state dan society bisa dilihat dari terjadi pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh aparat negara terhadap masyarakat akibat
kekerasan sistematik yang dilakukan pemerintahan Soeharto dalam upaya
mempertahankan kekuasaannya.
Hal ini bisa dilacak ke belakang hingga peristiwa pada tahun
1965, korban kekerasan akibat pelaksaaan daerah operasi militer (DOM)
di Aceh, peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, peristiwa penyerbuan
Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58 Jakarta yang kemudian
berubah menjadi kerusuhan sosial di Jakarta dan sekitarnya tahun
1996, peristiwa kerusuhan Mei, 12-15 Mei 1998 yang berakhir dengan
turunnya Soeharto.
Pada level masyarakat dan masyarakat, rezim otoritarian Soeharto
telah menciptakan sebuah masyarakat penuh prasangka-prasangka. Itu
bisa terjadi karena problem ideologis ataupun karena problem SARA.
Sebagai dampaknya, munculnya sinisme bahwa etnis Cina di Indonesia
terlalu memonopoli perdagangan dan menguasai sektor ekonomi dan
dianggap tidak nasionalis. Sementara pada sisi lain, pada era
Soeharto, kesempatan bagi etnis Cina untuk berkecimpung di sektor
politik, pendidikan sangat dibatasi. Kecurigaan juga muncul antara
satu kelompok dengan kelompok lain.
Pada level negara dan negara, terdapat perasaan anti-Jakarta di
beberapa daerah, khususnya di daerah konflik seperti Aceh dan Irian
Jaya. Perasaan itu muncul akibat kebijakan sentralistik dan
eksploitatif yang diterapkan rezim Orde Baru. Akibatnya, ketika rezim
otoritarian ambruk dan muncul sebuah pemerintahan transisi yang
lemah, terjadi "pemberontakan" dari daerah untuk melepaskan dari
dominasi pusat.
Sebuah diskursus yang ditawarkan untuk mengatasi
ketidakharmonisan hubungan di tiga level itu adalah rekonsiliasi.
Pakar sosiologi politik Universitas Airlangga Daniel Sparingga dalam
makalah berjudul "Upaya Menyelamatkan Masa Depan Bangsa dan Negara"
di Dewan Pertimbangan Agung, tanggal 6 Agustus 2001, mengemukakan,
rekonsiliasi secara semantik berarti: "memulihkan kembali relasi dan
kepercayaan atas dasar penghormatan pada prinsip kemanusiaan di
antara dua kelompok atau lebih yang dirusakkan oleh hubungan yang
tidak adil pada masa lalu."
Melihat pengalaman negara lain dalam proses transisi menuju
demokrasi, Abdul Hakim Garuda Nusantara melihat sebenarnya tak ada
model yang seragam untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan,
menurut Abdul Hakim, tidak ada negara yang bisa secara tuntas untuk
menyelesaikan kasus tersebut. Tuntas dalam artian semua pelanggar HAM
diadili dan kepada korban diberikan kompensasi.
Sparingga menyebutkan ada empat model yang lazim untuk
menyelesaikan masa lalu.
Model pertama adalah prinsip never to forget, never to forgive
(tidak melupakan, tidak memaafkan). Dalam bahasa sehari-hari pola ini
mengambil garis tegas: "adili dan hukum". Pola ini bisa dilihat di
Jerman, setelah runtuhnya rezim Fasis di bawah Hitler.
Model kedua adalah never to forget but to forgive (tidak pernah
melupakan, tetapi memaafkan). Dalam tataran praktis model ini bisa
dibahasakan sebagai "adili dan kemudian ampuni". Model ini diterapkan
di Korea Selatan ketika mantan Presiden Chun Doo-hwan diadili dan
kemudian diampuni. Model Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika
Selatan dengan pendekatan disclosure bisa dikategorikan masuk dalam
pola ini.
Model ketiga to forget but never to forgive (melupakan tetapi
tidak pernah memaafkan). Pada tataran praksis, model ini tidak
membutuhkan pengadilan, tetapi kejadian itu akan dikutuk selamanya.
Pola ini, menurut Sparingga, bisa dilihat pada cara masyarakat Eropa
melihat peristiwa inkuisisi yang dilakukan pada penganut ajaran
Protestan di Eropa pada abad pertengahan.
Model keempat adalah to forget and to forgive (melupakan dan
memaafkan). Artinya, tidak perlu ada pengadilan dan lupakan saja
peristiwa masa lalu. Pola ini diambil Spanyol segera setelah jatuhnya
diktator Franco di era tahun 1970-an. Pada pola ini, kepemimpinan
menjadi faktor yang deterministik. Adolfo Suares, sukses memimpin
proses yang oleh masyarakat Spanyol dikenal sebagai pola reforma-
pactada ruptura-pactada (reformasi dan pemutusan hubungan dengan masa
lalu yang dirundingkan).
Bagaimana dengan Indonesia?
"Indonesia belum menentukan pilihan yang jelas. Ada kegamangan-
kegamangan untuk mengambil keputusan. Akibatnya, pelanggaran HAM pada
masa lalu tidak pernah terungkapkan, sementara kerja-kerja untuk
membangun sistem politik yang lebih demokratis pun belum menampakkan
sosoknya," kata aktivis LSM yang terlibat dalam penyiapan draf
Rancangan Undang-undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
Abdul Hakim Garuda Nusantara.
Ketidakjelasan pola yang mau diambil atau ketidakseriusan memilih
model itu juga tampak dari produk-produk MPR. Dalam Sidang Tahunan
MPR tahun 2001, MPR telah memerintahkan untuk dibentuknya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.
Dalam Ketetapan (Tap) MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional, Komisi ini diposisikan sebagai
lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya
ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan
kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran HAM pada masa lalu, sesuai dengan ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku. Setelah pengungkapan kebenaran dapat
dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf,
perdamaian, penegakan hukum, amnesti, dan rehabilitasi serta
alternatif lain untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan
sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Dalam Tap MPR No VIII/ MPR/2000, MPR juga memerintahkan kepada
presiden untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM
secara serius dan adil. Perintah MPR itu dikeluarkan karena MPR
menilai penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih lamban,
diskriminatif dan belum tuntas, sementara pelanggaran HAM tetap
berlangsung.
Masa satu tahun dari Agustus 2000 hingga Agustus 2001, tugas-
tugas yang diperintahkan MPR itu tak dikerjakan. Yang terjadilah
adalah konflik antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR yang
berakhir dengan turunnya Abdurrahman Wahid dan digantikan Megawati
Soekarnoputri. Akibatnya, tugas pemerintah dan DPR untuk membuat RUU
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tak kunjung bisa diselesaikan.
Sampai akhirnya pada November 2001, melalui Tap MPR No
X/MPR/2001, MPR kembali menugaskan kepada Presiden dengan formulasi
yang sama dengan Tap MPR No VIII/MPR/ 2000 yaitu presiden segera
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dinilai MPR masih lamban dan
diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. MPR juga
memerintahkan Presiden dan DPR segera membuat RUU Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi.
***
ADALAH kenyataan bahwa sepanjang tahun 2001, hampir tidak ada
kasus pelanggaran HAM yang diadili. Kalaupun ada seperti diadilinya
sejumlah anggota Brimob yang dituduh telah menembak dan menewaskan
mahasiswa Trisakti di Mahkamah Militer II-08 Jakarta, dihadapkan pada
sebuah rendahnya kepercayaan publik.
Sementara, pengadilan kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur
(Timtim) pascapenentuan pendapat yang menurut Kejaksaan Agung sudah
selesai tingkat penyidikannya, masih diragukan bakal terwujud pada
bulan Desember 2001 ini. Hakim-hakim Ad Hoc yang direkrut Benjamin
Mangkoedilaga sampai catatan ini ditulis belum diketahui kapan akan
dilantik dan disahkan. Kalaupun, persidangan itu akan digelar, masih
juga diragukan apakah proses itu bisa memberikan keadilan dan
diterima sebagai sebuah proses peradilan yang fair dan impartial.
Ketika negara justru tidak terlalu bersemangat, yang justru
bersemangat adalah lembaga nonnegara seperti Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia. Komnas HAM justru banyak memproduksi Komisi-komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM ke berbagai daerah, seperti KPP HAM
Timtim, KPP HAM Tanjung Priok, KPP HAM Ambon (peristiwa Kebon
Cengkeh), KPP HAM Abepura (Irian Jaya), dan KPP HAM Sampit. Sebagian
berkas telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung, namun hingga kini
juga belum ketahuan ujung dari penyelidikan yang cukup membutuhkan
biaya mahal tersebut.
Bagi Abdul Hakim keterlambatan dalam proses penyelesaian masalah
masa lalu bukan semata-mata disebabkan karena persoalan teknis,
seperti perbedaan definisi soal rumusan pelanggaran HAM berat dan
pelanggaran HAM biasa atau soal belum adanya pengalaman untuk
menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan. "Masalahnya adalah tidak
ada komitmen politik dari rezim untuk menyelesaikan masalah masa
lalu. Itu saja," kata Abdul Hakim.
Para elite politik di era transisi, terlalu cepat masuk ke dalam
kancah perpolitikan sementara komitmen untuk menyelesaikan masalah
masa lalu, diperhitungkan dengan untung ruginya bagi kekuasaan.
Kepentingan politik praktis pragmatis untuk mempertahankan kekuasaan
atau mendapat kekuasaan lebih dominan dibandingkan sebuah komitmen
yang kuat untuk menyelesaikan masalah masa lalu, sebagai sebuah
fondasi menatap masa depan.
Pada tataran lain, kekuatan politik pendukung rezim otoritarian
Soeharto telah bermetamorfosa dan masuk ke dalam partai-partai
politik yang sekarang ini ada. Yang terjadi kemudian adalah partai-
partai politik menjadi seperti pelindung dari orang-orang yang
sebenarnya patut dimintai pertanggungjawabannya dalam berbagai kasus
kejahatan HAM maupun korupsi.
Problem krisis ekonomi yang berkepanjang sering juga kemudian
menyisihkan perdebatan soal transisi menuju demokrasi. Spanyol juga
dihadapkan hal seperti itu. Namun, PM Adolfo Suarez bisa mengambil
pilihan tepat dan mampu meyakinkan rakyatnya. Suares berpendapat,
selama ketidakpastian politik yang membayangi seluruh negara tidak
terpecahkan, tidak akan terjadi reaktivasi ekonomi dan tidak akan ada
stabilitas ekonomi. Suares memilih untuk membentuk institusi politik
yang sah untuk membuat keputusan-keputusan dan meninggalkan untuk
sementara reformasi ekonomi dan reformasi sosial.
Bagi Indonesia, selain krisis ekonomi juga dihadapkan pada
konflik horizontal dan ancaman pemisahan teritorial. Menurut
Sparingga, Indonesia juga dihadapkan pada langkanya leadership dan
common platform di tingkat negara (dua hal yang bisa menyelamatkan
transisi dari kegagalan).
Transisi politik di Indonesia ditandai dengan pertarungan
ideologi dan pertarungan kekuasaan yang kemudian menyingkirkan tema-
tema relevan dalam proses transisi menuju demokrasi dari khazanah
perdebatan publik. Akibatnya, upaya menyelesaikan masalah masa lalu
menjadi tidak mudah karena bercampurnya kepentingan politik bahkan
ideologis. Dan yang tak boleh dilupakan adalah pemain-pemain kunci
pada era transisi sekarang adalah pemain-pemain lama atau yang punya
kaitan erat dengan masa lalu.
Proses transisi menuju demokrasi yang seharusnya ditindaklanjuti
dengan konsolidasi kekuatan prodemokrasi ternyata tidak terjadi di
Indonesia. Yang melakukan konsolidasi justru kekuatan-kekuatan lama
yang sukses menempatkan orang-orang sebagai penguasa daerah,
sementara kekuatan yang menyebutkan proreformasi malah dihadapkan
pada perpecahan-perpecahan di antara mereka sendiri.
Terlepas dari semua perdebatan, pilihan politik tentang format
penyelesaian masalah masa lalu harus diambil. Dengan mengutip Richard
Goldstone dalam buku Human Rights in Political Transitions bahwa
without justice, without acknowledgement, future evil leaders will
more easily be able to manipulate historic grievances (tanpa
keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan
akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis).
Abdul Hakim melihat yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah
disintegrasi kekuatan proreformasi. Itu tampak di DPR ketika
memutuskan kasus pelanggaran HAM Trisakti dan juga pembentukan Pansus
Bulog II yang melibatkan Akbar Tandjung. Kekuatan proreformasi yang
pada saat kampanye meneriakkan perlunya pengadilan HAM bagi militer
yang berbuat salah, kekuatan yang berteriak keras ketika Abdurrahman
Wahid disangka terlibat dalam kasus Bulog I, kini berada dalam posisi
yang berbeda. Mereka menolak terbentuknya Pansus Bulog II, mereka
juga menolak Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Trisakti. Mengapa itu
semua terjadi? "Jelas sekali kepentingan kekuasaan jangka pendeklah
yang menjadi faktor penentu," demikian Abdul Hakim.
Tren Pelemahan Komisi Negara
KOMPAS
19 Desember 2007-
Halaman 45
Lembaga Negara
Tren Pelemahan Komisi Negara
Budiman Tanuredjo
....Komisi Yudisial harus kita jaga. Di dalam dan melalui komisi ini kita berharap keadilan masih bisa ditegakkan. Dari mereka kita peroleh keadilan hukum yang melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah kita. Dari komisi ini kita himpun kekuatan para hakim yang dengan teguh masih menjaga integritas moral sebagai abdi hukum untuk menyelamatkan dan melanjutkan agenda reformasi peradilan. Maka, kembalikan kewenangan komisi ini agar pengawasan terhadap tingkat laku hakim-hakim yang selama ini menodai martabat diri dan profesi mereka dapat dilakukan secara efisien. Kembalikan kewenangan Komisi Yudisial untuk bersama seluruh rakyat melawan mafia peradilan.
— Jakarta, hari Sabtu, 15 Desember 2007.
Petisi bertajuk ”Kami Haus Keadilan” itu ditandatangani WS Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainun Najib, Mohamad Sobary, Abdurrahman Wahid, Adnan Buyung Nasution, dan Nathan Setiabudi. Petisi itu dikemas dalam bentuk panggung budaya bertema ”Keadilan Sosial antara Cita dan Realitas”, Sabtu malam.
Sangat boleh jadi, apa yang dilakukan Komisi Yudisial merupakan sebuah bentuk perlawanan kultural atas berbagai ”perampasan” kewenangan yang telah diberikan kepadanya. Komisi Yudisial memang dalam posisi yang tidak menguntungkan setelah salah seorang komisionernya, Irawady Joenoes, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kini sedang diadili.Komisi Yudisial adalah salah satu komisi negara yang terbentuk pasca-Orde Baru yang tampaknya berpotensi untuk didorong menjadi komisi negara yang gagal. Kewenangannya dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi (MK), salah seorang komisionernya diadili atas tuduhan menerima suap.
Upaya untuk membangun kembali citra dan meraih kembali dukungan publik tampaknya sedang diupayakan oleh komisi tersebut.Sejumlah tokoh dalam petisinya berteriak demikian keras. ”Kita waspada terhadap kekuatan-kekuatan antireformasi yang masih bercokol di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tahun demi tahun lewat, tapi hasil yang kita harapkan dari reformasi sama sekali belum memadai,” tulis petisi itu.
Ia melanjutkan, ”Jaringan dan wujud organisasi antireformasi itu mungkin tidak ada, setidaknya tidak kasatmata, tapi pengaruh dan akibat-akibatnya sangat terasa. Di seluruh Tanah Air, lembaga peradilan kita tetap kotor dan kita tak perlu menjadi ahli hukum untuk menyimpulkan bahwa pengadilan-pengadilan kita bukanlah tempat rakyat mencari keadilan.”
Pada intinya, petisi itu mau mengatakan satu hal: kembalikan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial!
Gelombang normalisasi
Komisi Yudisial adalah satu dari puluhan komisi negara yang dibentuk pasca-Orde Baru. Pembentukan komisi negara (state auxiliary body) menandai masa transisi demokrasi di Indonesia. Dilandasi ketidakpercayaan terhadap semua yang berbau negara, eforia publik ikut mendorong lahirnya komisi-komisi negara. ”Awalnya adalah adanya ketidakpercayaan terhadap unsur-unsur negara,” ujar Satya Arinanto, ahli hukum tata negara Universitas Indonesia, dalam percakapan dengan Kompas, Senin (17/12).
Hal senada disampaikan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur II). Kelahiran komisi negara diawali dengan semangat untuk meniadakan kekuasaan dominan dalam segi tiga kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Namun, dalam perkembangannya, kata Benny, komisi-komisi negara itu tak cukup punya daya tahan. Ia terasa kedodoran dalam perjalanannya.Kolega Benny di Komisi III DPR, Prof Dr Gayus Lumbuun, melihat merebaknya komisi-komisi negara yang tumbuh pasca-Orde Baru dan kemudian meredup pasca-Orde Baru lebih banyak disebabkan oleh ketidakjelasan politik negara di bidang hukum. ”Bagaimana ketika komisi negara dibentuk dan kemudian kini bagaimana dijalankan, tidak nyambung,” ujar Gayus yang juga ahli hukum administrasi negara.Pascatumbangnya Presiden Soeharto, komisi-komisi negara tumbuh di berbagai cabang kekuasaan.
Di cabang kekuasaan yudikatif muncul Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi serta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hadir pula Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk Presiden Soeharto masih tetap eksis hingga kini meski perannya tampaknya juga mulai meredup.Bagi Benny Harman, komisi negara itu tidak punya daya tahan karena melemahnya dukungan publik dan adanya kebangkitan kembali potensi kekuatan otoritarian.
Sesuai fitrahnya, kekuasaan tak suka diawasi. Karena itu, munculnya komisi-komisi negara yang punya semangat mengawasi kini mulai terasa mengganggu. ”Semangat otoritarian mulai bangkit dan menyergap komisi-komisi negara,” ujar Benny yang memperkirakan ”masa depan komisi negara bisa menjadi tidak jelas”.
Apa yang terjadi pada Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut Satya, adalah sebuah pelampiasan dendam politik dari politisi di DPR. Pelemahan KPK adalah wujud ketidakpuasan politik politisi di parlemen yang merasa tidak nyaman dengan gebrakan KPK. Namun, Gayus menampik tuduhan upaya pelemahan KPK oleh DPR. ”Saya kira bukan pelemahan, tapi mungkin keinginan untuk mengendalikan. Dalam politik itu wajar saja,” katanya.
Kecenderungan pelemahan komisi negara tampak dari bubarnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi yang didesain untuk mengungkap kebenaran dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu itu kandas nasibnya di tangan MK. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun nasibnya ”digantung” MK yang memberikan tenggat tiga tahun bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nasib Komisi Yudisial pun tidak lebih baik. Kewenangan pengawasan yang diberikan kepadanya pun dipangkas MK, setelah sejumlah hakim agung mengajukan uji materi.Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak luput dari intervensi kepentingan politik.
Dipilihnya salah seorang anggota KPU yang berstatus tersangka, dan kini sedang diadili, bisa dibaca sebagai keinginan untuk tetap menempatkan KPU dalam kendali kekuatan politik. Akibatnya, KPU pun masih dalam status bermasalah karena keanggotaannya yang tidak lengkap sesuai undang-undang.
Pertarungan tiga lembaga
Mahkamah Konstitusi menjalankan perannya yang sangat sentral dalam kiprahnya lima tahun ini. Ia menjadi lembaga yang mendobrak kukuhnya ”Tembok Berlin”. Perjuangan untuk mencabut pasal-pasal penyebaran kebencian dalam KUHP (hatzaai artikelen) yang lama diperjuangkan berhasil di tangan MK. Terakhir putusan MK memberikan izin bagi calon perseorangan untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah. Putusan MK itu tidak disukai parpol yang selama ini menjadi satu-satunya perahu menuju ke kekuasaan.
Politisi di DPR selalu mempersoalkan keputusan sembilan hakim konstitusi yang membatalkan produk undang-undang yang dihasikan 500 anggota DPR. DPR merasa lebih super, tetapi kini kewenangan DPR itu bisa dikoreksi MK yang menempatkan dirinya sebagai penjaga konstitusi.
Demikian strategisnya posisi MK—karena kewenangannya diturunkan UUD 1945—membuat posisi lembaga itu susah untuk digoyang. Salah satu langkah yang mungkin dilakukan adalah bagaimana proses seleksi hakim konstitusi.Kebetulan pada tahun 2008 sembilan hakim konstitusi akan berakhir masa jabatannya. Di sinilah ruang terbuka bagi kekuatan politik untuk menanamkan pengaruhnya di MK.
Hakim konstitusi berasal dari tiga cabang kekuasaan, tiga hakim dari DPR, tiga hakim dari pemerintah, dan tiga hakim dari Mahkamah Agung. Apakah MK juga akan terkena virus pelemahan? Masih susah untuk menjawabnya. Namun, menurut Benny Harman, wajah MK ke depan sangat ditentukan oleh interaksi tiga lembaga: pemerintah, DPR, dan MA.Waktu memang akan menjawab: apakah kecenderungan pelemahan komisi negara juga akan menerpa Mahkamah Konstitusi.
19 Desember 2007-
Halaman 45
Lembaga Negara
Tren Pelemahan Komisi Negara
Budiman Tanuredjo
....Komisi Yudisial harus kita jaga. Di dalam dan melalui komisi ini kita berharap keadilan masih bisa ditegakkan. Dari mereka kita peroleh keadilan hukum yang melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah kita. Dari komisi ini kita himpun kekuatan para hakim yang dengan teguh masih menjaga integritas moral sebagai abdi hukum untuk menyelamatkan dan melanjutkan agenda reformasi peradilan. Maka, kembalikan kewenangan komisi ini agar pengawasan terhadap tingkat laku hakim-hakim yang selama ini menodai martabat diri dan profesi mereka dapat dilakukan secara efisien. Kembalikan kewenangan Komisi Yudisial untuk bersama seluruh rakyat melawan mafia peradilan.
— Jakarta, hari Sabtu, 15 Desember 2007.
Petisi bertajuk ”Kami Haus Keadilan” itu ditandatangani WS Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainun Najib, Mohamad Sobary, Abdurrahman Wahid, Adnan Buyung Nasution, dan Nathan Setiabudi. Petisi itu dikemas dalam bentuk panggung budaya bertema ”Keadilan Sosial antara Cita dan Realitas”, Sabtu malam.
Sangat boleh jadi, apa yang dilakukan Komisi Yudisial merupakan sebuah bentuk perlawanan kultural atas berbagai ”perampasan” kewenangan yang telah diberikan kepadanya. Komisi Yudisial memang dalam posisi yang tidak menguntungkan setelah salah seorang komisionernya, Irawady Joenoes, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kini sedang diadili.Komisi Yudisial adalah salah satu komisi negara yang terbentuk pasca-Orde Baru yang tampaknya berpotensi untuk didorong menjadi komisi negara yang gagal. Kewenangannya dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi (MK), salah seorang komisionernya diadili atas tuduhan menerima suap.
Upaya untuk membangun kembali citra dan meraih kembali dukungan publik tampaknya sedang diupayakan oleh komisi tersebut.Sejumlah tokoh dalam petisinya berteriak demikian keras. ”Kita waspada terhadap kekuatan-kekuatan antireformasi yang masih bercokol di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tahun demi tahun lewat, tapi hasil yang kita harapkan dari reformasi sama sekali belum memadai,” tulis petisi itu.
Ia melanjutkan, ”Jaringan dan wujud organisasi antireformasi itu mungkin tidak ada, setidaknya tidak kasatmata, tapi pengaruh dan akibat-akibatnya sangat terasa. Di seluruh Tanah Air, lembaga peradilan kita tetap kotor dan kita tak perlu menjadi ahli hukum untuk menyimpulkan bahwa pengadilan-pengadilan kita bukanlah tempat rakyat mencari keadilan.”
Pada intinya, petisi itu mau mengatakan satu hal: kembalikan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial!
Gelombang normalisasi
Komisi Yudisial adalah satu dari puluhan komisi negara yang dibentuk pasca-Orde Baru. Pembentukan komisi negara (state auxiliary body) menandai masa transisi demokrasi di Indonesia. Dilandasi ketidakpercayaan terhadap semua yang berbau negara, eforia publik ikut mendorong lahirnya komisi-komisi negara. ”Awalnya adalah adanya ketidakpercayaan terhadap unsur-unsur negara,” ujar Satya Arinanto, ahli hukum tata negara Universitas Indonesia, dalam percakapan dengan Kompas, Senin (17/12).
Hal senada disampaikan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur II). Kelahiran komisi negara diawali dengan semangat untuk meniadakan kekuasaan dominan dalam segi tiga kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Namun, dalam perkembangannya, kata Benny, komisi-komisi negara itu tak cukup punya daya tahan. Ia terasa kedodoran dalam perjalanannya.Kolega Benny di Komisi III DPR, Prof Dr Gayus Lumbuun, melihat merebaknya komisi-komisi negara yang tumbuh pasca-Orde Baru dan kemudian meredup pasca-Orde Baru lebih banyak disebabkan oleh ketidakjelasan politik negara di bidang hukum. ”Bagaimana ketika komisi negara dibentuk dan kemudian kini bagaimana dijalankan, tidak nyambung,” ujar Gayus yang juga ahli hukum administrasi negara.Pascatumbangnya Presiden Soeharto, komisi-komisi negara tumbuh di berbagai cabang kekuasaan.
Di cabang kekuasaan yudikatif muncul Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi serta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hadir pula Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk Presiden Soeharto masih tetap eksis hingga kini meski perannya tampaknya juga mulai meredup.Bagi Benny Harman, komisi negara itu tidak punya daya tahan karena melemahnya dukungan publik dan adanya kebangkitan kembali potensi kekuatan otoritarian.
Sesuai fitrahnya, kekuasaan tak suka diawasi. Karena itu, munculnya komisi-komisi negara yang punya semangat mengawasi kini mulai terasa mengganggu. ”Semangat otoritarian mulai bangkit dan menyergap komisi-komisi negara,” ujar Benny yang memperkirakan ”masa depan komisi negara bisa menjadi tidak jelas”.
Apa yang terjadi pada Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut Satya, adalah sebuah pelampiasan dendam politik dari politisi di DPR. Pelemahan KPK adalah wujud ketidakpuasan politik politisi di parlemen yang merasa tidak nyaman dengan gebrakan KPK. Namun, Gayus menampik tuduhan upaya pelemahan KPK oleh DPR. ”Saya kira bukan pelemahan, tapi mungkin keinginan untuk mengendalikan. Dalam politik itu wajar saja,” katanya.
Kecenderungan pelemahan komisi negara tampak dari bubarnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi yang didesain untuk mengungkap kebenaran dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu itu kandas nasibnya di tangan MK. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun nasibnya ”digantung” MK yang memberikan tenggat tiga tahun bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nasib Komisi Yudisial pun tidak lebih baik. Kewenangan pengawasan yang diberikan kepadanya pun dipangkas MK, setelah sejumlah hakim agung mengajukan uji materi.Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak luput dari intervensi kepentingan politik.
Dipilihnya salah seorang anggota KPU yang berstatus tersangka, dan kini sedang diadili, bisa dibaca sebagai keinginan untuk tetap menempatkan KPU dalam kendali kekuatan politik. Akibatnya, KPU pun masih dalam status bermasalah karena keanggotaannya yang tidak lengkap sesuai undang-undang.
Pertarungan tiga lembaga
Mahkamah Konstitusi menjalankan perannya yang sangat sentral dalam kiprahnya lima tahun ini. Ia menjadi lembaga yang mendobrak kukuhnya ”Tembok Berlin”. Perjuangan untuk mencabut pasal-pasal penyebaran kebencian dalam KUHP (hatzaai artikelen) yang lama diperjuangkan berhasil di tangan MK. Terakhir putusan MK memberikan izin bagi calon perseorangan untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah. Putusan MK itu tidak disukai parpol yang selama ini menjadi satu-satunya perahu menuju ke kekuasaan.
Politisi di DPR selalu mempersoalkan keputusan sembilan hakim konstitusi yang membatalkan produk undang-undang yang dihasikan 500 anggota DPR. DPR merasa lebih super, tetapi kini kewenangan DPR itu bisa dikoreksi MK yang menempatkan dirinya sebagai penjaga konstitusi.
Demikian strategisnya posisi MK—karena kewenangannya diturunkan UUD 1945—membuat posisi lembaga itu susah untuk digoyang. Salah satu langkah yang mungkin dilakukan adalah bagaimana proses seleksi hakim konstitusi.Kebetulan pada tahun 2008 sembilan hakim konstitusi akan berakhir masa jabatannya. Di sinilah ruang terbuka bagi kekuatan politik untuk menanamkan pengaruhnya di MK.
Hakim konstitusi berasal dari tiga cabang kekuasaan, tiga hakim dari DPR, tiga hakim dari pemerintah, dan tiga hakim dari Mahkamah Agung. Apakah MK juga akan terkena virus pelemahan? Masih susah untuk menjawabnya. Namun, menurut Benny Harman, wajah MK ke depan sangat ditentukan oleh interaksi tiga lembaga: pemerintah, DPR, dan MA.Waktu memang akan menjawab: apakah kecenderungan pelemahan komisi negara juga akan menerpa Mahkamah Konstitusi.
Kamis, 13 Desember 2007
Setahap Menuju Pemilu 2009
KOMPAS
13 Desember 2008
Setahap Menuju Pemilu 2009
Rancangan Undang-Undang Partai Politik telah disetujui DPR. Aturan itu meneguhkan adanya jaminan kebebasan bagi warga negara membentuk partai politik.
Undang-undang baru memperbaiki beberapa bagian dalam undang-undang lama. Aturan pendirian parpol diperketat. Parpol harus memiliki kepengurusan 60 persen dari jumlah provinsi, 50 persen di kabupaten, dan 25 persen dari jumlah kecamatan. Aturan ini lebih berat dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang mensyaratkan kepengurusan 50 persen dari jumlah provinsi.
Keterwakilan 30 persen perempuan dipertegas dalam UU Parpol ini. Keterwakilan harus tercermin dalam pendirian parpol. Aturan baru mensyaratkan transparansi, di mana parpol harus melaporkan penerimaan dan pengeluarannya secara terbuka. Jumlah sumbangan yang diperbolehkan diterima diperbesar, yakni Rp 1 miliar untuk perseorangan dan Rp 4 miliar untuk pengusaha dalam satu tahun anggaran. Sebelumnya hanya Rp 200 juta dan Rp 800 juta.
Pengesahan UU Parpol barulah tahap awal menuju Pemilu 2009, yang tinggal 1,5 tahun. Kritik muncul terhadap substansi undang-undang yang cenderung memperketat syarat pendirian parpol dan kekhawatiran parpol dikuasai pemilik modal atau menjadi alat kekuasaan. Melemahnya pengawasan terhadap parpol juga titik keprihatinan.
Kita memahami kritik tersebut. Kritik tak bisa dilepaskan dari kinerja parpol yang selama ini belum memenuhi harapan. Ada kecenderungan parpol menjadi milik pengurus, sementara demokratisasi di tubuh parpol tidak berjalan. Kecenderungan praktik oligarki mengemuka. Survei Lembaga Survei Indonesia pada Maret 2007 mengonfirmasikan adanya keterasingan parpol dari pemilihnya (65 persen) dan mayoritas pemilih merasa parpol lebih banyak berbuat untuk kepentingan kelompok atau pimpinannya.Terepresentasikannya kepentingan atau harapan pemilih oleh parpol atau kekuatan politik akan membuat sistem demokrasi bekerja.
Sebaliknya, kegagalan parpol menjalankan peran dan fungsinya bisa mengganggu sistem demokrasi itu sendiri.UU Parpol adalah aturan main yang diharapkan mampu mendorong parpol menjalankan peran yang seharusnya. Karena itu, parpol perlu menyesuaikan diri dengan aturan baru, Departemen Kehakiman harus memverifikasi parpol yang jumlahnya lebih dari 70 parpol. Pemerintah dan DPR perlu segera merampungkan UU Pemilu serta undang-undang ikutan lainnya agar Komisi Pemilihan Umum bisa melakukan verifikasi parpol peserta pemilu. Itu adalah pekerjaan rumah.
Pemilu 2009 adalah ujian apakah bangsa Indonesia mampu melakukan konsolidasi demokrasi, di mana sirkulasi elite dilakukan dengan demokratis dan damai. Apakah sistem demokrasi bisa menyejahterakan rakyat? Kita mau mengingatkan penyelenggara negara akan pekerjaan rumah itu, sementara waktu kian mepet. Di sisi lain rakyat masih direpotkan dengan urusan perut!
13 Desember 2008
Setahap Menuju Pemilu 2009
Rancangan Undang-Undang Partai Politik telah disetujui DPR. Aturan itu meneguhkan adanya jaminan kebebasan bagi warga negara membentuk partai politik.
Undang-undang baru memperbaiki beberapa bagian dalam undang-undang lama. Aturan pendirian parpol diperketat. Parpol harus memiliki kepengurusan 60 persen dari jumlah provinsi, 50 persen di kabupaten, dan 25 persen dari jumlah kecamatan. Aturan ini lebih berat dibandingkan dengan aturan sebelumnya yang mensyaratkan kepengurusan 50 persen dari jumlah provinsi.
Keterwakilan 30 persen perempuan dipertegas dalam UU Parpol ini. Keterwakilan harus tercermin dalam pendirian parpol. Aturan baru mensyaratkan transparansi, di mana parpol harus melaporkan penerimaan dan pengeluarannya secara terbuka. Jumlah sumbangan yang diperbolehkan diterima diperbesar, yakni Rp 1 miliar untuk perseorangan dan Rp 4 miliar untuk pengusaha dalam satu tahun anggaran. Sebelumnya hanya Rp 200 juta dan Rp 800 juta.
Pengesahan UU Parpol barulah tahap awal menuju Pemilu 2009, yang tinggal 1,5 tahun. Kritik muncul terhadap substansi undang-undang yang cenderung memperketat syarat pendirian parpol dan kekhawatiran parpol dikuasai pemilik modal atau menjadi alat kekuasaan. Melemahnya pengawasan terhadap parpol juga titik keprihatinan.
Kita memahami kritik tersebut. Kritik tak bisa dilepaskan dari kinerja parpol yang selama ini belum memenuhi harapan. Ada kecenderungan parpol menjadi milik pengurus, sementara demokratisasi di tubuh parpol tidak berjalan. Kecenderungan praktik oligarki mengemuka. Survei Lembaga Survei Indonesia pada Maret 2007 mengonfirmasikan adanya keterasingan parpol dari pemilihnya (65 persen) dan mayoritas pemilih merasa parpol lebih banyak berbuat untuk kepentingan kelompok atau pimpinannya.Terepresentasikannya kepentingan atau harapan pemilih oleh parpol atau kekuatan politik akan membuat sistem demokrasi bekerja.
Sebaliknya, kegagalan parpol menjalankan peran dan fungsinya bisa mengganggu sistem demokrasi itu sendiri.UU Parpol adalah aturan main yang diharapkan mampu mendorong parpol menjalankan peran yang seharusnya. Karena itu, parpol perlu menyesuaikan diri dengan aturan baru, Departemen Kehakiman harus memverifikasi parpol yang jumlahnya lebih dari 70 parpol. Pemerintah dan DPR perlu segera merampungkan UU Pemilu serta undang-undang ikutan lainnya agar Komisi Pemilihan Umum bisa melakukan verifikasi parpol peserta pemilu. Itu adalah pekerjaan rumah.
Pemilu 2009 adalah ujian apakah bangsa Indonesia mampu melakukan konsolidasi demokrasi, di mana sirkulasi elite dilakukan dengan demokratis dan damai. Apakah sistem demokrasi bisa menyejahterakan rakyat? Kita mau mengingatkan penyelenggara negara akan pekerjaan rumah itu, sementara waktu kian mepet. Di sisi lain rakyat masih direpotkan dengan urusan perut!
Selasa, 11 Desember 2007
Sebuah Eksperimen di Era Transisi
KOMPAS
Rabu, 26 Sep 2001 Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Timtim
SEBUAH EKSPERIMEN DI ERA TRANSISI
PROSES transisi menuju demokrasi di belahan dunia mana pun akan
selalu dihadapkan pada masalah penyelesaian kejahatan kemanusiaan,
yang harus dihadapi pemerintahan baru. Itu terjadi di Afrika Selatan
dan Amerika Latin. Pola penanganan kasus-kasus tersebut akan sangat
menentukan mulus tidaknya sebuah proses transisi menuju demokrasi.
Begitu juga dengan Indonesia, sebuah pemerintahan demokratis yang
terbentuk setelah jatuhnya Soeharto, dihadapkan pada dua masalah
besar yang diwariskan yaitu kekerasan politik yang mengakibatkan
banyaknya korban manusia yang dilakukan Soeharto dan mesin politik
Orde Baru, khususnya militer, serta penjarahan harta milik negara
oleh Soeharto dan kroni serta mantan pejabat Orde Baru.
Proses transisi menuju demokrasi di Indonesia dan juga di belahan
lain ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan mengandung
derajat ketidakpastian yang tinggi. Transisi bisa mengarah kepada
demokrasi tapi sebaliknya bisa juga malah menciptakan keadaan yang
lebih buruk daripada pemerintahan sebelumnya.
Beberapa pakar skeptis dengan perkembangan transisi demokrasi di
Indonesia yang baru berusia tiga tahun lebih sejak Soeharto mundur 21
Mei 1998. Sikap skeptis itu didasarkan pada keraguan apakah Indonesia
mempunyai prasyarat untuk melaksanakan transisi demokrasi.
Realitas empirik membuat beberapa kalangan khawatir terhadap
proses transisi menuju demokrasi. Sebuah transisi demokrasi paling
tidak menuntut lahirnya seorang pemimpin nasional yang mempunyai gaya
kepemimpinan yang mempunyai kecakapan yang memadai.
Ketika transisi demokrasi menuntut adanya semangat untuk
berkompromi guna mencari penyelesaian, elite politik di Indonesia
ternyata terlalu cepat untuk terjebak dalam sebuah praktik
perpolitikan untuk memperebutkan kekuasaan. Padahal, elite politik
mempunyai tugas mencapai konsensus guna menyelesaikan permasalahan
warisan yang ditinggalkan rezim sebelumnya.
Satu modal yang dimiliki Indonesia saat ini untuk menjalani
proses transisi menuju demokrasi adalah dukungan internasional.
Masyarakat internasional memberikan dukungan kepada pemerintahan
Megawati Soekarnoputri untuk memimpin proses transisi menuju
demokrasi.
***
SALAH satu tugas yang harus diselesaikan pemerintahan Megawati
Soekarnoputri adalah menyelesaikan berbagai kasus kekerasan politik
yang dilakukan rezim yang, menurut Herbert Feith, adalah rezim
represif developmentalis. Tiga tahun lebih setelah Soeharto turun,
pemerintahan sipil yang terbentuk belum mampu mencapai sebuah
konsensus tentang bagaimana menyelesaikan kasus kekerasan politik
masa lalu.
Sidang Istimewa MPR yang diharapkan mampu memikirkan hal
itu ternyata lebih tertarik bagaimana menghentikan secepat mungkin
Presiden Abdurrahman Wahid yang memang tidak efektif menjalankan
pemerintahan. Yang terjadi hanyalah retorika dan perdebatan wacana di
media massa. Malahan, di era transisi itu terjadi lagi pelanggaran
HAM yang tak kalah beratnya dengan pelanggaran HAM pada masa lalu.
Begitu juga halnya dengan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Timur pascapenentuan
pendapat adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah
Soeharto turun. Berbeda dengan kasus pelanggaran HAM berat lainnya,
pelanggaran HAM Timtim mempunyai dimensi internasional yang sangat
besar.
Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) serta Komisi HAM PBB menaruh perhatian terhadap proses
peradilan yang akan dilangsungkan di Indonesia, pada bulan Desember
2001. Kepercayaan diberikan pada Indonesia untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM berat Timtim itu melalui mekanisme peradilan
nasional. Diberikannya kepercayaan bukanlah tanpa syarat.
Mekanisme pengadilan internasional tetap dimungkinkan untuk
mengambil alih kasus kejahatan kemanusiaan ketika Indonesia dinilai tak mampu
menyelenggarakan sebuah peradilan yang fair, tidak efektif dan tidak
independen. "Kita mengetahui itu, makanya kita upayakan membuat
sebuah peradilan yang fair," ujar Benjamin Mangkoedilaga, Ketua Tim
Persiapan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam percakapan dengan Kompas.
Pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc itu dikaitkan juga dengan
syarat pemulihan pemberian bantuan pendidikan militer yang akan
diberikan Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia. Meskipun pihak
Indonesia menampik digelarnya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus
Timtim akibat tekanan internasional, namun adanya kesan itu tak bisa
dihindarkan.
Pengadilan HAM Ad Hoc adalah sebuah eksperimen yang dicoba
dilakukan di era transisi ini. Proses itu juga akan menjadi test-case
bagi kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.
***
BENJAMIN tidak menampik bahwa apa yang akan digelar pada bulan
Desember 2001 adalah sebuah eksperimen, sebuah percobaan besar dengan
taruhan yang cukup besar. "Ya kita memang belum punya pengalaman
untuk menggelar Pengadilan HAM Ad Hoc, tapi kita coba saja. Bagi
kita, pengadilan HAM Ad Hoc ini bukan untuk menyenangkan atau tidak
menyenangkan suatu kelompok. Tapi kita berupaya untuk melangsungkan
sebuah proses peradilan yang fair," ujarnya.
Sesuai jadwal, Peradilan HAM Ad Hoc untuk pelanggaran HAM di
Timtim akan dilangsungkan pada bulan Desember 2001. Terjadinya
Peradilan HAM Ad Hoc, bukanlah sebuah proses yang terjadi begitu
saja. Ada sebuah proses panjang yang dimulai dengan pembentukan dan
pencabutan undang-undang yang mengatur masalah tersebut, melaksanakan
hukum tersebut untuk memulai tugas penyelidikan dan penyidikan, serta
proses peradilan.
Semua aktor yang terlibat juga menjalankan tugas dengan hal-hal
yang baru. Tugas yang diemban Albert Hasibuan selaku Ketua Komisi
Penyelidikan Pelanggaran HAM Timtim dan anggota lainnya adalah tugas
pertama yang dipikulnya berdasarkan hukum yang juga berubah. Pada
saat KPP HAM bekerja mereka mendasarkan diri pada Perpu Nomor 1/2000
tentang Pengadilan HAM dan kemudian di tengah perjalanan Perpu itu
dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan
HAM.
Begitu juga dengan MA Rachman (kini Jaksa Agung) melaksanakan
proses penyidikan dengan dasar hukum yang baru pula. Tugas Rachman,
menurut dia, telah selesai dan berkas tinggal dilimpahkan pada
Pengadilan HAM Ad Hoc yang sedang disiapkan Benjamin.
Benjamin telah menerima 60-an orang yang akan menjadi hakim ad
hoc. Mereka berasal dari kalangan perguruan tinggi di Indonesia yang
mempunyai pusat-pusat studi HAM. Benjamin dan timnya akan segera
melakukan seleksi dan kemudian mengusulkan sejumlah orang kepada
Presiden Megawati Soekarnoputri untuk ditetapkan sebagai hakim ad
hoc. Setelah terpilih, para hakim ad hoc itu akan diberikan sejumlah
pembekalan-pembekalan mengenai HAM dan masalah yang melingkupinya.
***
BANYAK orang yang khawatir tentang proses pelaksanaan Pengadilan
HAM Ad Hoc Timtim. Kekhawatiran itu bisa dimengerti mengingat dampak
dari kegagalan proses itu cukup besar. Yang sudah tampak adalah
dikaitkannya pemulihan bantuan militer dari Amerika Serikat dengan
pelaksanaan peradilan HAM Ad Hoc di Indonesia. Selain itu, kegagalan
Indonesia menggelar Pengadilan HAM Ad Hoc akan ikut menentukan wajah
pemerintahan Megawati untuk menyelesaikan berbagai persoalan
sejenis.
Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Graito Usodo menegaskan
bahwa TNI tidak akan menghalang-halangi proses peradilan HAM yang
akan dilangsungkan. Sejumlah perwira tinggi dan perwira menengah TNI,
politisi sipil, dan pimpinan milisi memang akan menjadi terdakwa
dalam kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Mereka dituduh sebagai
orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadi pembumihangusan bumi
Loro Sae baik sebelum dan setelah terjadinya pengumumuman jajak
pendapat.
Bisa diprediksi proses pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc Timtim
itu akan mendapatkan "perlawanan" dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Perlawanan itu akan muncul dari sisi politik maupun
dari sisi yuridis. Dari sisi yuridis, pandangan positivisme hukum
yang dianut banyak ahli hukum Indonesia akan menjadi alat perlawanan
yang cukup sengit untuk menyelamatkan para terdakwa dari hukuman
berat. Perbedaan persepsi dan cara pandang juga akan membuat proses
itu penuh tantangan.
Salah satu lubang yang akan dimanfaatkan tentunya adalah
Perubahan Kedua UUD 1945 sendiri yang secara tegas melarang prinsip
retroaktif. Prinsip retroaktif dianggap bertentangan dengan asas
legalitas dengan merujuk pada prinsip nullum delictum, nulla poena,
sine praevia lege poenali. Karena, tidak ada kejahatan, tiada tindak
pidana, tanpa lebih dahulu ada peraturan perundangannya. Pelanggaran
HAM di Timtim jelas terjadi sebelum ada UU Pengadilan HAM yang baru
berlaku 23 November 2000. Proses penyelidikan dan penyidikan yang
dilakukan dengan dua dasar hukum yang berbeda, Perpu No 1/1999 dan UU
No 26/2000 juga akan menjadi problem yuridis yang harus dipecahkan
dan menjadi perdebatan sengit dalam proses peradilan nantinya.
Lamanya penyidikan dan penuntutan yang ditentukan dalam undang-undang
akan menjadi masalah karena lamanya proses penyidikan itu tak sesuai
dengan realitas.
Hal lain yang bisa menjadi ganjalan adalah masih adanya perbedaan
persepsi tentang apa yang dimaksudkan dengan "pelanggaran HAM berat",
"pelanggaran HAM", dan tindak pidana biasa. Dalam pasal 7 UU No
26/2000 disebutkan: Pelanggaran HAM berat meliputi: (a) kejahatan
genosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedang dalam Pasal 9
disebutkan, Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis
yang diketahuinya bawa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil berupa (a) pembunuhan, (b) pemusnahan, (c)
perbudakan, (d) pengusiran, (e) perampasan kemerdekaan, (f)
penyiksaan, (g) perkosaan, (h) penganiayaan kelompok tertentu, (i)
penghilangan orang secara paksa, dan (j) kejahatan apartheid. Kata
kunci dari pelanggaran HAM berat adalah unsur meluas dan sistematis.
Beban pembuktian dalam Pengadilan HAM Ad Hoc tetap diemban oleh
jaksa penuntut umum. Cara berpikir jaksa yang fragmentaris yang
membagi kasus-kasus pelanggaran HAM dalam waktu dan tempat yang
berbeda memang mengkhawatirkan. Dikhawatirkan jaksa tak bisa
membuktikan adanya unsur meluas dan sistematis dalam kasus kejahatan
HAM Timtim. Masih adanya waktu sekitar dua bulan ada baiknya kalau
jaksa meneliti kembali dakwaan yang disusunnya. Dakwaan akan sangat
menentukan suskses tidaknya proses peradilan itu. Bahkan, bila perlu
kejaksaan pun menggunakan penuntut umum ad hoc. Selain karena alasan
profesionalisme, penunjukan penuntut umum ad hoc diharapkan bisa
meningkatkan derajat kepercayaan masyarakat internasional terhadap
lembaga penuntut umum itu sendiri.
***
TERLEPAS dari masih terbukanya lubang-lubang yuridis, salah satu
hal mendasar yang menjadi penting adalah kesadaran untuk memberikan
keadilan bagi para korban kekerasan politik. Ada empat hak korban
yang seharusnya menjadi titik perhatian bagi para aktor yang akan
terlibat dalam proses peradilan HAM Ad Hoc. Pertama, hak korban untuk
mengetahui kejadian sebenarnya dari peristiwa tersebut (victims right
to know the truth), kedua hak korban untuk mendapatkan keadilan
(victims right to justice). Ketiga, korban berhak untuk mendapatkan
pemulihan (victims right to reparation) dan keempat hak korban untuk
mendapatkan jaminan bahwa kekerasan tersebut tidak akan terulang
kembali (victims right at guaranteeing the non recurrence of
violation).
Memenuhi keempat hak korban jelas bukanlah sesuatu yang mudah.
Namun itu menjadi tanggung jawab negara. Perlu ada upaya untuk
memberikan keempat hak korban itu. Sikap negara yang hanya mendiamkan
dan menelantarkan korban tidak lain adalah upaya untuk melanggengkan
kekerasan dan menelantarkan korban.
Pandangan itu bukan hanya untuk kasus Timtim melainkan untuk
kasus-kasus lain yang juga tak kunjung bisa diselesaikan. Sebut saja
kasus Tanjung Priok, kasus penyerbuan kantor DPP PDI 27 Juli 1996,
kasus Talangsari Lampung, kasus kerusuhan 12-14 Mei 1998, serta kasus
Semanggi I dan Semanggi II.
Di akhir tulisan ini layak diketengahkan pandangan Richard
Goldstone dalam pengantar buku Human Rights in Political Transitions:
Gettysburg to Bosnia. Pandangan Goldstone itu kemudian dikutip ahli
hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto dalam artikelnya di
Kompas. Goldstone mengungkapkan: without justice, without
acknowledgement, future evil leaders will more easily be able to
manipulate historic grievances (tanpa keadilan, tanpa pengakuan,
pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih memudah
memanipulasi keluhan-keluhan historis).
Sebuah kejahatan kemanusiaan berskala luas yang memakan korban
jiwa manusia memang harus diungkapkan duduk soalnya, bagaimana proses
terjadinya, dan siapa yang harus bertanggung jawab. Itulah esensi
dari pengungkapkan apa yang disebut kebenaran (truth). Setelah
kebenaran bisa diungkapkan barulah bisa dipikirkan proses selanjutnya
yang mengarah kepada rekonsiliasi.
Tanpa ada proses pengungkapan kebenaran, publik tidak pernah tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Untuk kasus Timtim, apakah benar terjadi
pelanggaran HAM berat sebagaimana dituduhkan ataukah hanya ungkapan
kejengkelan dan kefrustrasian akibat lepasnya Timtim dari Indonesia,
harus terungkap dalam proses peradilan. Menjelaskan duduknya
persoalan dan memberikan keadilan akan menjadi tugas berat bagi
mereka yang akan terlibat dalam Pengadilan HAM Ad Hoc. Untuk itu,
kredibilitas dari para aktor akan sangat menentukan. Masyarakat akan
menyaksikan sebuah ekperimen yang akan digelar bulan Desember mendatang.
Rabu, 26 Sep 2001 Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Timtim
SEBUAH EKSPERIMEN DI ERA TRANSISI
PROSES transisi menuju demokrasi di belahan dunia mana pun akan
selalu dihadapkan pada masalah penyelesaian kejahatan kemanusiaan,
yang harus dihadapi pemerintahan baru. Itu terjadi di Afrika Selatan
dan Amerika Latin. Pola penanganan kasus-kasus tersebut akan sangat
menentukan mulus tidaknya sebuah proses transisi menuju demokrasi.
Begitu juga dengan Indonesia, sebuah pemerintahan demokratis yang
terbentuk setelah jatuhnya Soeharto, dihadapkan pada dua masalah
besar yang diwariskan yaitu kekerasan politik yang mengakibatkan
banyaknya korban manusia yang dilakukan Soeharto dan mesin politik
Orde Baru, khususnya militer, serta penjarahan harta milik negara
oleh Soeharto dan kroni serta mantan pejabat Orde Baru.
Proses transisi menuju demokrasi di Indonesia dan juga di belahan
lain ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan mengandung
derajat ketidakpastian yang tinggi. Transisi bisa mengarah kepada
demokrasi tapi sebaliknya bisa juga malah menciptakan keadaan yang
lebih buruk daripada pemerintahan sebelumnya.
Beberapa pakar skeptis dengan perkembangan transisi demokrasi di
Indonesia yang baru berusia tiga tahun lebih sejak Soeharto mundur 21
Mei 1998. Sikap skeptis itu didasarkan pada keraguan apakah Indonesia
mempunyai prasyarat untuk melaksanakan transisi demokrasi.
Realitas empirik membuat beberapa kalangan khawatir terhadap
proses transisi menuju demokrasi. Sebuah transisi demokrasi paling
tidak menuntut lahirnya seorang pemimpin nasional yang mempunyai gaya
kepemimpinan yang mempunyai kecakapan yang memadai.
Ketika transisi demokrasi menuntut adanya semangat untuk
berkompromi guna mencari penyelesaian, elite politik di Indonesia
ternyata terlalu cepat untuk terjebak dalam sebuah praktik
perpolitikan untuk memperebutkan kekuasaan. Padahal, elite politik
mempunyai tugas mencapai konsensus guna menyelesaikan permasalahan
warisan yang ditinggalkan rezim sebelumnya.
Satu modal yang dimiliki Indonesia saat ini untuk menjalani
proses transisi menuju demokrasi adalah dukungan internasional.
Masyarakat internasional memberikan dukungan kepada pemerintahan
Megawati Soekarnoputri untuk memimpin proses transisi menuju
demokrasi.
***
SALAH satu tugas yang harus diselesaikan pemerintahan Megawati
Soekarnoputri adalah menyelesaikan berbagai kasus kekerasan politik
yang dilakukan rezim yang, menurut Herbert Feith, adalah rezim
represif developmentalis. Tiga tahun lebih setelah Soeharto turun,
pemerintahan sipil yang terbentuk belum mampu mencapai sebuah
konsensus tentang bagaimana menyelesaikan kasus kekerasan politik
masa lalu.
Sidang Istimewa MPR yang diharapkan mampu memikirkan hal
itu ternyata lebih tertarik bagaimana menghentikan secepat mungkin
Presiden Abdurrahman Wahid yang memang tidak efektif menjalankan
pemerintahan. Yang terjadi hanyalah retorika dan perdebatan wacana di
media massa. Malahan, di era transisi itu terjadi lagi pelanggaran
HAM yang tak kalah beratnya dengan pelanggaran HAM pada masa lalu.
Begitu juga halnya dengan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kasus kejahatan kemanusiaan di Timor Timur pascapenentuan
pendapat adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah
Soeharto turun. Berbeda dengan kasus pelanggaran HAM berat lainnya,
pelanggaran HAM Timtim mempunyai dimensi internasional yang sangat
besar.
Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) serta Komisi HAM PBB menaruh perhatian terhadap proses
peradilan yang akan dilangsungkan di Indonesia, pada bulan Desember
2001. Kepercayaan diberikan pada Indonesia untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM berat Timtim itu melalui mekanisme peradilan
nasional. Diberikannya kepercayaan bukanlah tanpa syarat.
Mekanisme pengadilan internasional tetap dimungkinkan untuk
mengambil alih kasus kejahatan kemanusiaan ketika Indonesia dinilai tak mampu
menyelenggarakan sebuah peradilan yang fair, tidak efektif dan tidak
independen. "Kita mengetahui itu, makanya kita upayakan membuat
sebuah peradilan yang fair," ujar Benjamin Mangkoedilaga, Ketua Tim
Persiapan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam percakapan dengan Kompas.
Pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc itu dikaitkan juga dengan
syarat pemulihan pemberian bantuan pendidikan militer yang akan
diberikan Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia. Meskipun pihak
Indonesia menampik digelarnya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus
Timtim akibat tekanan internasional, namun adanya kesan itu tak bisa
dihindarkan.
Pengadilan HAM Ad Hoc adalah sebuah eksperimen yang dicoba
dilakukan di era transisi ini. Proses itu juga akan menjadi test-case
bagi kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.
***
BENJAMIN tidak menampik bahwa apa yang akan digelar pada bulan
Desember 2001 adalah sebuah eksperimen, sebuah percobaan besar dengan
taruhan yang cukup besar. "Ya kita memang belum punya pengalaman
untuk menggelar Pengadilan HAM Ad Hoc, tapi kita coba saja. Bagi
kita, pengadilan HAM Ad Hoc ini bukan untuk menyenangkan atau tidak
menyenangkan suatu kelompok. Tapi kita berupaya untuk melangsungkan
sebuah proses peradilan yang fair," ujarnya.
Sesuai jadwal, Peradilan HAM Ad Hoc untuk pelanggaran HAM di
Timtim akan dilangsungkan pada bulan Desember 2001. Terjadinya
Peradilan HAM Ad Hoc, bukanlah sebuah proses yang terjadi begitu
saja. Ada sebuah proses panjang yang dimulai dengan pembentukan dan
pencabutan undang-undang yang mengatur masalah tersebut, melaksanakan
hukum tersebut untuk memulai tugas penyelidikan dan penyidikan, serta
proses peradilan.
Semua aktor yang terlibat juga menjalankan tugas dengan hal-hal
yang baru. Tugas yang diemban Albert Hasibuan selaku Ketua Komisi
Penyelidikan Pelanggaran HAM Timtim dan anggota lainnya adalah tugas
pertama yang dipikulnya berdasarkan hukum yang juga berubah. Pada
saat KPP HAM bekerja mereka mendasarkan diri pada Perpu Nomor 1/2000
tentang Pengadilan HAM dan kemudian di tengah perjalanan Perpu itu
dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan
HAM.
Begitu juga dengan MA Rachman (kini Jaksa Agung) melaksanakan
proses penyidikan dengan dasar hukum yang baru pula. Tugas Rachman,
menurut dia, telah selesai dan berkas tinggal dilimpahkan pada
Pengadilan HAM Ad Hoc yang sedang disiapkan Benjamin.
Benjamin telah menerima 60-an orang yang akan menjadi hakim ad
hoc. Mereka berasal dari kalangan perguruan tinggi di Indonesia yang
mempunyai pusat-pusat studi HAM. Benjamin dan timnya akan segera
melakukan seleksi dan kemudian mengusulkan sejumlah orang kepada
Presiden Megawati Soekarnoputri untuk ditetapkan sebagai hakim ad
hoc. Setelah terpilih, para hakim ad hoc itu akan diberikan sejumlah
pembekalan-pembekalan mengenai HAM dan masalah yang melingkupinya.
***
BANYAK orang yang khawatir tentang proses pelaksanaan Pengadilan
HAM Ad Hoc Timtim. Kekhawatiran itu bisa dimengerti mengingat dampak
dari kegagalan proses itu cukup besar. Yang sudah tampak adalah
dikaitkannya pemulihan bantuan militer dari Amerika Serikat dengan
pelaksanaan peradilan HAM Ad Hoc di Indonesia. Selain itu, kegagalan
Indonesia menggelar Pengadilan HAM Ad Hoc akan ikut menentukan wajah
pemerintahan Megawati untuk menyelesaikan berbagai persoalan
sejenis.
Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Graito Usodo menegaskan
bahwa TNI tidak akan menghalang-halangi proses peradilan HAM yang
akan dilangsungkan. Sejumlah perwira tinggi dan perwira menengah TNI,
politisi sipil, dan pimpinan milisi memang akan menjadi terdakwa
dalam kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Mereka dituduh sebagai
orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadi pembumihangusan bumi
Loro Sae baik sebelum dan setelah terjadinya pengumumuman jajak
pendapat.
Bisa diprediksi proses pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc Timtim
itu akan mendapatkan "perlawanan" dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Perlawanan itu akan muncul dari sisi politik maupun
dari sisi yuridis. Dari sisi yuridis, pandangan positivisme hukum
yang dianut banyak ahli hukum Indonesia akan menjadi alat perlawanan
yang cukup sengit untuk menyelamatkan para terdakwa dari hukuman
berat. Perbedaan persepsi dan cara pandang juga akan membuat proses
itu penuh tantangan.
Salah satu lubang yang akan dimanfaatkan tentunya adalah
Perubahan Kedua UUD 1945 sendiri yang secara tegas melarang prinsip
retroaktif. Prinsip retroaktif dianggap bertentangan dengan asas
legalitas dengan merujuk pada prinsip nullum delictum, nulla poena,
sine praevia lege poenali. Karena, tidak ada kejahatan, tiada tindak
pidana, tanpa lebih dahulu ada peraturan perundangannya. Pelanggaran
HAM di Timtim jelas terjadi sebelum ada UU Pengadilan HAM yang baru
berlaku 23 November 2000. Proses penyelidikan dan penyidikan yang
dilakukan dengan dua dasar hukum yang berbeda, Perpu No 1/1999 dan UU
No 26/2000 juga akan menjadi problem yuridis yang harus dipecahkan
dan menjadi perdebatan sengit dalam proses peradilan nantinya.
Lamanya penyidikan dan penuntutan yang ditentukan dalam undang-undang
akan menjadi masalah karena lamanya proses penyidikan itu tak sesuai
dengan realitas.
Hal lain yang bisa menjadi ganjalan adalah masih adanya perbedaan
persepsi tentang apa yang dimaksudkan dengan "pelanggaran HAM berat",
"pelanggaran HAM", dan tindak pidana biasa. Dalam pasal 7 UU No
26/2000 disebutkan: Pelanggaran HAM berat meliputi: (a) kejahatan
genosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedang dalam Pasal 9
disebutkan, Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis
yang diketahuinya bawa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil berupa (a) pembunuhan, (b) pemusnahan, (c)
perbudakan, (d) pengusiran, (e) perampasan kemerdekaan, (f)
penyiksaan, (g) perkosaan, (h) penganiayaan kelompok tertentu, (i)
penghilangan orang secara paksa, dan (j) kejahatan apartheid. Kata
kunci dari pelanggaran HAM berat adalah unsur meluas dan sistematis.
Beban pembuktian dalam Pengadilan HAM Ad Hoc tetap diemban oleh
jaksa penuntut umum. Cara berpikir jaksa yang fragmentaris yang
membagi kasus-kasus pelanggaran HAM dalam waktu dan tempat yang
berbeda memang mengkhawatirkan. Dikhawatirkan jaksa tak bisa
membuktikan adanya unsur meluas dan sistematis dalam kasus kejahatan
HAM Timtim. Masih adanya waktu sekitar dua bulan ada baiknya kalau
jaksa meneliti kembali dakwaan yang disusunnya. Dakwaan akan sangat
menentukan suskses tidaknya proses peradilan itu. Bahkan, bila perlu
kejaksaan pun menggunakan penuntut umum ad hoc. Selain karena alasan
profesionalisme, penunjukan penuntut umum ad hoc diharapkan bisa
meningkatkan derajat kepercayaan masyarakat internasional terhadap
lembaga penuntut umum itu sendiri.
***
TERLEPAS dari masih terbukanya lubang-lubang yuridis, salah satu
hal mendasar yang menjadi penting adalah kesadaran untuk memberikan
keadilan bagi para korban kekerasan politik. Ada empat hak korban
yang seharusnya menjadi titik perhatian bagi para aktor yang akan
terlibat dalam proses peradilan HAM Ad Hoc. Pertama, hak korban untuk
mengetahui kejadian sebenarnya dari peristiwa tersebut (victims right
to know the truth), kedua hak korban untuk mendapatkan keadilan
(victims right to justice). Ketiga, korban berhak untuk mendapatkan
pemulihan (victims right to reparation) dan keempat hak korban untuk
mendapatkan jaminan bahwa kekerasan tersebut tidak akan terulang
kembali (victims right at guaranteeing the non recurrence of
violation).
Memenuhi keempat hak korban jelas bukanlah sesuatu yang mudah.
Namun itu menjadi tanggung jawab negara. Perlu ada upaya untuk
memberikan keempat hak korban itu. Sikap negara yang hanya mendiamkan
dan menelantarkan korban tidak lain adalah upaya untuk melanggengkan
kekerasan dan menelantarkan korban.
Pandangan itu bukan hanya untuk kasus Timtim melainkan untuk
kasus-kasus lain yang juga tak kunjung bisa diselesaikan. Sebut saja
kasus Tanjung Priok, kasus penyerbuan kantor DPP PDI 27 Juli 1996,
kasus Talangsari Lampung, kasus kerusuhan 12-14 Mei 1998, serta kasus
Semanggi I dan Semanggi II.
Di akhir tulisan ini layak diketengahkan pandangan Richard
Goldstone dalam pengantar buku Human Rights in Political Transitions:
Gettysburg to Bosnia. Pandangan Goldstone itu kemudian dikutip ahli
hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto dalam artikelnya di
Kompas. Goldstone mengungkapkan: without justice, without
acknowledgement, future evil leaders will more easily be able to
manipulate historic grievances (tanpa keadilan, tanpa pengakuan,
pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih memudah
memanipulasi keluhan-keluhan historis).
Sebuah kejahatan kemanusiaan berskala luas yang memakan korban
jiwa manusia memang harus diungkapkan duduk soalnya, bagaimana proses
terjadinya, dan siapa yang harus bertanggung jawab. Itulah esensi
dari pengungkapkan apa yang disebut kebenaran (truth). Setelah
kebenaran bisa diungkapkan barulah bisa dipikirkan proses selanjutnya
yang mengarah kepada rekonsiliasi.
Tanpa ada proses pengungkapan kebenaran, publik tidak pernah tahu
apa yang sebenarnya terjadi. Untuk kasus Timtim, apakah benar terjadi
pelanggaran HAM berat sebagaimana dituduhkan ataukah hanya ungkapan
kejengkelan dan kefrustrasian akibat lepasnya Timtim dari Indonesia,
harus terungkap dalam proses peradilan. Menjelaskan duduknya
persoalan dan memberikan keadilan akan menjadi tugas berat bagi
mereka yang akan terlibat dalam Pengadilan HAM Ad Hoc. Untuk itu,
kredibilitas dari para aktor akan sangat menentukan. Masyarakat akan
menyaksikan sebuah ekperimen yang akan digelar bulan Desember mendatang.
Pertarungan Kepentingan di Kejaksaan Agung
KOMPAS
Rabu, 15 Aug 2001 Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
PERTARUNGAN KEPENTINGAN
DI KEJAKSAAN AGUNG
PRESIDEN Megawati Soekarnoputri akhirnya urung mengumumkan Jaksa
Agung berbarengan dengan pengumuman jajaran Kabinet Gotong Royong,
Kamis, 9 Agustus 2001. "Jaksa Agung akan ditetapkan kemudian
setelah pelantikan kabinet," demikian Megawati memberi alasan. Sebuah
sumber menyebutkan, nama Jaksa Agung sebenarnya sudah fixed dan
tinggal diumumkan. "Nama itu hilang sepuluh menit sebelum diumumkan,"
ujar sumber tersebut.
SEORANG kandidat kuat Jaksa Agung kabarnya sudah
dihubungi oleh seorang petinggi partai politik untuk menjadi orang
nomor satu di Kejaksaan Agung. Bahkan, yang bersangkutan juga sudah
berada di Jakarta dan siap memikul tugas itu. Namun, akhirnya nama
Jaksa Agung yang sudah fixed itu batal diumumkan. Bahkan, sampai
pelantikan kabinet usai, Jumat (10/8), tidak ada pengumuman dari
Istana tentang siapa yang menjabat Jaksa Agung.
Megawati tampaknya belum menemukan nama yang cocok untuk menjabat
Jaksa Agung. Keraguan itu tampak ketika pada hari Jumat, Megawati
menerbitkan Keputusan Presiden yang berisi pemberhentian Marsillam
Simanjuntak sebagai Jaksa Agung dan menetapkan Wakil Jaksa Agung
Soeparman sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung, bukan sebagai Jaksa
Agung definitif. Hingga Selasa kemarin pukul 20.00, belum diumumkan siapa yang
akan menjadi Jaksa Agung.
Menurut kandidat Jaksa Agung, Prof Dr Achmad Ali, penundaan
penetapan Jaksa Agung menunjukkan kehati-hatian Megawati untuk
menentukan sosok Jaksa Agung. "Itu lebih baik daripada tergesa-gesa
menetapkan Jaksa Agung yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat,"
kata Achmad Ali dalam diskusi buku Kejahatan Korupsi dan Pe-negakan
Hukum yang diterbitkan Penerbit Kompas.
Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata mengambil hikmah
dari tertundanya penetapan Jaksa Agung dan tidak dilantik bersama-
sama dengan 31 menteri Kabinet Gotong Royong. "Mungkin itu lebih
bagus dengan tidak dilantik bersama-sama, Jaksa Agung akan lebih
memiliki keberanian memeriksa menteri-menteri jika memang
bermasalah," ujar Sujata.
***
BELUM bisa ditetapkannya Jaksa Agung menunjukkan fenomena
tersendiri. Sejak lembaga Kejaksaan Agung ini hadir dan sudah 20
orang Jaksa Agung menjabat, baru sekarang inilah begitu banyak pihak
yang berkepentingan dengan posisi Jaksa Agung.
Pada era Soeharto, hampir tak ada perdebatan publik soal siapa
yang akan menjadi Jaksa Agung. Guncangan kecil memang terjadi pada
era BJ Habibie, ketika Habibie mengganti Jaksa Agung Soedjono Ch
Atmonegoro yang baru menjabat sekitar tiga bulan dengan AM Ghalib,
seorang perwira tinggi militer.
Pada masa Ghalib berkuasa di Kejaksaan Agung sempat bocor rekaman
pembicaraan Jaksa Agung dengan BJ Habibie yang kemudian menghebohkan.
Ghalib pun kemudian diterpa isu suap yang dilansir Indonesian
Corruption Watch (ICW) yang kemudian dinyatakan Puspom TNI sebagai
belum cukup bukti. Karena kasus itu, Ghalib menjadi non-aktif dan
sempat digantikan sementara oleh Menko Polkam Jenderal Feisal
Tanjung. Tanjung hanya satu hari menjabat caretaker Jaksa Agung.
Penunjukan Tanjung sempat diprotes kelompok masyarakat, dan kemudian
Habibie menunjuk Mensesneg/Menkeh Muladi sebagai Jaksa Agung ad
interim. Dari Muladi, tongkat Jaksa Agung kemudian dialihkan ke
Ismudjoko, sampai terjadinya peralihan kekuasaan dari BJ Habibie ke
Abdurrahman Wahid.
Di awal pemerintahannya, Abdurrahman Wahid menunjuk Marzuki
Darusman, seorang politisi dari Partai Golkar, untuk menjadi Jaksa
Agung. Tidak sampai dua tahun bertahan sebagai Jaksa Agung, Marzuki
digantikan oleh Baharuddin Lopa. Lopa meninggal dunia setelah 33 hari
memimpin Kejaksaan Agung, dan digantikan oleh Marsillam Simanjuntak.
KOORDINATOR Badan Pekerja Judicial Watch Andi Muhammad Asrun
menilai, belum ditetapkannya Jaksa Agung oleh Presiden Megawati
adalah karena adanya tarik-menarik kepentingan dari berbagai
kelompok. Posisi Jaksa Agung memang sangat strategis. Posisi itu ikut
menentukan rapor pemerintahan Megawati. Kinerja Jaksa Agung sedikit
banyak akan ikut menentukan sukses tidaknya perjalanan pemerintahan
Megawati.
Kursi Jaksa Agung adalah kursi panas sekaligus kursi basah.
Kantor Kejaksaan Agung adalah salah satu sasaran kelompok pengunjuk
rasa yang menuntut diadilinya tersangka kasus korupsi dan kasus
pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tuntutan masyarakat yang
demikian besar akan menjadikan kursi Jaksa Agung sebagai kursi panas
yang terus digoyang-goyang.
Sebaliknya, selain panasnya kursi Jaksa Agung, lingkungan
Kejaksaan Agung selalu saja didatangi pelobi-pelobi yang ingin
mengatur hitam-putihnya perkara yang sedang diperiksa Kejaksaan
Agung. Izin berobat ke luar negeri, penerbitan dan pencabutan kembali
surat perintah penghentian penyidikan (SP3), pengenaan status
tersangka tanpa diteruskan ke terdakwa, pengenaan status tahanan,
merupakan resultante dari berbagai proses lobi di Kejaksaan Agung.
***
KEJAKSAAN Agung memang menjadi medan pertarungan kepentingan
sehingga sangat wajar kalau posisi Jaksa Agung diperebutkan.
Banyaknya tersangka kasus korupsi dari konglomerat bermasalah, mantan
pejabat Orde Baru, politisi di parlemen, hingga gubernur merupakan
sebuah kelompok dengan kepentingan yang sama, yaitu bagaimana
menghindarkan diri dari jerat hukum. Untuk mencapai itu, mereka
membangun koneksi dengan partai politik dan elite kekuasaan.
Dalam Gedung Bundar Kejaksaan Agung-tempat pemeriksaan kasus
korupsi kini sedang diperiksa sejumlah kasus korupsi, termasuk kasus
penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai
Rp 140 trilyun, kasus korupsi di lingkungan Pertamina, serta
kasus-kasus megakorupsi lainnya.
Kepentingan lain adalah kepentingan sejumlah perwira tinggi dan
perwira menengah TNI/Polri yang harus dihadapkan ke Peradilan HAM Ad
Hoc atas tudingan melakukan kejahatan kemanusiaan. Untuk kasus
kejahatan kemanusiaan di Timtim, setidaknya 23 tersangka yang terdiri
dari pejabat militer dan sipil, serta pimpinan milisi akan segera
diadili. Begitu juga dengan kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok yang
masih dalam proses penyidikan di Kejaksaan Agung, kasus pelanggaran
HAM Abepura di Irian Jaya yang juga sudah masuk ke Gedung Kejaksaan
Agung. Ada juga kelanjutan penuntutan kasus penyerbuan Kantor DPP PDI
tanggal 27 Juli 1996 yang akan melibatkan perwira-perwira tinggi
militer yang sekarang menopang kepemimpinan Megawati.
Kelompok kepentingan lain adalah kepentingan internal
pejabat-pejabat Kejaksaan Agung. Internal Kejaksaan Agung
mengharapkan agar Jaksa Agung bisa dipilih dari lingkungan dalam.
Mereka berdalih jika orang dalam yang memimpin Kejaksaan Agung, Jaksa
Agung tidak perlu belajar lagi, dan langsung bisa bekerja untuk
memberantas korupsi.
Dalam kelompok ini terdapat kepentingan subyektif pejabat
Kejaksaan Agung yang berupaya mempengaruhi pengambilan keputusan agar
Jaksa Agung yang terpilih adalah yang lebih bersahabat dengan mereka.
Ada kekhawatiran masuknya orang luar yang membawa semangat
pembersihan akan mengancam posisi mereka.
Sejak kemerdekaan hingga sekarang tercatat 20 orang Jaksa Agung.
Dari 20 itu hanya dua jaksa karier yang pernah menjadi orang nomor
satu di Kejaksaan Agung. Mereka adalah Singgih dan Soedjono Ch
Atmonegoro.
Di luar tiga kelompok di atas, kelompok masyarakat yang diwakili
aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, yang menuntut
Kejaksaan Agung menindak tanpa pandang bulu siapa pun yang melakukan
korupsi dan merugikan negara, serta melakukan kejahatan kemanusiaan,
merupakan kelompok kepentingan lain. Kelompok ini akan terus menjadi
kelompok penekan siapa pun yang akan menjabat Jaksa Agung. Ini akan
membuat Kantor Kejaksaan Agung menjadi sasaran kelompok demonstran.
***
ADANYA berbagai kelompok kepentingan inilah yang membuat
penentuan posisi Jaksa Agung sedikit tertunda. Megawati seharusnya
menyadari bahwa Jaksa Agung akan sangat dominan mengisi rapor
pemerintahannya di bidang penegakan hukum, khusus pemberantasan
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan penanganan kejahatan
kemanusiaan yang telah menjadi amanat MPR. Kedua hal itu akan
selalu menjadi utang yang terus saja ditagih oleh masyarakat maupun
kelompok politik.
Lalu siapa yang pantas menjadi Jaksa Agung? Pertanyaan itu tak
mudah dijawab. Ahli hukum Universitas Indonesia, Dr Harkristuti
Harkrisnowo dalam sebuah diskusi di Jakarta, berpendapat, Jaksa Agung
haruslah orang yang punya kemampuan tinggi, integritas tinggi, dan
komitmen tinggi.
Anton Sujata sempat mengintrodusir agar Jaksa Agung terpilih
adalah sosok yang bisa diterima pasar. Namun, pendapat Sujata ini
mendapat tentangan dari politisi Bambang Sulistomo. "Pasar itu siapa.
Kalau saya punya uang Rp 1 trilyun, kan saya bisa memainkan pasar.
Apakah memang pasar yang berdaulat untuk menentukan Jaksa Agung.
Pasar kan jual beli sifatnya. Apakah hukum akan diperjualbelikan? Ini
test case bagi Megawati," ujar Sulistomo.
***
TERLEPAS dari siapa yang akan dipilih sebagai Jaksa Agung,
seorang Jaksa Agung harus mengetahui dan menyadari bahwa ada krisis
besar terhadap lembaga Kejaksaan Agung. Ada krisis kepercayaan besar
masyarakat terhadap Kejaksaan Agung yang selama ini menjadi instrumen
kekuasaan.
"Bukan hanya soal mengetahui krisis, Jaksa Agung juga dituntut
mengetahui sumber-sumber krisis lainnya," ujar Munir, Wakil Ketua
YLBHI di Jakarta. Ada sebuah krisis kepercayaan dari masyarakat atas
kinerja Kejaksaan Agung. Kejaksaan terlalu banyak memproduksi
tersangka, tetapi tanpa terdakwa. Negara Indonesia yang disebut
sebagai negara terkorupsi, tetapi tak banyak koruptor yang masuk bui.
Kepercayaan itu hampir sirna.
Setelah mengetahui adanya sumber-sumber krisis itu, seorang Jaksa
Agung harus mampu mengatasi sumber-sumber krisis itu. Dan yang lebih
penting, seorang Jaksa Agung harus tahu dari mana dia akan memulai
langkah dan bagaimana dia menempatkan diri dalam sebuah sistem yang
sedang berubah.
Terlepas dari problem itu semua, Jaksa Agung haruslah orang
bertangan besi, namun dingin dalam bertindak dan berpikir serta tidak
membawa semangat dendam. Ia harus orang yang menguasai secara teknis
hukum pidana dan soal hak asasi manusia serta mempunyai keberanian
menghadapi berbagai tekanan politik. Dan yang tak kalah pentingnya,
seorang Jaksa Agung harus mempunyai leadership dan betul-betul figur
yang bersih yang bisa menjadi teladan. Ia juga harus mempunyai konsep
bagaimana menempatkan Kejaksaan Agung dengan mengubah UU tentang
Kejaksaan Agung agar sesuai arus perubahan yang sedang terjadi.
Beberapa nama telah disebut untuk posisi Jaksa Agung. Ada yang
mengusulkan nama Achmad Ali (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
Hasanuddin). Meskipun tergolong baru, Achmad Ali lewat
tulisan-tulisannya di media massa, membawa ide pembersihan ke dalam
lingkungan Kejaksaan Agung. Ia dikenal sebagai sosok yang tegas dan
keras, meskipun semuanya masih harus diuji dalam praktik.
Ada juga yang menyebut nama Soeparman (Wakil Jaksa Agung). Ia
adalah pejabat karier di lingkungan Kejaksaan Agung. Mantan Kepala
Humas Kejaksaan Agung yang bergelar doktor urusan pajak ini
sebelumnya pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi DIY. Ia termasuk
orang dalam yang dijagokan oleh lingkungannya.
Ketua MPR Amien Rais mengusulkan nama Hakim Agung Artidjo
Alkostar untuk posisi Jaksa Agung. Hakim eks pengacara di Yogyakarta
ini mencuri perhatian publik dengan keberaniannya membikin dissenting
opinion dalam kasus korupsi Joko Tjandra dan kasus mantan Presiden
Soeharto.
Belakangan dimunculkan nama Soeripto, mantan Sekjen Departemen
Kehutanan dan Perkebunan. Semasa menjadi Sekjen Departemen Kehutanan
dan Perkebunan, Soeripto dikenal gigih berupaya menjerat Prajogo
Pangestu.
Siapa yang nantinya akan menjadi Jaksa Agung, ia harus berani
menegakkan hukum, termasuk terhadap keluarganya, pemimpinnya,
kelompok yang mendukungnya, jika memang mereka terbukti melanggar
hukum. Siapa yang dipilih Megawati sebagai Jaksa Agung sekaligus
merupakan cermin diri Megawati itu sendiri.
Akhirnya, Presiden Megawati Soekarnoputri memilih MA Rahman
sebagai Jaksa Agung.
Rabu, 15 Aug 2001 Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
PERTARUNGAN KEPENTINGAN
DI KEJAKSAAN AGUNG
PRESIDEN Megawati Soekarnoputri akhirnya urung mengumumkan Jaksa
Agung berbarengan dengan pengumuman jajaran Kabinet Gotong Royong,
Kamis, 9 Agustus 2001. "Jaksa Agung akan ditetapkan kemudian
setelah pelantikan kabinet," demikian Megawati memberi alasan. Sebuah
sumber menyebutkan, nama Jaksa Agung sebenarnya sudah fixed dan
tinggal diumumkan. "Nama itu hilang sepuluh menit sebelum diumumkan,"
ujar sumber tersebut.
SEORANG kandidat kuat Jaksa Agung kabarnya sudah
dihubungi oleh seorang petinggi partai politik untuk menjadi orang
nomor satu di Kejaksaan Agung. Bahkan, yang bersangkutan juga sudah
berada di Jakarta dan siap memikul tugas itu. Namun, akhirnya nama
Jaksa Agung yang sudah fixed itu batal diumumkan. Bahkan, sampai
pelantikan kabinet usai, Jumat (10/8), tidak ada pengumuman dari
Istana tentang siapa yang menjabat Jaksa Agung.
Megawati tampaknya belum menemukan nama yang cocok untuk menjabat
Jaksa Agung. Keraguan itu tampak ketika pada hari Jumat, Megawati
menerbitkan Keputusan Presiden yang berisi pemberhentian Marsillam
Simanjuntak sebagai Jaksa Agung dan menetapkan Wakil Jaksa Agung
Soeparman sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung, bukan sebagai Jaksa
Agung definitif. Hingga Selasa kemarin pukul 20.00, belum diumumkan siapa yang
akan menjadi Jaksa Agung.
Menurut kandidat Jaksa Agung, Prof Dr Achmad Ali, penundaan
penetapan Jaksa Agung menunjukkan kehati-hatian Megawati untuk
menentukan sosok Jaksa Agung. "Itu lebih baik daripada tergesa-gesa
menetapkan Jaksa Agung yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat,"
kata Achmad Ali dalam diskusi buku Kejahatan Korupsi dan Pe-negakan
Hukum yang diterbitkan Penerbit Kompas.
Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata mengambil hikmah
dari tertundanya penetapan Jaksa Agung dan tidak dilantik bersama-
sama dengan 31 menteri Kabinet Gotong Royong. "Mungkin itu lebih
bagus dengan tidak dilantik bersama-sama, Jaksa Agung akan lebih
memiliki keberanian memeriksa menteri-menteri jika memang
bermasalah," ujar Sujata.
***
BELUM bisa ditetapkannya Jaksa Agung menunjukkan fenomena
tersendiri. Sejak lembaga Kejaksaan Agung ini hadir dan sudah 20
orang Jaksa Agung menjabat, baru sekarang inilah begitu banyak pihak
yang berkepentingan dengan posisi Jaksa Agung.
Pada era Soeharto, hampir tak ada perdebatan publik soal siapa
yang akan menjadi Jaksa Agung. Guncangan kecil memang terjadi pada
era BJ Habibie, ketika Habibie mengganti Jaksa Agung Soedjono Ch
Atmonegoro yang baru menjabat sekitar tiga bulan dengan AM Ghalib,
seorang perwira tinggi militer.
Pada masa Ghalib berkuasa di Kejaksaan Agung sempat bocor rekaman
pembicaraan Jaksa Agung dengan BJ Habibie yang kemudian menghebohkan.
Ghalib pun kemudian diterpa isu suap yang dilansir Indonesian
Corruption Watch (ICW) yang kemudian dinyatakan Puspom TNI sebagai
belum cukup bukti. Karena kasus itu, Ghalib menjadi non-aktif dan
sempat digantikan sementara oleh Menko Polkam Jenderal Feisal
Tanjung. Tanjung hanya satu hari menjabat caretaker Jaksa Agung.
Penunjukan Tanjung sempat diprotes kelompok masyarakat, dan kemudian
Habibie menunjuk Mensesneg/Menkeh Muladi sebagai Jaksa Agung ad
interim. Dari Muladi, tongkat Jaksa Agung kemudian dialihkan ke
Ismudjoko, sampai terjadinya peralihan kekuasaan dari BJ Habibie ke
Abdurrahman Wahid.
Di awal pemerintahannya, Abdurrahman Wahid menunjuk Marzuki
Darusman, seorang politisi dari Partai Golkar, untuk menjadi Jaksa
Agung. Tidak sampai dua tahun bertahan sebagai Jaksa Agung, Marzuki
digantikan oleh Baharuddin Lopa. Lopa meninggal dunia setelah 33 hari
memimpin Kejaksaan Agung, dan digantikan oleh Marsillam Simanjuntak.
KOORDINATOR Badan Pekerja Judicial Watch Andi Muhammad Asrun
menilai, belum ditetapkannya Jaksa Agung oleh Presiden Megawati
adalah karena adanya tarik-menarik kepentingan dari berbagai
kelompok. Posisi Jaksa Agung memang sangat strategis. Posisi itu ikut
menentukan rapor pemerintahan Megawati. Kinerja Jaksa Agung sedikit
banyak akan ikut menentukan sukses tidaknya perjalanan pemerintahan
Megawati.
Kursi Jaksa Agung adalah kursi panas sekaligus kursi basah.
Kantor Kejaksaan Agung adalah salah satu sasaran kelompok pengunjuk
rasa yang menuntut diadilinya tersangka kasus korupsi dan kasus
pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tuntutan masyarakat yang
demikian besar akan menjadikan kursi Jaksa Agung sebagai kursi panas
yang terus digoyang-goyang.
Sebaliknya, selain panasnya kursi Jaksa Agung, lingkungan
Kejaksaan Agung selalu saja didatangi pelobi-pelobi yang ingin
mengatur hitam-putihnya perkara yang sedang diperiksa Kejaksaan
Agung. Izin berobat ke luar negeri, penerbitan dan pencabutan kembali
surat perintah penghentian penyidikan (SP3), pengenaan status
tersangka tanpa diteruskan ke terdakwa, pengenaan status tahanan,
merupakan resultante dari berbagai proses lobi di Kejaksaan Agung.
***
KEJAKSAAN Agung memang menjadi medan pertarungan kepentingan
sehingga sangat wajar kalau posisi Jaksa Agung diperebutkan.
Banyaknya tersangka kasus korupsi dari konglomerat bermasalah, mantan
pejabat Orde Baru, politisi di parlemen, hingga gubernur merupakan
sebuah kelompok dengan kepentingan yang sama, yaitu bagaimana
menghindarkan diri dari jerat hukum. Untuk mencapai itu, mereka
membangun koneksi dengan partai politik dan elite kekuasaan.
Dalam Gedung Bundar Kejaksaan Agung-tempat pemeriksaan kasus
korupsi kini sedang diperiksa sejumlah kasus korupsi, termasuk kasus
penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai
Rp 140 trilyun, kasus korupsi di lingkungan Pertamina, serta
kasus-kasus megakorupsi lainnya.
Kepentingan lain adalah kepentingan sejumlah perwira tinggi dan
perwira menengah TNI/Polri yang harus dihadapkan ke Peradilan HAM Ad
Hoc atas tudingan melakukan kejahatan kemanusiaan. Untuk kasus
kejahatan kemanusiaan di Timtim, setidaknya 23 tersangka yang terdiri
dari pejabat militer dan sipil, serta pimpinan milisi akan segera
diadili. Begitu juga dengan kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok yang
masih dalam proses penyidikan di Kejaksaan Agung, kasus pelanggaran
HAM Abepura di Irian Jaya yang juga sudah masuk ke Gedung Kejaksaan
Agung. Ada juga kelanjutan penuntutan kasus penyerbuan Kantor DPP PDI
tanggal 27 Juli 1996 yang akan melibatkan perwira-perwira tinggi
militer yang sekarang menopang kepemimpinan Megawati.
Kelompok kepentingan lain adalah kepentingan internal
pejabat-pejabat Kejaksaan Agung. Internal Kejaksaan Agung
mengharapkan agar Jaksa Agung bisa dipilih dari lingkungan dalam.
Mereka berdalih jika orang dalam yang memimpin Kejaksaan Agung, Jaksa
Agung tidak perlu belajar lagi, dan langsung bisa bekerja untuk
memberantas korupsi.
Dalam kelompok ini terdapat kepentingan subyektif pejabat
Kejaksaan Agung yang berupaya mempengaruhi pengambilan keputusan agar
Jaksa Agung yang terpilih adalah yang lebih bersahabat dengan mereka.
Ada kekhawatiran masuknya orang luar yang membawa semangat
pembersihan akan mengancam posisi mereka.
Sejak kemerdekaan hingga sekarang tercatat 20 orang Jaksa Agung.
Dari 20 itu hanya dua jaksa karier yang pernah menjadi orang nomor
satu di Kejaksaan Agung. Mereka adalah Singgih dan Soedjono Ch
Atmonegoro.
Di luar tiga kelompok di atas, kelompok masyarakat yang diwakili
aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, yang menuntut
Kejaksaan Agung menindak tanpa pandang bulu siapa pun yang melakukan
korupsi dan merugikan negara, serta melakukan kejahatan kemanusiaan,
merupakan kelompok kepentingan lain. Kelompok ini akan terus menjadi
kelompok penekan siapa pun yang akan menjabat Jaksa Agung. Ini akan
membuat Kantor Kejaksaan Agung menjadi sasaran kelompok demonstran.
***
ADANYA berbagai kelompok kepentingan inilah yang membuat
penentuan posisi Jaksa Agung sedikit tertunda. Megawati seharusnya
menyadari bahwa Jaksa Agung akan sangat dominan mengisi rapor
pemerintahannya di bidang penegakan hukum, khusus pemberantasan
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan penanganan kejahatan
kemanusiaan yang telah menjadi amanat MPR. Kedua hal itu akan
selalu menjadi utang yang terus saja ditagih oleh masyarakat maupun
kelompok politik.
Lalu siapa yang pantas menjadi Jaksa Agung? Pertanyaan itu tak
mudah dijawab. Ahli hukum Universitas Indonesia, Dr Harkristuti
Harkrisnowo dalam sebuah diskusi di Jakarta, berpendapat, Jaksa Agung
haruslah orang yang punya kemampuan tinggi, integritas tinggi, dan
komitmen tinggi.
Anton Sujata sempat mengintrodusir agar Jaksa Agung terpilih
adalah sosok yang bisa diterima pasar. Namun, pendapat Sujata ini
mendapat tentangan dari politisi Bambang Sulistomo. "Pasar itu siapa.
Kalau saya punya uang Rp 1 trilyun, kan saya bisa memainkan pasar.
Apakah memang pasar yang berdaulat untuk menentukan Jaksa Agung.
Pasar kan jual beli sifatnya. Apakah hukum akan diperjualbelikan? Ini
test case bagi Megawati," ujar Sulistomo.
***
TERLEPAS dari siapa yang akan dipilih sebagai Jaksa Agung,
seorang Jaksa Agung harus mengetahui dan menyadari bahwa ada krisis
besar terhadap lembaga Kejaksaan Agung. Ada krisis kepercayaan besar
masyarakat terhadap Kejaksaan Agung yang selama ini menjadi instrumen
kekuasaan.
"Bukan hanya soal mengetahui krisis, Jaksa Agung juga dituntut
mengetahui sumber-sumber krisis lainnya," ujar Munir, Wakil Ketua
YLBHI di Jakarta. Ada sebuah krisis kepercayaan dari masyarakat atas
kinerja Kejaksaan Agung. Kejaksaan terlalu banyak memproduksi
tersangka, tetapi tanpa terdakwa. Negara Indonesia yang disebut
sebagai negara terkorupsi, tetapi tak banyak koruptor yang masuk bui.
Kepercayaan itu hampir sirna.
Setelah mengetahui adanya sumber-sumber krisis itu, seorang Jaksa
Agung harus mampu mengatasi sumber-sumber krisis itu. Dan yang lebih
penting, seorang Jaksa Agung harus tahu dari mana dia akan memulai
langkah dan bagaimana dia menempatkan diri dalam sebuah sistem yang
sedang berubah.
Terlepas dari problem itu semua, Jaksa Agung haruslah orang
bertangan besi, namun dingin dalam bertindak dan berpikir serta tidak
membawa semangat dendam. Ia harus orang yang menguasai secara teknis
hukum pidana dan soal hak asasi manusia serta mempunyai keberanian
menghadapi berbagai tekanan politik. Dan yang tak kalah pentingnya,
seorang Jaksa Agung harus mempunyai leadership dan betul-betul figur
yang bersih yang bisa menjadi teladan. Ia juga harus mempunyai konsep
bagaimana menempatkan Kejaksaan Agung dengan mengubah UU tentang
Kejaksaan Agung agar sesuai arus perubahan yang sedang terjadi.
Beberapa nama telah disebut untuk posisi Jaksa Agung. Ada yang
mengusulkan nama Achmad Ali (Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
Hasanuddin). Meskipun tergolong baru, Achmad Ali lewat
tulisan-tulisannya di media massa, membawa ide pembersihan ke dalam
lingkungan Kejaksaan Agung. Ia dikenal sebagai sosok yang tegas dan
keras, meskipun semuanya masih harus diuji dalam praktik.
Ada juga yang menyebut nama Soeparman (Wakil Jaksa Agung). Ia
adalah pejabat karier di lingkungan Kejaksaan Agung. Mantan Kepala
Humas Kejaksaan Agung yang bergelar doktor urusan pajak ini
sebelumnya pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi DIY. Ia termasuk
orang dalam yang dijagokan oleh lingkungannya.
Ketua MPR Amien Rais mengusulkan nama Hakim Agung Artidjo
Alkostar untuk posisi Jaksa Agung. Hakim eks pengacara di Yogyakarta
ini mencuri perhatian publik dengan keberaniannya membikin dissenting
opinion dalam kasus korupsi Joko Tjandra dan kasus mantan Presiden
Soeharto.
Belakangan dimunculkan nama Soeripto, mantan Sekjen Departemen
Kehutanan dan Perkebunan. Semasa menjadi Sekjen Departemen Kehutanan
dan Perkebunan, Soeripto dikenal gigih berupaya menjerat Prajogo
Pangestu.
Siapa yang nantinya akan menjadi Jaksa Agung, ia harus berani
menegakkan hukum, termasuk terhadap keluarganya, pemimpinnya,
kelompok yang mendukungnya, jika memang mereka terbukti melanggar
hukum. Siapa yang dipilih Megawati sebagai Jaksa Agung sekaligus
merupakan cermin diri Megawati itu sendiri.
Akhirnya, Presiden Megawati Soekarnoputri memilih MA Rahman
sebagai Jaksa Agung.
Mereka Yang Sudah dan Sedang Dimintai
KOMPAS
Kamis, 19 Jul i2001 Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
MEREKA YANG SUDAH DAN SEDANG DIMINTAI
REKOMENDASI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyelidiki
tragedi Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998), dan
Semanggi II (24 September 1999) memicu kontroversi berkepanjangan.
Keluarga korban dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
selama ini giat mengadvokasi masalah hak asasi manusia (HAM) tidak
puas dengan rekomendasi para wakil mereka yang berkantor di Senayan
tersebut. Mereka mengadukan masalah itu kepada Presiden Abdurrahman
Wahid.
Menurut keyakinan mereka tragedi Trisakti, Semanggi I, dan
Semanggi II yang telah menewaskan sejumlah mahasiswa merupakan
pelanggaran HAM berat yang harus diadili di Pengadilan HAM ad hoc.
Namun, mayoritas politisi di Senayan, termasuk empat anggota Fraksi
TNI/Polri yang korpsnya menjadi "sasaran" dalam penyelidikan ini,
berpendapat lain.
Meski jumlah anggota pansus yang tercatat 50 orang, kenyataannya
tak semuanya aktif. Bahkan, pada saat voting dilakukan untuk memilih
opsi "pembentukan pengadilan HAM ad hoc" atau "pengadilan biasa
(militer)" jumlah anggota pansus yang tercatat dalam daftar hadir
hanya 26 orang. Dari jumlah itu, yang mengikuti voting hanya 19 orang
dengan rincian 14 anggota setuju kasus Trisakti, Semanggi I, dan II
diadili di pengadilan biasa (militer) dan lima anggota setuju
dibentuk pengadilan HAM ad hoc.
Pengadilan militer dan pengadilan HAM ad hoc amat berbeda.
Pengadilan militer diadili oleh hakim-hakim militer, oditur militer,
tanpa ada pihak luar. Pengadilan militer banyak dikritik karena
ketertutupan proses acaranya dan kewenangan Atasan Menghukum (ankum)
sebagai perwira penyerah perkara (papera) yang amat dominan. Sedang
pengadilan HAM ad hoc, membuka peluang masuknya jaksa dan hakim ad
hoc yang berasal dari orang luar sehingga prosesnya akan lebih
transparan.
Kenyataan di lapangan, rekomendasi para politisi di Senayan itu
tidak terlalu bermakna. Pertama, sebelum Pansus DPR melaporkan hasil
kerjanya ke Rapat Paripurna DPR tanggal 9 Juli 2001, Mahkamah Militer
II-08 Jakarta pada 18 Juni 2001, telah lebih dahulu menggelar sidang
terhadap sebelas prajurit Brimob atas tuduhan pembunuhan terhadap
empat mahasiswa Trisakti. Persidangan kesebelas prajurit Brimob-meski
yang hadir hanya sembilan orang-itu klop dengan keinginan mayoritas
politisi di Senayan yang lebih condong menyelesaikan tragedi Trisakti
diselesaikan di pengadilan militer.
"Kenyataan itu memang menimbulkan dugaan adanya 'konspirasi'
antara politisi di Senayan dengan militer untuk menghindarkan
terjadinya peradilan ad hoc," tulis Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan
LBH Indonesia di Tempo. Penolakan terhadap penyelesaian melalui
Pengadilan ad hoc itu disuarakan Fraksi Partai Golkar, Fraksi
TNI/Polri, Fraksi Reformasi, Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi
Partai Bulan Bintang, dan Fraksi Partai Daulatul Ummah.
Entah karena kesengajaan atau bukan, dakwaan yang disusun Oditur
Militer masih mencantumkan orang yang sudah meninggal sebagai
terdakwa. Dalam dakwaan masih disebutkan sebelas terdakwa, meski yang
hadir hanya sembilan orang. Dua terdakwa, Dominggus Pinto desersi dan
tidak diketahui lagi keberadaannya di Timtim dan Idad Musadad sudah
meninggal. Kelemahan dakwaan itu dipersoalkan kuasa hukum terdakwa.
Hal kedua, Komnas HAM pun memutuskan untuk membentuk Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) yang diketuai Dr Albert
Hasibuan. Padahal, sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang (UU) Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pengadilan HAM berat yang terjadi
sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc. Pada Ayat 2 disebutkan: Pengadilan HAM ad hoc
Ayat 1 dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan
keputusan Presiden. UU Nomor 26 Tahun 2000 itu diundangkan 23
November 2000 sedang kasus Trisakti dan Semanggi terjadi tahun
1998. "KPP HAM akan bekerja atas dasar keadilan buat orang banyak,"
ujar Hasibuan memberikan argumentasi.
***
PANSUS Trisakti dan Semanggi dibentuk setelah DPR "sukses"
membentuk Pansus dan menyelidiki kasus Buloggate dan Bruneigate yang
melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid. Pada saat itu, kelompok
masyarakat mengkritik dan mengecam para politisi di DPR yang tidak
responsif terhadap korban pelanggaran HAM, kasus Trisakti dan
Semanggi, yang telah mengantarkan mereka duduk di Senayan.
Dalam suasana politik dan tekanan politik seperti itulah lahir
keputusan Bamus DPR untuk membentuk Pansus Trisakti yang diketuai
Panda Nababan, anggota DPR dari PDI Perjuangan. Tak terlalu jelas
betul, apakah motivasi pembentukan Pansus Trisakti semata-mata
sebagai make-up politik para politisi di Senayan atau memang secara
jujur dan tulus untuk mengemban perintah Pasal 43 UU No 26/2000.
Pasal itu memberikan kewenangan para politisi di DPR untuk
merekomendasikan pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden terhadap kasus
pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 terbentuk.
Sesuai pantauan Tim Monitoring Pansus Trisakti/Semanggi,
keseriusan para politisi di Senayan untuk menyelidiki ketiga kasus
itu amat diragukan. Tingkat kehadiran mereka hanya 25 persen. Bahkan,
dalam kurun waktu 30 Januari hingga 29 Maret 2001, di mana
berlangsung 17 kali Rapat Dengar Pendapat Umum ada sebelas anggota
Pansus yang sama sekali tak pernah hadir. Di antara mereka adalah
elite-elite partai yang selama ini sering berteriak lantang di media
massa. Hanya Panda Nababan, Ketua Pansus, yang tak pernah absen.
Suasana itu berbeda ketika anggota DPR menggelar Pansus Buloggate.
Rekomendasi DPR yang memutuskan agar kasus Trisakti, Semanggi I,
dan II diselesaikan melalui pengadilan biasa (militer) juga
dipertanyakan keabsahannya. Tak ada satu pun landasan hukum (baik itu
UUD 1945 beserta Perubahannya, Ketetapan MPR, maupun undang-undang)
yang memberi kewenangan kepada DPR untuk menentukan kompetensi
absolut sebuah peradilan. Apakah sebuah sengketa itu akan diadili di
pengadilan militer, pengadilan HAM ad hoc, pengadilan agama,
pengadilan tata usaha negara sama sekali bukan kewenangan DPR untuk
menentukan. Itu adalah wilayah kewenangan kekuasaan yudikatif.
"DPR telah mengambil alih kewenangan Mahkamah Agung," ujar Binsar
Gultom, seorang hakim di PN Bogor. Gultom menilai, DPR bukanlah
lembaga yang berwenang untuk menyatakan bahwa kasus Trisakti dan
Semanggi merupakan pelanggaran HAM biasa dan bukanlah pelanggaran HAM
berat sehingga harus diadili di Pengadilan Militer.
Sesuai dengan
Ketetapan MPR No III/MPR/1978, UU No 14/1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman yang diubah dengan UU No 39/1999 memberi
kekuasaan kepada MA untuk memeriksa dan memutus sengketa tentang
kewenangan mengadili (kompetensi absolut). "MA seharusnya mengambil
inisiatif untuk menuntaskan beda pendapat ini sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki MA," kata Gultom.
***
TERLEPAS dari masalah perdebatan yuridis ada sebuah pertanyaan
besar yang belum terjawab. Mengapa DPR menggabungkan obyek
penyelidikan tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II menjadi
satu kesatuan. Padahal semua orang tahu, ketiga tragedi yang
menewaskan sejumlah anak bangsa itu terjadi pada waktu yang berbeda,
suasana politik yang berbeda, dan latar belakang kejadian yang
berbeda.
Tragedi Trisakti terjadi 12 Mei 1998 di halaman Kampus Trisakti.
Pada saat itu, aparat keamanan secara membabi buta menembaki
mahasiswa Trisakti yang sedianya akan melakukan long march ke DPR
menuntut Presiden Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Empat
mahasiswa Trisakti tewas.
Sebagai reaksi atas penembakan itu, terjadilah kerusuhan sosial
di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Aparat keamanan tak mampu
mengendalikan keadaan sehingga ribuan orang tewas dan ratusan
bangunan dibakar. Justru pada saat genting seperti itu, para petinggi
militer sedang tidak berada di Jakarta dan baru tiba di Jakarta dari
Malang pada siang harinya.
Tragedi Trisakti dan kerusuhan sosial di Jakarta (13-15 Mei 1998)
tetap merupakan sejarah hitam bangsa Indonesia. Tak ada satu pun yang
menyatakan diri bertanggung jawab atau dinyatakan bertanggung jawab
atas peristiwa yang memilukan tersebut.
Pansus DPR pun tidak menyentuh dan tidak ada upaya untuk mencari
tahu rentetan kerusuhan sebagai dampak dari penembakan mahasiswa
Trisakti. Pansus DPR membatasi diri untuk menyelidiki siapa yang
bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti.
Padahal jika ada niatan untuk itu, DPR bisa menggunakan bahan-
bahan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sebagai titik pijak untuk
meneliti tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei.
Dalam laporan TGPF yang belum pernah dipublikasikan tersebut,
bisa dilihat sebuah laporan yang cukup komprehensif yang bisa
menjelaskan duduk persoalan kerusuhan Mei. Dalam laporan itu termuat
sejumlah kesaksian dari korban, pelaku di lapangan, dan analisa
terhadap terjadinya kerusuhan sosial tersebut.
Sedang Tragedi Semanggi I yang terjadi 13 November 1998 itu
diawali dengan gerakan kelompok mahasiswa yang menolak pelaksanaan
Sidang Istimewa MPR yang digelar pada masa pemerintahan Presiden BJ
Habibie. Aksi penentangan terhadap pelaksanaan Sidang Istimewa MPR
itu menewaskan 17 orang baik sipil dan militer, dan 456 orang luka-
luka. Sejauh ini juga belum ada pertanggungjawaban apapun terhadap
peristiwa tersebut.
Tragedi Semanggi II terjadi 22-24 September 1999. Peristiwa itu
terjadi ketika mahasiswa dan rakyat bergabung rencana pengesahan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya yang
dibahas DPR dan pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Aksi massa yang memenuhi Jalan Sudirman kembali dihadapi dengan
kekerasan oleh aparat sehingga sembilan orang tewas (seorang di
antaranya mahasiswa UI Yun Hap). Belum juga ada penjelasan resmi dan
pertanggungjawaban atas Tragedi Semanggi II, selain penjelasan
seorang prajurit Kostrad akan diadili atas tuduhan menembak Yun Hap,
meskipun persidangan itu belum dilangsungkan.
***
PENGGABUNGAN tiga tragedi dalam sebuah Pansus inilah yang
sebenarnya menjadi titik lemah dari DPR untuk menggolkan pengadilan
HAM ad hoc. Fraksi di DPR yang menolak merekomendasikan pengadilan
HAM ad hoc sebagaimana dilaporkan Panda Nababan dalam Rapat Paripurna
DPR, berpendapat bahwa ketiga tragedi itu tidak punya kaitan sama
sekali dan tidak saling berhubungan.
"Partisipasi politik" masyarakat pada ketiga kasus tersebut
berbeda dalam dimensi waktu, dimensi hubungan sebuah peristiwa,
metode pengamanan, serta kebijakan yang diputuskan, meskipun diakui
akibat dari penanganan yang represif tersebut telah jatuh korban jiwa.
Apakah dalam ketiga kasus tersebut terjadi pelanggaran HAM berat
memang masih menjadi perdebatan. Kelompok yang menolak menggunakan
definisi pelanggaran HAM berat sebagaimana disebutkan Pasal 9 UU No
26/2000 tentang Kriteria Pelanggaran HAM Berat, yaitu kejahatan
kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistemik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk si-pil, berupa (a) pembunuhan, (b)
pemusnahan, (c) perbudakan, (d) pengusiran pendudukan secara paksa,
(e) perampasan kemerdekaan, (f) penyiksaan, (g) perkosa-an, (h)
penganiayaan terhadap kelompok tertentu, (i) penghilangan orang
secara paksa, dan (j) kejahatan apartheid.
Dengan menggunakan teori pembuktian seperti layaknya sebuah
persidangan, DPR memfokuskan pada unsur sistematis, terencana,
konseptual serta meluas yang harus terpenuhi untuk mengategorikan
ketiga kasus itu sebagai pelanggaran HAM berat. Unsur sistematis,
menurut DPR, tidak terbukti karena rezim dan kasusnya berbeda. Unsur
terencana dan konseptual juga tidak terpenuhi karena rezimnya
berbeda, tujuannya berbeda, kasusnya berbeda, latar belakangnya
berbeda, dan tidak ada perintah tertulis untuk menggunakan peluru
tajam. Unsur meluas juga dinyatakan tidak terbukti.
Sedang fraksi yang mengategorikan ketiga kasus sebagai
pelanggaran HAM berat berargumen intensnya penggunaan kekerasan yang
dilakukan aparat keamanan untuk meredam aksi massa telah
mengakibatkan sejumlah korban tewas. Karena dominannya kekerasan
adalah lumrah bila ada penilaian masyarakat bahwa setiap korban jatuh
bukanlah karena kesalahan prosedur melainkan hasil prosedur yang
memang sengaja dipilih dan telah digariskan. Masyarakat memandang
penanganan ketiga tragedi itu secara sengaja dipilih dan telah
digariskan sehingga tindakan itu bisa dianggap sebagai tindakan
berencana dan sistematik sehingga memenuhi unsur terjadinya
pelanggaran HAM berat.
Dengan meneliti fakta-fakta yang ada, sebenarnya dugaan
terjadinya pelanggaran HAM berat akan lebih bisa diterima jika Pansus
DPR lebih memfokuskan pada tragedi Trisakti dan kerusuhan 13-15 Mei.
Unsur yang dipersyaratkan sebagai terjadinya pelanggaran HAM berat
lebih bisa dipenuhi jika penelitian terfokus pada kasus Trisakti dan
Kerusuhan Mei. Pertanyaannya sekarang mengapa obyek penelitian itu
harus digabungkan yang berakibat DPR sulit merekomendasikan
konstruksi terjadinya sebuah pelanggaran berat HAM.
Juga tetap menjadi pertanyaan apakah langkah DPR menggunakan
teori-teori pembuktian untuk mematahkan sangkaan terjadi pelanggaran
HAM berat, masih merupakan kewenangan dari DPR. Orang awam akan
mengatakan tidak. Kesimpulan DPR yang menilai bahwa kasus Trisakti
dan Semanggi bukan pelanggaran HAM berat keputusan langkah DPR yang
telah melampaui kewenangan yang diberikan konstitusi dan undang-
undang kepada DPR.
Terlepas dari kontroversi itu, sejarah hitam bangsa Indonesia
dalam kerusuhan 13-15 Mei, Semanggi I, Semanggi II, Tanjung Priok,
Timtim tetap harus dituntaskan dan didudukkan persoalannya. "Bagi
saya yang perlu adalah akuntabilitas publik pada rakyat dan keluarga
korban yang telah mengeluarkan darah," ujar Hermawan Sulistyo, Tim
Asistensi TGPF Kerusuhan Mei.
KPP HAM Trisakti bisa belajar dari rekomendasi DPR. Akan lebih
baik, kalau KPP HAM Trisakti lebih mendalami Tragedi Trisakti dan
Kerusuhan Mei yang bahan-bahannya sudah ada di TGPF. Kerusuhan Mei
juga bisa ditarik ke belakang dengan menelaah kerusuhan di Medan dan
Surakarta pada saat yang hampir bersamaan. Jika itu diteliti akan
bisa ditemukan jawaban mengapa tidak tampak aparat keamanan pada
tanggal 14 Mei 1998, saat kerusuhan sosial di Jakarta mencapai
puncaknya.
Kasus Semanggi I dan Semanggi II yang terjadi pada saat BJ
Habibie menjadi Presiden juga harus ditelaah untuk mencari penanggung
jawab dari tragedi itu. Namun, rasanya akan lebih baik, jika obyek
penyelidikan dipisahkan antara Trisakti dan Semanggi.
Adalah kenyataan bahwa belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM
pada masa lalu maupun pada masa sekarang yang bisa dituntaskan,
kendati sejumlah Pansus DPR telah dibentuk dan sejumlah KPP HAM telah
dibentuk. Pelanggaran HAM kasus Timtim yang sudah rampung pun belum
bisa digelar. Pertanyaannya adalah adakah niat dari bangsa ini untuk
menyelesaikan segala bentuk pelanggaran HAM pada masa lalu dan
sekarang dan kemudian menatap masa depan yang lebih baik. Atau isu
pelanggaran HAM akan tetap dijadikan komoditas politik untuk
kepentingan kekuasaan.
Kamis, 19 Jul i2001 Halaman: 8
Budiman Tanuredjo
MEREKA YANG SUDAH DAN SEDANG DIMINTAI
REKOMENDASI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyelidiki
tragedi Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998), dan
Semanggi II (24 September 1999) memicu kontroversi berkepanjangan.
Keluarga korban dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
selama ini giat mengadvokasi masalah hak asasi manusia (HAM) tidak
puas dengan rekomendasi para wakil mereka yang berkantor di Senayan
tersebut. Mereka mengadukan masalah itu kepada Presiden Abdurrahman
Wahid.
Menurut keyakinan mereka tragedi Trisakti, Semanggi I, dan
Semanggi II yang telah menewaskan sejumlah mahasiswa merupakan
pelanggaran HAM berat yang harus diadili di Pengadilan HAM ad hoc.
Namun, mayoritas politisi di Senayan, termasuk empat anggota Fraksi
TNI/Polri yang korpsnya menjadi "sasaran" dalam penyelidikan ini,
berpendapat lain.
Meski jumlah anggota pansus yang tercatat 50 orang, kenyataannya
tak semuanya aktif. Bahkan, pada saat voting dilakukan untuk memilih
opsi "pembentukan pengadilan HAM ad hoc" atau "pengadilan biasa
(militer)" jumlah anggota pansus yang tercatat dalam daftar hadir
hanya 26 orang. Dari jumlah itu, yang mengikuti voting hanya 19 orang
dengan rincian 14 anggota setuju kasus Trisakti, Semanggi I, dan II
diadili di pengadilan biasa (militer) dan lima anggota setuju
dibentuk pengadilan HAM ad hoc.
Pengadilan militer dan pengadilan HAM ad hoc amat berbeda.
Pengadilan militer diadili oleh hakim-hakim militer, oditur militer,
tanpa ada pihak luar. Pengadilan militer banyak dikritik karena
ketertutupan proses acaranya dan kewenangan Atasan Menghukum (ankum)
sebagai perwira penyerah perkara (papera) yang amat dominan. Sedang
pengadilan HAM ad hoc, membuka peluang masuknya jaksa dan hakim ad
hoc yang berasal dari orang luar sehingga prosesnya akan lebih
transparan.
Kenyataan di lapangan, rekomendasi para politisi di Senayan itu
tidak terlalu bermakna. Pertama, sebelum Pansus DPR melaporkan hasil
kerjanya ke Rapat Paripurna DPR tanggal 9 Juli 2001, Mahkamah Militer
II-08 Jakarta pada 18 Juni 2001, telah lebih dahulu menggelar sidang
terhadap sebelas prajurit Brimob atas tuduhan pembunuhan terhadap
empat mahasiswa Trisakti. Persidangan kesebelas prajurit Brimob-meski
yang hadir hanya sembilan orang-itu klop dengan keinginan mayoritas
politisi di Senayan yang lebih condong menyelesaikan tragedi Trisakti
diselesaikan di pengadilan militer.
"Kenyataan itu memang menimbulkan dugaan adanya 'konspirasi'
antara politisi di Senayan dengan militer untuk menghindarkan
terjadinya peradilan ad hoc," tulis Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan
LBH Indonesia di Tempo. Penolakan terhadap penyelesaian melalui
Pengadilan ad hoc itu disuarakan Fraksi Partai Golkar, Fraksi
TNI/Polri, Fraksi Reformasi, Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi
Partai Bulan Bintang, dan Fraksi Partai Daulatul Ummah.
Entah karena kesengajaan atau bukan, dakwaan yang disusun Oditur
Militer masih mencantumkan orang yang sudah meninggal sebagai
terdakwa. Dalam dakwaan masih disebutkan sebelas terdakwa, meski yang
hadir hanya sembilan orang. Dua terdakwa, Dominggus Pinto desersi dan
tidak diketahui lagi keberadaannya di Timtim dan Idad Musadad sudah
meninggal. Kelemahan dakwaan itu dipersoalkan kuasa hukum terdakwa.
Hal kedua, Komnas HAM pun memutuskan untuk membentuk Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) yang diketuai Dr Albert
Hasibuan. Padahal, sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang (UU) Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pengadilan HAM berat yang terjadi
sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM ad hoc. Pada Ayat 2 disebutkan: Pengadilan HAM ad hoc
Ayat 1 dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan
keputusan Presiden. UU Nomor 26 Tahun 2000 itu diundangkan 23
November 2000 sedang kasus Trisakti dan Semanggi terjadi tahun
1998. "KPP HAM akan bekerja atas dasar keadilan buat orang banyak,"
ujar Hasibuan memberikan argumentasi.
***
PANSUS Trisakti dan Semanggi dibentuk setelah DPR "sukses"
membentuk Pansus dan menyelidiki kasus Buloggate dan Bruneigate yang
melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid. Pada saat itu, kelompok
masyarakat mengkritik dan mengecam para politisi di DPR yang tidak
responsif terhadap korban pelanggaran HAM, kasus Trisakti dan
Semanggi, yang telah mengantarkan mereka duduk di Senayan.
Dalam suasana politik dan tekanan politik seperti itulah lahir
keputusan Bamus DPR untuk membentuk Pansus Trisakti yang diketuai
Panda Nababan, anggota DPR dari PDI Perjuangan. Tak terlalu jelas
betul, apakah motivasi pembentukan Pansus Trisakti semata-mata
sebagai make-up politik para politisi di Senayan atau memang secara
jujur dan tulus untuk mengemban perintah Pasal 43 UU No 26/2000.
Pasal itu memberikan kewenangan para politisi di DPR untuk
merekomendasikan pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden terhadap kasus
pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 terbentuk.
Sesuai pantauan Tim Monitoring Pansus Trisakti/Semanggi,
keseriusan para politisi di Senayan untuk menyelidiki ketiga kasus
itu amat diragukan. Tingkat kehadiran mereka hanya 25 persen. Bahkan,
dalam kurun waktu 30 Januari hingga 29 Maret 2001, di mana
berlangsung 17 kali Rapat Dengar Pendapat Umum ada sebelas anggota
Pansus yang sama sekali tak pernah hadir. Di antara mereka adalah
elite-elite partai yang selama ini sering berteriak lantang di media
massa. Hanya Panda Nababan, Ketua Pansus, yang tak pernah absen.
Suasana itu berbeda ketika anggota DPR menggelar Pansus Buloggate.
Rekomendasi DPR yang memutuskan agar kasus Trisakti, Semanggi I,
dan II diselesaikan melalui pengadilan biasa (militer) juga
dipertanyakan keabsahannya. Tak ada satu pun landasan hukum (baik itu
UUD 1945 beserta Perubahannya, Ketetapan MPR, maupun undang-undang)
yang memberi kewenangan kepada DPR untuk menentukan kompetensi
absolut sebuah peradilan. Apakah sebuah sengketa itu akan diadili di
pengadilan militer, pengadilan HAM ad hoc, pengadilan agama,
pengadilan tata usaha negara sama sekali bukan kewenangan DPR untuk
menentukan. Itu adalah wilayah kewenangan kekuasaan yudikatif.
"DPR telah mengambil alih kewenangan Mahkamah Agung," ujar Binsar
Gultom, seorang hakim di PN Bogor. Gultom menilai, DPR bukanlah
lembaga yang berwenang untuk menyatakan bahwa kasus Trisakti dan
Semanggi merupakan pelanggaran HAM biasa dan bukanlah pelanggaran HAM
berat sehingga harus diadili di Pengadilan Militer.
Sesuai dengan
Ketetapan MPR No III/MPR/1978, UU No 14/1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman yang diubah dengan UU No 39/1999 memberi
kekuasaan kepada MA untuk memeriksa dan memutus sengketa tentang
kewenangan mengadili (kompetensi absolut). "MA seharusnya mengambil
inisiatif untuk menuntaskan beda pendapat ini sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki MA," kata Gultom.
***
TERLEPAS dari masalah perdebatan yuridis ada sebuah pertanyaan
besar yang belum terjawab. Mengapa DPR menggabungkan obyek
penyelidikan tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II menjadi
satu kesatuan. Padahal semua orang tahu, ketiga tragedi yang
menewaskan sejumlah anak bangsa itu terjadi pada waktu yang berbeda,
suasana politik yang berbeda, dan latar belakang kejadian yang
berbeda.
Tragedi Trisakti terjadi 12 Mei 1998 di halaman Kampus Trisakti.
Pada saat itu, aparat keamanan secara membabi buta menembaki
mahasiswa Trisakti yang sedianya akan melakukan long march ke DPR
menuntut Presiden Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Empat
mahasiswa Trisakti tewas.
Sebagai reaksi atas penembakan itu, terjadilah kerusuhan sosial
di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Aparat keamanan tak mampu
mengendalikan keadaan sehingga ribuan orang tewas dan ratusan
bangunan dibakar. Justru pada saat genting seperti itu, para petinggi
militer sedang tidak berada di Jakarta dan baru tiba di Jakarta dari
Malang pada siang harinya.
Tragedi Trisakti dan kerusuhan sosial di Jakarta (13-15 Mei 1998)
tetap merupakan sejarah hitam bangsa Indonesia. Tak ada satu pun yang
menyatakan diri bertanggung jawab atau dinyatakan bertanggung jawab
atas peristiwa yang memilukan tersebut.
Pansus DPR pun tidak menyentuh dan tidak ada upaya untuk mencari
tahu rentetan kerusuhan sebagai dampak dari penembakan mahasiswa
Trisakti. Pansus DPR membatasi diri untuk menyelidiki siapa yang
bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti.
Padahal jika ada niatan untuk itu, DPR bisa menggunakan bahan-
bahan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sebagai titik pijak untuk
meneliti tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei.
Dalam laporan TGPF yang belum pernah dipublikasikan tersebut,
bisa dilihat sebuah laporan yang cukup komprehensif yang bisa
menjelaskan duduk persoalan kerusuhan Mei. Dalam laporan itu termuat
sejumlah kesaksian dari korban, pelaku di lapangan, dan analisa
terhadap terjadinya kerusuhan sosial tersebut.
Sedang Tragedi Semanggi I yang terjadi 13 November 1998 itu
diawali dengan gerakan kelompok mahasiswa yang menolak pelaksanaan
Sidang Istimewa MPR yang digelar pada masa pemerintahan Presiden BJ
Habibie. Aksi penentangan terhadap pelaksanaan Sidang Istimewa MPR
itu menewaskan 17 orang baik sipil dan militer, dan 456 orang luka-
luka. Sejauh ini juga belum ada pertanggungjawaban apapun terhadap
peristiwa tersebut.
Tragedi Semanggi II terjadi 22-24 September 1999. Peristiwa itu
terjadi ketika mahasiswa dan rakyat bergabung rencana pengesahan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya yang
dibahas DPR dan pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Aksi massa yang memenuhi Jalan Sudirman kembali dihadapi dengan
kekerasan oleh aparat sehingga sembilan orang tewas (seorang di
antaranya mahasiswa UI Yun Hap). Belum juga ada penjelasan resmi dan
pertanggungjawaban atas Tragedi Semanggi II, selain penjelasan
seorang prajurit Kostrad akan diadili atas tuduhan menembak Yun Hap,
meskipun persidangan itu belum dilangsungkan.
***
PENGGABUNGAN tiga tragedi dalam sebuah Pansus inilah yang
sebenarnya menjadi titik lemah dari DPR untuk menggolkan pengadilan
HAM ad hoc. Fraksi di DPR yang menolak merekomendasikan pengadilan
HAM ad hoc sebagaimana dilaporkan Panda Nababan dalam Rapat Paripurna
DPR, berpendapat bahwa ketiga tragedi itu tidak punya kaitan sama
sekali dan tidak saling berhubungan.
"Partisipasi politik" masyarakat pada ketiga kasus tersebut
berbeda dalam dimensi waktu, dimensi hubungan sebuah peristiwa,
metode pengamanan, serta kebijakan yang diputuskan, meskipun diakui
akibat dari penanganan yang represif tersebut telah jatuh korban jiwa.
Apakah dalam ketiga kasus tersebut terjadi pelanggaran HAM berat
memang masih menjadi perdebatan. Kelompok yang menolak menggunakan
definisi pelanggaran HAM berat sebagaimana disebutkan Pasal 9 UU No
26/2000 tentang Kriteria Pelanggaran HAM Berat, yaitu kejahatan
kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas
atau sistemik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk si-pil, berupa (a) pembunuhan, (b)
pemusnahan, (c) perbudakan, (d) pengusiran pendudukan secara paksa,
(e) perampasan kemerdekaan, (f) penyiksaan, (g) perkosa-an, (h)
penganiayaan terhadap kelompok tertentu, (i) penghilangan orang
secara paksa, dan (j) kejahatan apartheid.
Dengan menggunakan teori pembuktian seperti layaknya sebuah
persidangan, DPR memfokuskan pada unsur sistematis, terencana,
konseptual serta meluas yang harus terpenuhi untuk mengategorikan
ketiga kasus itu sebagai pelanggaran HAM berat. Unsur sistematis,
menurut DPR, tidak terbukti karena rezim dan kasusnya berbeda. Unsur
terencana dan konseptual juga tidak terpenuhi karena rezimnya
berbeda, tujuannya berbeda, kasusnya berbeda, latar belakangnya
berbeda, dan tidak ada perintah tertulis untuk menggunakan peluru
tajam. Unsur meluas juga dinyatakan tidak terbukti.
Sedang fraksi yang mengategorikan ketiga kasus sebagai
pelanggaran HAM berat berargumen intensnya penggunaan kekerasan yang
dilakukan aparat keamanan untuk meredam aksi massa telah
mengakibatkan sejumlah korban tewas. Karena dominannya kekerasan
adalah lumrah bila ada penilaian masyarakat bahwa setiap korban jatuh
bukanlah karena kesalahan prosedur melainkan hasil prosedur yang
memang sengaja dipilih dan telah digariskan. Masyarakat memandang
penanganan ketiga tragedi itu secara sengaja dipilih dan telah
digariskan sehingga tindakan itu bisa dianggap sebagai tindakan
berencana dan sistematik sehingga memenuhi unsur terjadinya
pelanggaran HAM berat.
Dengan meneliti fakta-fakta yang ada, sebenarnya dugaan
terjadinya pelanggaran HAM berat akan lebih bisa diterima jika Pansus
DPR lebih memfokuskan pada tragedi Trisakti dan kerusuhan 13-15 Mei.
Unsur yang dipersyaratkan sebagai terjadinya pelanggaran HAM berat
lebih bisa dipenuhi jika penelitian terfokus pada kasus Trisakti dan
Kerusuhan Mei. Pertanyaannya sekarang mengapa obyek penelitian itu
harus digabungkan yang berakibat DPR sulit merekomendasikan
konstruksi terjadinya sebuah pelanggaran berat HAM.
Juga tetap menjadi pertanyaan apakah langkah DPR menggunakan
teori-teori pembuktian untuk mematahkan sangkaan terjadi pelanggaran
HAM berat, masih merupakan kewenangan dari DPR. Orang awam akan
mengatakan tidak. Kesimpulan DPR yang menilai bahwa kasus Trisakti
dan Semanggi bukan pelanggaran HAM berat keputusan langkah DPR yang
telah melampaui kewenangan yang diberikan konstitusi dan undang-
undang kepada DPR.
Terlepas dari kontroversi itu, sejarah hitam bangsa Indonesia
dalam kerusuhan 13-15 Mei, Semanggi I, Semanggi II, Tanjung Priok,
Timtim tetap harus dituntaskan dan didudukkan persoalannya. "Bagi
saya yang perlu adalah akuntabilitas publik pada rakyat dan keluarga
korban yang telah mengeluarkan darah," ujar Hermawan Sulistyo, Tim
Asistensi TGPF Kerusuhan Mei.
KPP HAM Trisakti bisa belajar dari rekomendasi DPR. Akan lebih
baik, kalau KPP HAM Trisakti lebih mendalami Tragedi Trisakti dan
Kerusuhan Mei yang bahan-bahannya sudah ada di TGPF. Kerusuhan Mei
juga bisa ditarik ke belakang dengan menelaah kerusuhan di Medan dan
Surakarta pada saat yang hampir bersamaan. Jika itu diteliti akan
bisa ditemukan jawaban mengapa tidak tampak aparat keamanan pada
tanggal 14 Mei 1998, saat kerusuhan sosial di Jakarta mencapai
puncaknya.
Kasus Semanggi I dan Semanggi II yang terjadi pada saat BJ
Habibie menjadi Presiden juga harus ditelaah untuk mencari penanggung
jawab dari tragedi itu. Namun, rasanya akan lebih baik, jika obyek
penyelidikan dipisahkan antara Trisakti dan Semanggi.
Adalah kenyataan bahwa belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM
pada masa lalu maupun pada masa sekarang yang bisa dituntaskan,
kendati sejumlah Pansus DPR telah dibentuk dan sejumlah KPP HAM telah
dibentuk. Pelanggaran HAM kasus Timtim yang sudah rampung pun belum
bisa digelar. Pertanyaannya adalah adakah niat dari bangsa ini untuk
menyelesaikan segala bentuk pelanggaran HAM pada masa lalu dan
sekarang dan kemudian menatap masa depan yang lebih baik. Atau isu
pelanggaran HAM akan tetap dijadikan komoditas politik untuk
kepentingan kekuasaan.
Langganan:
Postingan (Atom)